MEMBANGUN KEMANDIRIAN POLITIK PEREMPUAN
MELALUI PENDIDIKAN PEMILIH
Pentingnya
pendidikan politik bagi pemilih perempuan
Era baru
demokrasi Indonesia dimulai tahun 1999, ditandai dengan pelaksanaan Pemilu
secara demokratis. Sebelumnya, Pemilu hanyalah sebuah perhelatan rutin dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, di sana tidak ada kebebasan memilih
partai, tidak ada kebebasan memilih anggota parlemen. Pemenangnya pun sudah
pasti, yaitu Golkar.
Berbeda dengan
sebelumnya, Pemilu 1999 diikuti banyak partai dan rakyat pun yang selama ini
tidak memiliki alternatif pilihan lalu menjadi bingung karena dihadapkan banyak
pilihan sementara mereka belum pernah mendapat pendidikan politik bagaimana
memilih partai politik secara cerdas.
Karena itu, dirasakan perlunya suatu pencerahan dalam bentuk pendidikan
pemilih (voter education) bagi para pemilih, terutama dari kalangan terbawah atau
sering diistilahkan kelompok akar rumput.
Demikianlah, menyongsong
Pemilu 1999 sejumlah ormas dan LSM melaksanakan kegiatan pendidikan pemilih.
Salah satunya, Muslimat NU, sebuah ormas perempuan di lingkungan NU dimana penulis menjadi
koordinator program. Pendidikan ini diperuntukkan khusus bagi perempuan pemilih
pada tingkatan akar rumput di 16 propinsi. Tujuan utama program adalah
memajukan demokrasi, mengakhiri depolitisasi perempuan, dan meningkatkan
partisipasi politik perempuan, terutama di tingkat pedesaan di mana mayoritas
perempuan berada.
Paling tidak
ada tiga pelajaran penting dari program tersebut. Pertama, meskipun Indonesia
telah merdeka selama lebih dari setengah abad, namun perempuan pada umumnya
belum memahami hak-hak asasi mereka dan potensi-potensi yang terkandung dibalik
hak-hak tersebut, khususnya hak dalam bidang politik. Kedua, umumnya pemilih
perempuan belum mengerti makna demokrasi dan pentingnya Pemilu sebagai sarana membangun
masa depan Indonesia yang demokratis, serta kehidupan masyarakat yang lebih
adil dan sejahtera. Ketiga, selama ini pendidikan politik bagi perempuan tidak
pernah diselenggarakan secara sungguh-sungguh dan sistemik. Struktur politik
negara masa Orde Baru menegasikan hak politik perempuan sedemikian rupa, baik
secara individual maupun kolektif. Akibatnya, perempuan mengalami depolitisasi
secara luar biasa. Dampak buruk dari proses depolitisasi tersebut, perempuan
sangat rentan terhadap praktik-praktk mobilisasi,[2] dan mayoritas perempuan
memilih bersikap apatis, diam dan tidak kritis dalam menghadapi proses politik.
Dengan
ungkapan lain, pengalaman riil dalam voter education itu menyimpulkan
tiga isu krusial: keterwakilan perempuan masih sangat rendah di ruang
publik ; komitmen partai politik masih belum sensitif gender sehingga
kurang mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan perempuan; serta kendala
nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias
nilai-nilai patriarki.[3]
Karena itu,
pendidikan politik dalam bentuk pendidikan pemilih, terutama bagi kelompok
perempuan harus diintensifkan dengan lebih menitikberatkan pada materi berikut. Pertama, menekankan pemahaman bahwa
hak politik adalah hak asasi manusia. Kedua, bagaimana membangun sistem politik
berbasis pengalaman perempuan. Ketiga, bagaimana mekanisme yang efektif dalam
mewujudkan kemandirian politik perempuan. Ketiga masalah ini akan diuraikan
lebih rinci dalam paparan berikut.
Hak politik
adalah hak asasi manusia
Politik pada
hakikatnya selalu terkait dengan kekuasaan dan proses pengambilan keputusan. Lingkupnya
sangat luas. Dimulai dari pengelolaan kekuasaan dan pengambilan keputusan di
tingkat institusi paling kecil dalam wujud keluarga sampai ke tingkat institusi
politik formal tertinggi dalam bentuk negara. Jadi, pengertian politik secara
luas mencakup semua masalah pokok dalam kehidupan sehari-hari yang pada kenyataannya
selalu melibatkan perempuan.
HAM merupakan suatu konsep etika
politik modern yang dibangun di atas sebuah kesadaran paling mendasar dalam
sejarah kemanusiaan, yaitu kesadaran
tentang pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan
kemanusiaan. Kesadaran ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang
bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia.
Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran
inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan
dan penghormatan terhadap manusia, tanpa pembedaan dan diskriminasi atas dasar
apa pun. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad'afin) dari
tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan
berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah penghormatan
terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan
apa pun dan demi alasan apa pun; serta pengakuan terhadap martabat manusia
sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Kesadaran akan
pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan
pentingnya menempatkan manusia sebagai titik
sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM
berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan
bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan
tidak melakukan diskriminasi terhadap manusia atas dasar ras, warna kulit,
jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agama. HAM mengajarkan
prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun.
Hak politik
selain tercantum dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),[4]
ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM,[5] seperti
dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791)
dan International Bill of Rights (1966). DUHAM menyebut istilah basic
human rights[6] yaitu
hak asasi manusia paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak paling penting
untuk diprioritaskan dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di tingkat
nasional maupun internasional. Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai penjelasan
rinci tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights,
namun, secara umum mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis,
kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama. Kelima hak paling
fundamental tersebut, dan juga hak-hak lain didasarkan pada satu asas
fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Secara umum DUHAM diumumkan PBB tahun 1948 dan mengandung
empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki
setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat
dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan
dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan hak politik,
antara lain mernuat sejumlah hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia
seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi
mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan
berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki
untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu
alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara
suami-istri. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak
menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas
diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya;
hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh
laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok;
hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.
Secara khusus, hak politik perempuan dalam DUHAM tertuang
dalam pasal 2: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal
mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan
lain.” Selanjutnya, dinyatakan secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 25 dan 26. Kovenan ini
telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Deklarasi New
Delhi tahun 1997 menegaskan, hak politik perempuan harus dipandang sebagai
bahagian integral dari hak asasi manusia (HAM). Jika kita mengakui hak asasi
manusia berarti kita pun harus mengakui hak politik perempuan. Hak politik
perempuan tidak boleh dipisahkan dari HAM. Sebagai manusia, perempuan berhak
berkiprah dalam politik seperti laki-laki. Politik harus melibatkan perempuan
dan laki-laki sebagai subyek. Sejatinya, setiap perempuan, baik sebagai warga
negara maupun sebagai manusia menyadari akan hak politik mereka, demikian pula
potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut.
Pemenuhan hak
politik perempuan di Indonesia, di samping mengacu kepada instrumen
internasional mengenai HAM, seperti telah dipaparkan, juga mengacu kepada
sumber hukum nasional Indonesia. Pertama, Pancasila sebagai ideologi negara.
Kedua, konstitusi, khususnya UUD 1945
hasil amandemen kedua, pada pasal-pasal 28 A sampai J tentang HAM), dan ketiga
dalam bentuk sejumlah undang-undang nasional yang berkaitan dengan penegakan
HAM. Di antaranya, UU No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi
Internasional tentang Hak Politik Perempuan, UU No. 7 Tahun 1984 tentang
Ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (khususnya pasal-pasal 7-8), UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (khususnya pasal-pasal 43, 45-51), UU No. 29
Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, UU No.
23 Tahun 2003 tentang perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005
tentang ratifikasi Kovenan Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan
politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali (khususnya pasal-pasal 25-26).
Membangun
sistem politik bebasis pengalaman perempuan
Penduduk
Indonesia berkisar 211 juta jiwa dengan prediksi jumlah perempuan sekitar 50,2
%. Akan tetapi, hasil Pemilu 2004 dengan melibatkan jumlah pemilih perempuan
lebih banyak, yakni 57% tetap tidak mampu mengubah potret keterwakilan
perempuan. Keterwakilan perempuan tetap rendah dan sangat tidak rasional, baik
dalam struktur kekuasaan dan proses pengambilan keputusan, maupun dalam
perumusan kebijakan publik pada ketiga lembaga formal negara: legislatif,
eksekutif dan yudikatif.
Khusus
di legislatif, pada tataran DPR-RI,
perempuan yang tampil sebagai caleg melebihi 30%, namun terpilih hanya 11%.
Sementara di tingkat DPRD Propinsi jumlah terpilih jauh lebih rendah, yakni
rata-rata hanya 8%, dan lebih rendah lagi di tingkat DPRD Kabupaten/Kota, yaitu
rata-rata hanya 5%. Bahkan, dijumpai sejumlah DPRD Kabupaten/Kota tidak punya
anggota legislatif perempuan, semua anggota DPRD adalah laki-laki. Bagaimana
mungkin, masyarakat yang selalu terdiri dari perempuan dan laki-laki dalam
jumlah berimbang tersebut tidak memiliki perwakilan perempuan?
Akan
tetapi, terdapat fenomena menarik di lingkungan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
Menarik, bahwa calon perempuan perorangan di DPD tidak sampai 10%, namun
berhasil meraup kursi 21%. Hal tersebut ditengarai karena para calon perempuan
tidak terikat aturan partai politik yang biasanya dibangun dengan perspektif
maskulin dan diskriminatif terhadap perempuan. Para calon perempuan menjadi
lebih bebas menetukan strategi kampanye, lebih leluasa menyusun agenda sendiri,
dan dapat lebih kreatif membangun net working di lapangan.
Data
keterwakilan perempuan Indonesia di legislatif yang masih rendah itu membuat
posisi Indonesia tidak menggembirakan pada tingkat dunia. Hal tersebut dapat
dibaca pada laporan International Parliamentarian Union (IPU) tahun 2006.
Laporan ini menjelaskan posisi Indonesia berada pada ranking ke 89 di antara
186 negara, jauh dibawah posisi Afghanistan, Vietnam, Timor Leste, Pakistan dan
Cina.
Pertanyaan
mendasar adalah mengapa keterwakilan perempuan dalam jabatan publik, termasuk
dalam bidang politik sangat rendah? Salah satu jawaban yang dapat dikemukakan
adalah suatu hasil kajian hukum dilakukan oleh Pusat Pemberdayaan Perempuan
Dalam Politik bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2006.
Kajian tersebut menyimpukan bahwa rendahnya keterwakilan perempuan dalam ruang
publik terutama disebabkan oleh ketimpangan struktural dan sosio-kultural
masyarakat dalam bentuk pembatasan, pembedaan, dan pengucilan yang dilakukan
terhadap perempuan secara terus-menerus, baik formal maupun non-formal, baik
dalam lingkup publik maupun lingkup
privat (keluarga).
Dampaknya,
kelompok perempuan, baik sebagai warga negara maupun sebagai anggota masyarakat
yang dijamin oleh undang-undang mempunyai hak sama dengan laki-laki tidak
terlibat dalam upaya-upaya konkret menentukan prioritas dan pengalokasian
sumber-sumber pembangunan. Demikian pula, mereka belum sepenuhnya mendapatkan
manfaat dari hasil pembangunan selama ini. Kondisi memprihatinkan itu tergambar
dalam capaian indikator pembangunan untuk bidang-bidang strategis, seperti
pendidikan, kesehatan, ekonomi dan ketenagakerjaan.
Di samping itu, secara internal rendahnya
keterwakilan perempuan dalam jabatan politik juga disebabkan tidak banyak
perempuan tertarik pada dunia politik. Mengapa? Jawabnya, simpel saja. Sebab,
masyarakat masih menganut segregasi atau pemilahan yang tegas antara ruang
publik dan ruang domestik. Ruang publik di mana aktivitas politik berlangsung
selalu digambarkan berkarakter maskulin: keras (tough), rasional,
kompetitif, tegas, serba “kotor” dan menakutkan sehingga hanya pantas buat
laki-laki.
Sebaliknya,
ruang domestik selalu dilukiskan berkarakter feminin: lemah lembut, emosional,
penurut, pengalah. Seakan meyakinkan bahwa tugas tersebut hanya cocok dan mulia bagi perempuan: sebagai istri, ibu atau
pengurus rumah tangga. Pandangan bias gender inilah yang secara sengaja dan
sistemik dikonstruksikan di masyarakat melalui sosialisasi nilai-nilai budaya,
institusi media, lembaga pendidikan, dan peraturan perundang-undangan. Lebih
fatal lagi karena segregasi yang ketat antara ruang publik dan privat tersebut
juga dilanggengkan dalam interpretasi ajaran berbagai agama yang hidup di
masyarakat.[7]
Konsekuensi
logis dari hal demikian, tidak banyak perempuan berminat atau tertarik memasuki
partai politik atau berkiprah di dunia politik. Apalagi berambisi merebut
posisi sebagai pemimpin atau penentu kebijakan dan pengambil keputusan yang
memerlukan ketegasan dan sikap rasional. Apa yang terjadi kemudian? Semua
kepentingan, aspirasi dan kebutuhan perempuan yang memang beda dengan
laki-laki, tidak terangkat, tidak diakui, tidak dihargai, bahkan terabaikan dan
tidak terpenuhi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Selanjutnya,
menghadapi dominasi nilai-nilai budaya patriarki dan situasi diskriminatif,
agenda perempuan dalam politik hendaknya dimulai dari kegiatan-kegiatan
penyadaran (awareness rising). Terutama mengubah cara pandang dan pola
pikir (mind set) seluruh masyarakat (laki-laki dan perempuan) tentang
pentingnya prinsip-prinsip demokrasi yang menjamin kesetaraan, pemenuhan hak
asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan.
Sementara
itu, sejumlah analisis mengungkapkan bahwa perilaku politik setidaknya
membutuhkan tiga karakteristik, yakni kemandirian, kebebasan berpendapat, dan
tindakan agresif. Sayangnya, ketiga karakteristik tersebut tidak pernah dianggap
ideal dalam diri perempuan. Masyarakat umumnya selalu memandang perempuan yang
mandiri, berani mengemukakan pendapat, dan agresif sebagai orang yang tidak
dapat diterima atau tidak diinginkan. Karena itu, mereka perlu dikucilkan.
Dengan ungkapan lain, perempuan dengan karakter seperti itu bukan tipe
perempuan ideal. Karena itu, ketiga karakter ini memang tidak pernah diharapkan
muncul pada diri seorang perempuan.
Dunia
politik sesungguhnya identik dengan dunia kepemimpinan. Berada dalam posisi
sebagai pemimpin, perempuan mengalami lebih banyak hambatan ketimbang
laki-laki. Mengapa? Karena perempuan harus selalu membuktikan bahwa dirinya
sungguh-sungguh mampu, memang pantas dan dapat diandalkan. Mari simak penuturan
seorang walikota perempuan:“Aku kerap dikritik atas beberapa komentar yang
agak menyinggung perasaan yang selanjutnya meledak menjadi pergunjingan publik.
Tidak sebagaimana laki-laki dalam posisi yang sama, semua pernyataan mereka seringkali berlalu tanpa
tantangan.” Artinya, sejumlah kendala primordial masih menghadang kaum
perempuan dalam berkiprah di dunia politik. Di antaranya, persoalan seksime.
Bagi politisi laki-laki, hampir tidak menemukan kendala yang berarti berkaitan
dengan penampilan fisik mereka. Sebaliknya, politisi perempuan lebih banyak
dinilai berkaitan dengan penampilan fisik mereka, misalnya soal model rambut,
model giwang, cara berjalan, cara berbusana, setelah itu baru cara berfikir. Di
samping itu, persoalan keluarga sangat berpotensi menimbulkan isu sensitif bagi
politisi perempuan dibandingkan dengan politisi laki-laki.
Dapat
disimpulkan, paling tidak ada tiga unsur yang merajut kepemimpinan dalam diri
seseorang, yaitu kekuasaan, kompetensi diri, dan agresi kreatif. Kekuasaan
sebagai unsur paling penting dalam membangun kemampuan memimpin seseorang
selalu didefinisikan dengan ciri yang maskulin, yaitu kekuatan atau ketegaran
atau kemampuan bertindak yang diperlukan guna mencapai sesuatu demi tujuan yang
lebih besar. Persoalannya, keluarga dan masyarakat tidak pernah mempersiapkan
perempuan secara serius dan sungguh-sungguh untuk membangun kualitas kekuasaan,
kompetensi diri dan agresi kreatif dalam diri mereka. Lalu, bagaimana mungkin
anak perempuan dapat bermimpi menjadi pemimpin bila mereka tidak memiliki
gambaran kultural yang mampu membimbing mereka? Tidak heran jika kebanyakan
perempuan mengalami kesulitan membebaskan diri dari berbagai pengaruh kultural
patriarkal untuk berkiprah dalam dunia politik.
Perempuan
ternyata kurang menginginkan kekuasaan manakala yang dilanggengkan di
masyarakat adalah gagasan kekuasaan versi laki-laki yang sarat dengan ciri-ciri
keperkasaan, kejantanan, dan kekerasan. Karena itu, sudah saatnya mempromosikan
kekuasaan menurut definisi perempuan. Yakni, kekuasaan yang lebih mengedepankan
kemampuan memberdayakan, kemampuan memelihara dan menciptakan masyarakat yang
lebih harmoni dan bermartabat. Dengan demikian definisi baru kekuasaan
merupakan gabungan dari kualitas maskulin dan feminin yang dapat dicapai oleh
keduanya: laki-laki dan perempuan.
Ke
depan perlu mensosialisasikan pengertian baru tentang kekuasaan yang tidak
selamanya bernuansa maskulin sehingga perempuan tidak harus mengeliminir
unsur-unsur feminitas dalam dirinya demi menggapai kekuasaan. Perempuan tidak
harus menolak gaya feminin dan kemudian berperilaku sebagai laki-laki untuk
berkuasa dan supaya diterima sebagai pemimpin. Sesungguhnya perempuan ketika
berada di rumah tangga atau dalam kehidupan keluarga lebih banyak menjalankan
peran kekuasaan dan peran pengambilan kebijakan.
Sebagai
ibu, perempuan dapat menggunakan kekuasaan yang nyata dalam peranannya sebagai
pengatur keluarga dan pengambil kebijakan. Pengalaman di rumah tangga dapat
dijadikan referensi untuk menjalankan kekuasaan dan merebut posisi kepemimpinan
di lingkungan yang lebih besar dan rumit, seperti negara. Berbeda dengan
laki-laki, bagi umumnya perempuan, kekuasaan itu lebih dimaknai sebagai
keinginan mensejahterakan orang lain, persis seperti keinginan seorang ibu
membimbing anak-anaknya atau keluarganya. Kekuasaan semacam ini tidak berpusat
pada diri sendiri melainkan lebih diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang
lebih mulia bagi banyak orang.
Dengan
demikian, konsep kekuasaan yang berciri feminin mengintegrasikan kualitas
perempuan dengan sejumlah karakteristik laki-laki dan kedua atribut itu
mempunyai nilai yang sama. Dengan ungkapan lain, kualitas laki-laki dan
kualitas perempuan tidaklah bertentangan. Sebab, dalam kelembutan dan kasih
sayang perempuan, justru terpendam kekuatan yang dahsyat.
Selain
itu, kekuasaan berciri feminin mencakup gagasan memberdayakan orang lain, bukan
merusak orang lain. Sebaliknya, gagasan yang selama ini digunakan adalah bahwa
untuk berkuasa, seseorang harus rela menginjak orang lain. Kekuasaan hendaknya
dimaknai sebagai kemampuan melaksanakan sesuatu yang berguna bagi orang lain.
Untuk itu, jabatan hendaknya ditafsirkan sebagai sarana memberdayakan orang
lain, bukan menghancurkan atau memperdayakan.
Kekuasaan
mencakup nalar, tujuan, agenda yang hedak dicapai. Sidney Verba dari Universitas
Harvard menegaskan, sumbangan terpenting dari kelompok perempuan di dunia
politik adalah bahwa mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat
bagi masyarakat luas daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri.[8] Artinya, politisi perempuan cenderung memikirkan agenda politik yang
berdampak pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat luas ketimbang memikirkan
kepentingan khusus mereka.
Dengan
mengembangkan definisi kekuasaan berbasis pengalaman perempuan, perempuan dapat
menjadi politisi bijak dan handal. Politisi yang tidak akan menyakiti hati
lawan politiknya, apa pun alasannya. Politisi yang tidak akan menggunakan
intrik politik sebagaimana biasa digunakan oleh laki-laki. Seorang politisi
perempuan dapat mengasah sisi keibuannya yang selalu tanggap terhadap kebutuhan
orang lain untuk menyelesaikan setiap agenda politiknya. Bukankah kekuasaan itu
pada intinya adalah kemampuan menyelesaikan masalah?
Rekomendasi
dan Penutup
Perjuangan
perempuan Indonesia menuju demokrasi masih sangat panjang. Salah satu strategi
yang harus dikembangkan adalah melakukan pendidikan politik bagi pemilih
perempuan. Pendidikan politik dimaksud diharapkan dapat mengubah image
masyarakat tentang politik yang selama ini diasumsikan sebagai hak monopoli
kaum lelaki. Selain itu, penting untuk dapat menyadarkan masyarakat, khususnya
kaum perempuan bahwa hak politik adalah bagian integral dari HAM. Sebagai warga
negara dan sebagai manusia, setiap perempuan memiliki hak untuk berkiprah dalam bidang politik.
Di samping
itu, melalui pendidikan pemilih diharapkan terbangun kesadaran untuk membangun
sistem politik berbasis pengalaman perempuan. Sistem yang tidak lagi
mengutamakan pendekatan maskulin yang seringkali absolut dan diskriminatif
terhadap perempuan. Politik Indonesia ke depan sudah selayaknya
mempertimbangkan pendekatan feminin yang lembut dan mengasihi sesama. Politik
yang bertujuan sebagai sarana memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat
luas, serta mencita-citakan perdamaian bagi semua kelompok dalam
masyarakat. Untuk itu, sejumlah rekomendasi perlu dicatat.
Pertama,
menggalang networking antar-kelompok perempuan dari berbagai elemen. Perjuangan
menuju sukses selalu membutuhkan strategi yang jitu dan solidaritas yang kuat.
Networking ini diperlukan terutama dalam upaya membangun struktur politik yang
ramah perempuan melalui upaya-upaya revisi semua peraturan perundang-undangan
dan kebijakan politik yang diskriminatif dan tidak memihak perempuan.
Networking ini juga diperlukan dalam mewujudkan komitmen partai yang sensitif
gender, serta advokasi jaminan hukum partisipasi dan keterwakilan perempuan
dalam proses politik dan jabatan publik.
Kedua,
kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya
rekonstruksi budaya, khususnya mengubah budaya patriarki yang sangat kental di
masyarakat menjadi budaya yang mengapresiasi prinsip kesetaraan dan keadilan
gender dalam seluruh aspek kehidupan. Melalui upaya rekonstruksi budaya ini
diharapkan di masa depan tidak ada lagi image buruk terhadap dunia politik;
tidak ada lagi pemilahan bidang kerja: publik dan privat, berdasarkan jenis
kelamin; dan tidak ada lagi stereotip terhadap perempuan yang memilih aktif di
dunia politik.
Ketiga,
kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya
reinterpretasi ajaran agama sehingga terwujud penafsiran agama yang akomodatif
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, penafsiran agama yang ramah terhadap
perempuan dan yang pasti penafsiran agama yang rahmatan lil alamin,
ajaran yang menebar rahmat bagi seluruh makhluk tanpa pengecualian.
Keempat,
secara internal perempuan itu sendiri harus selalu berupaya meningkatkan
kapasitas dan kualitas diri mereka melalui pendidikan dalam arti yang luas.
Selain itu, perempuan harus tulus mengapresiasi prestasi dan karya sesama
perempuan, serta tulus mewujudkan sikap saling mendukung di antara mereka. Harus
ada upaya bersama secara sinergis meningkatkan kualitas diri perempuan dalam
bidang politik.
Last
but not least, dalam peningkatan kapasitas ini, perempuan jangan
melupakan peningkatan kemampuan spiritualitas mereka. Diharapkan dengan
kekuatan spiritualitas itu para politisi perempuan dapat menghindari permainan
politik yang tidak etis, kotor, culas dan keji, tidak manusiawi, serta merugikan
masyarakat luas. Women
can make a difference!
[1]
Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace)
[2] Sudah menjadi pemandangan umum
dalam setiap kampanye partai, terutama partai berbasis agama, kaum perempuan
dimobilisasi sedemikian rupa memenuhi arena kampanye. Sayangnya, jumlah mereka
yang banyak itu tidak tercermin dalam keterwakilan di lembaga legislatif maupun
eksekutif. Bahkan, tidak mempengaruhi kebijakan partai untuk menyuarakan kepentingan
khusus mereka.
[3] Penjelasan lebih rinci soal ini
dapat dilihat pada Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru
Keagamaan, Mizan, Bandung, 2005.
[4] DUHAM
(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) merupakan pernyataan definitif yang
pertama tentang 'hak asasi manusia' dan yang menyebutkan secara jelas hak-hak
itu yang bersifat universal. Dokumen ini adalah kesepakatan internasional yang
ditanda-tangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun
demikian, kesepakatan tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally
binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.
[5] Dalam hal ini Groome menyebutkan
sejumlah dokumen historis, yaitu: (1)
Magna Charta (1215); (2) Bill of Rights England (1689); (3) Rights of Man
France (1789); (4) Bill of Rights USA (1791); (5) Rights of Russian People
(1917); dan (6) International Bill of Rights (1966).
[6] Paragraf pertama DUHAM
menyatakan: 'Menimbang bahwa penegakan atas martabat alamiah dan hak-hak yang
sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan,
keadilan dan perdamaian dunia. Lihat Gunawan Sumodiningrat dan Ibnu Purna (ed),
Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, Dep.
Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2004, h. 9.
[7]
Ulasan yang luas mengenai hal ini dapat dilihat pada Siti Musdah Mulia dan Anik
Farida, Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005.
[8]Sidney
Verba, “Women in American Politics”, Bagian penutup dalam Women,
Politics, and Change. Louise A. Tilly
dan Patricia Gurin, Russel Sage Foundation, New York, 1990, h. 55-72.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar