Rabu, 03 Juni 2020

Memahami Islam sebagai Agama yang Rahmatan lil Alamin



Memahami Islam sebagai Agama yang Rahmatan lil Alamin[1]

Musdah Mulia



Konsep Rahmatan lil Alamin
Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk menebar rahmat (cinta kasih) bagi alam semesta. Pesan kerahmatan dalam Islam benar-benar tersebar dalam teks-teks Islam, baik dalam Quran maupun Hadits. Kata rahmah, rahmân, rahîm, dan derivasinya disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar. Jumlahnya lebih dari 90 ayat. Makna genuine kata itu adalah kasih sayang atau cinta kasih. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah menyatakan: “Anâ ar-rahmân. Anâ ar-rahîm” (Aku Sang Maha Sayang. Aku Sang Maha Kasih).
Sumber Islam paling otoritatif, Qur’an, dengan sangat tegas menyebutkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah agama “rahmatan li al-âlamîn, yakni: Aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai (penyebar) kasih sayang bagi semesta alam.” (Q.S. al-Anbiyâ [21]:107).
Fungsi kerahmatan ini dielaborasi oleh Nabi Muhammad SAW dengan pernyataannya yang terang benderang:”Inni bu’itstu li utammima makârim al-akhlâq” (Aku diutus Tuhan untuk membentuk moralitas kemanusiaan yang luhur).  Atas dasar inilah, Nabi Muhammad SAW selalu menolak secara tegas cara-cara kekerasan, pemaksaan, diskriminatif, dan sekaligus Nabi SAW tidak pernah melakukannya. Nabi Muhammad SAW menegaskan misinya ini dengan mengatakan:
ما بعثت لعانا وانما بعثت رحمة
Aku tidak diutus sebagai pengutuk, melainkan sebagai rahmat bagi semesta”
Allah telah memberikan kesaksian sekaligus merestui cara-cara atau metode penyebaran Islam yang dijalankan Nabi SAW tersebut sambil menganjurkan agar dia meneruskannya:

فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لا نفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم فى الامر

“Maka disebabkan rahmat (kasih sayang) Tuhanlah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekitarmu, maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampunan bagi mereka dan bermusyawaralah dengan mereka dalam segala urusan. (Q.S. Âli Imrân [3]:159).
Pernyataan ini tentu saja seharusnya menginspirasi setiap Muslim untuk melakukan langkah-langkah kemanusiaan yang tegas dalam menegakkan keadilan yang menjadi esensi ajaran Islam.  Yakni mewujudkan suatu tatanan kehidupan manusia yang didasarkan pada pengakuan atas kesederajatan manusia di hadapan hukum (al-musâwah amâma al-hukm), penghormatan atas martabat (hifdh al-‘irdl), persaudaraan (al-ukhuwwah), penegakan keadilan (iqâmat al-‘adl), pengakuan atas pikiran dan kehendak orang lain, dialog secara santun, serta kerjasama saling mendukung untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Ini adalah pilar-pilar kehidupan yang seharusnya ditegakkan oleh setiap umat Islam, tanpa harus mempertimbangkan asal usul tempat kelahiran, etnis, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, orientasi seksual, gender, keturunan, keyakinan agama, dan sebagainya.
Islam Memanusiakan Manusia
Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan hanyalah prestasi dan kualitas takwa manusia. Soal takwa, Tuhan semata berhak melakukan penilaian, bukan manusia.
Tujuan hakiki Islam adalah memanusiakan manusia; membina manusia agar menjadi baik dalam semua aspek: fisik, mental, moral, spiritual, dan aspek sosialnya. Intisari dari semua ajaran Islam berkisar pada penjelasan tentang masalah baik dan buruk. Yakni menjelaskan mana perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kepada kebahagiaan, dan mana perbuatan buruk yang membawa kepada bencana dan kesengsaraan. Ajaran Islam memberikan seperangkat tuntunan kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan dan ketenteraman manusia itu sendiri. Tuhan, Sang Pencipta, sama sekali tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan, sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya.
Manusia diciptakan dengan visi yang jelas, yaitu sebagai khalifah fil ardh (agen moral). Tugas manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan lil-‘âlamîn). Adapaun misi utama manusia adalah menegakkan keadilan, kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan mencegah terjadinya hal-hal yang buruk dan tidak terpuji (amar ma’rûf nahi munkar). Kerja-kerja itu mencakup semua upaya transformasi dan humanisasi sehingga pada ujungnya terwujud baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.
Salah satu tuntunan Islam yang mendasar adalah keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial (gender), ras, suku bangsa, dan berbagai ikatan primordial lain. Karena itu, Islam mempunyai dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, dimensi horisontal ini tidak terwujud dengan baik dalam kehidupan penganutnya, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya.
Pesan-pesan kemanusiaan Islam dielaborasi secara sangat mengesankan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M) dan dikembangkan lebih lanjut antara lain oleh Abu Ishaq al-Syathiby (w.790 H) dengan konsep al-dlarûriyât al-khams
Al-Imam al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan utama syariat Islam (maqâshid al-syarî’at) pada dasarnya adalah kesejahteraan sosial atau kebaikan bersama (kemaslahatan). Al-Imam al-Ghazali menyatakan:
“Kemaslahatan menurut saya adalah mewujudkan tujuan-tujuan agama yang memuat lima bentuk perlindungan (al-dlarûriyât al-khams). Yaitu [1] perlindungan hak berkeyakinan/beragama (hifdh al-dîn); [2] perlindungan jiwa, hak hidup (hifdh al-nafs); [3] perlindungan akal, hak kebebasan berpikir dan berpendapat (hifdh al-‘aql); [4] perlindungan hak kesehatan reproduksi (hifdh an-nasl); dan [5] perlindungan kekayaan (property), hak milik (hifdh al-mâl). Segala cara yang dapat menjamin perlindungan terhadap lima prinsip ini disebut kemaslahatan; dan mengabaikan kemaslahatan adalah kerusakan (mafsadah); menolak kerusakan adalah kemaslahatan.”[2] 
Dalam pendekatan kontekstual, konsep maqâshid al-syarî’at dapat dikembangkan pemikiran sebagai berikut: Pertama, hifdh al-dîn (perlindungan terhadap keyakinan agama dan kepercayaan), mengandung pengertian bahwa perlindungan bukan hanya terhadap agama dan keyakinan dirinya semata, melainkan juga terhadap keyakinan orang lain, sehingga tidak seorang pun boleh memaksa atau menindas orang lain hanya karena keyakinan atau agamanya atau kepercayaannya yang berbeda dengan dirinya.
Kedua, hifdh al-nafs (perlindungan terhadap jiwa), mengandung arti perlindungan terhadap nyawa dan tubuh siapapun, sehingga tidak ada hak sedikitpun bagi siapapun untuk melukai, melecehkan, membunuh, atau melakukan kekerasan terhadap orang lain atas dasar apapun, baik agama, etnik, ras, warna kulit, gender, jenis kelamin, maupun orientasi seksual.
Ketiga, hifdh al-‘aql (perlindungan terhadap akal pikiran), mengandung makna penyediaan ruang yang bebas untuk mengekspresikan pendapat, pikiran, gagasan, dan kehendak-kehendak yang lain, sehingga tidak seorangpun boleh melakukan pemasungan, pelarangan, dan pembredelan terhadap pikiran dan pendapat orang lain. Keempat, hifdh an-nasl (perlindungan terhadap kehormatan dan keturunan), membawa konsekuensi perlindungan dan penghormatan terhadap alat-alat, fungsi, dan sistem reproduksi dalam rangka menjaga kesehatannya,  sehingga tidak seorangpun boleh melakukan pemerkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan seksual, pelecehan seksual, dan pemaksaan kehamilan, rentang masa kehamilan, atau berketurunan dan jumlah keturunan,
Kelima, hifdh al-mâl perlindungan terhadap hak milik pribadi maupun masyarakat, mengandung implikasi adanya jaminan atas pilihan-pilihan pekerjaan, profesi, hak-hak atas upah sekaligus jaminan keamaanan atas hak milik tersebut, sehingga tidak boleh terjadi adanya larangan terhadap akses pekerjaan, perampasan hak milik pribadi, korupsi, penyelewengan, penggelapan, penggusuran, perusakan lingkungan hidup dan alam, serta eksploitasi-eksploitasi haram lainnya oleh siapapun; individu, masyarakat, institusi keagamaan, sosial, maupun institusi negara. Untuk mengimplementasikan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin dan memanusiakan manusia ini dalam kehidupan nyata harus dimulai dengan memahami kembali inti ajaran Islam, yaitu tauhid.

Apa itu Tauhid?
Tauhid adalah inti ajaran Islam, mengajarkan bagaimana berketuhanan secara benar dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.
Pengetahuan awal mengenai tauhid adalah mengakui keesaan Allah, yang menciptakan alam semesta, mengenal Asma (Nama) dan Sifat-Nya, serta mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud-Nya. Tapi pengertian tauhid lebih dari sekadar itu. Pasalnya, kalau tauhid hanya berupa pengakuan akan keesaan dan kekuasaan Tuhan, maka makhluk serendah iblis pun bisa melakukan hal serupa. Iblis mempercayai Allah sebagai Tuhan, namun pengakuan itu tidak diiringi dengan ketaatan kepada perintah-Nya, yakni agar bersujud kepada Adam sebagai tanda patuh dan penyerahan diri kepada-Nya. Iblis malah melakukan sebaliknya. Dia percaya kepada Allah, tetapi justru memohon agar diizinkan berbuat zalim, yaitu menjerumuskan manusia.[3]
Masyarakat Arab jahiliyah, tempat Rasulullah Saw. diutus, juga meyakini bahwa pencipta, pengatur, pemelihara, dan penguasa alam ini hanya Allah.[4] Namun, kepercayaan dan keyakinan mereka belum menjadikan mereka sebagai makhluk berpredikat “Muslim” dan “Mukmin,” yakni makhluk yang berserah diri dan beriman secara total kepada Allah Swt. Karena dalam kenyataannya, pengakuan itu tidak menjadikan mereka sebagai “muwahhid (orang yang bertauhid) secara esensial, baik secara vertikal dengan Sang Khalik, maupun secara horizontal dengan sesama makhluk.



Memahami Tauhid Dengan Benar
Tauhid dalam realitas sosial sering kali direndahkan maknanya sedemikian rupa sehingga menjadi doktrin yang tidak menyentuh persoalan riil manusia dan masalah-masalah kemanusiaan kontemporer. Tauhid sering kali dipahami hanya sebatas mengetahui sifat-sifat Allah, mengetahui rukun iman atau yang semacam itu. Tauhid tidak lagi tampak sebagai kekuatan pencerahan dan pembebasan manusia dari ketidakadilan, ketertindasan, dan penistaan-penistaan lainnya sebagaimana diajarkan dan dipraktikkan oleh Rasulullah.
Tauhid secara bahasa adalah mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa sesuatu itu satu. Secara terminologis, tauhid adalah penghambaan diri hanya kepada Allah Swt. dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh rasa tawadhu, cinta, harap, dan takut hanya kepada-Nya. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang tauhid. Di antara sekian banyak ayat tentang tauhid, surah Al-Ikhlas bisa disebut sebagai inti ajaran tauhid, surah ini mengandung beberapa ajaran penting tentang tauhid, yakni Allah adalah Esa, Allah adalah tempat bergantung, Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada satu pun makhluk di alam semesta yang menyamai Allah.
Ajaran-ajaran pokok ini telah diimplementasikan dengan baik oleh Rasulullah dalam kehidupan individual maupun sosial. Dengan ajaran ini, Rasulullah melakukan perubahan di segala bidang, dari tingkat ideologis sampai ke tingkat praktis. Keyakinan akan keesaan Allah membuat Rasulullah dengan tegas melarang praktik mempertuhankan apa pun selain Allah, seperti patung berhala, kebesaran suku, pemimpin, penguasa. Termasuk hawa nafsu dan ego yang ada dalam diri manusia.
Keyakinan bahwa hanya Allah tempat bergantung menjadikan Rasulullah memiliki kekuatan moral yang luar biasa dalam melapangkan jalan menuju revolusi sosial, walau dihadang dengan sangat keras oleh para pembesar Quraisy dan suku-suku Arab lainnya. Kebesaran musuh-musuh ini tidak membuat Rasulullah gentar, karena dia memiliki tempat bergantung dan bersandar yang jauh lebih kuasa dan perkasa, yakni Allah Yang Maha Agung. Tidak ada ketakutan terhadap kekuatan apa pun selain Allah, dan tidak ada pengharapan apa pun yang patut digantungkan selain kepada Allah.

Tauhid Melahirkan Prinsip Kesetaraan
Keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara dengan Allah dan tidak ada anak dan titisan Tuhan pada gilirannya melahirkan pandangan kesetaraan manusia sebagai sesama makhluk Allah. Tidak ada manusia nomor satu dan manusia nomor dua. Manusia pada hakikatnya sama. Tidak ada manusia yang boleh dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan tempat bergantung, ditakuti, disembah, dan seluruh tindakannya dianggap benar tanpa syarat.
Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin. Oleh karena mereka bukan tuhan, maka rakyat tidak boleh mempertuhankan rajanya dan pemimpinnya, bawahan tidak boleh mempertuhankan atasannya dan istri tidak boleh mempertuhankan suaminya. Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Allah merupakan pengingkaran terhadap tauhid.
Pada tataran sosial, kekuatan tauhid pada diri Rasulullah Saw. membuatnya berani membela mereka yang direndahkan, teraniaya dan terlemahkan secara struktural dan sistemik (mustadh’afîn), seperti kaum perempuan, budak, anak-anak, dan kelompok rentan lain yang diperlakukan secara zalim oleh para penguasa dan pembesar masyarakat yang menutupi kezalimannya di balik nama Tuhan.
Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak sekadar doktrin keagamaan yang statis. Ia adalah energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan, dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral, santun, manusiawi, bebas dari diskriminasi, ketidakadilan, kezaliman, rasa takut, penindasan individu atau kelompok yang lebih kuat, dan sebagainya. Itulah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw.!
Di samping membebaskan manusia dari belenggu thâghût dan kezaliman, tauhid menghapuskan semua sekat-sekat diskriminasi dan subordinasi. Keyakinan bahwa hanya Allah yang patut dipertuhankan dan tidak ada siapa pun dan apa pun yang setara dengan Allah, meniscayakan kesamaan dan kesetaraan semua manusia di hadapan Allah, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, mengemban tugas ketauhidan yang sama, yakni menyembah hanya kepada Allah swt.[5]
Sebagai khalifah di muka bumi, tugas manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan lil-‘âlamîn). Satu hal paling penting untuk menuju ke sana adalah adanya kesadaran menegakkan kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak benar (amar ma’rûf nahi munkar). Tugas ini tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis manusia, sementara satu jenis yang lain melakukan hal yang sebaliknya. Sebagai manusia yang sama-sama mengemban tugas kekhalifahan, laki-laki dan perempuan diperintahkan oleh Tuhan untuk saling bekerja sama, bahu-membahu dan saling mendukung dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar demi menciptakan tatanan dunia yang benar, baik, dan indah dalam ridha Allah.[6]
Dalam ayat di atas terdapat kata khalâ’if (bentuk jamak dari khalîfah) yang berarti penguasa. Dalam tata bahasa Arab, kata khalifah tidak menunjuk pada jenis kelamin atau kelompok tertentu. Dengan demikian, perempuan dan laki-laki mempunyai fungsi yang sama dan akan mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di hadapan Allah swt. Hanya satu kata kunci yang memungkinkan manusia bisa mempertanggungjawabkan segala peran dan fungsinya baik sebagai hamba maupun sebagai khalifah. Kata kunci itu adalah ketakwaan, bukan keutamaan nasab, bukan jenis kelamin tertentu, dan bukan pula kemuliaan suku.[7]
Sangat jelas akhirnya, Islam membawa gagasan besar kesetaraan manusia sehingga tidak boleh ada manusia -untuk alasan apa pun- mendapatkan perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dari sesamanya manusia. Itulah fungsi rahmat dari ajaran Islam. Dengan ungkapan lain, Islam hadir menebar rahmat bagi semua manusia dan juga bagi sekalian alam semesta.



[1]Disampaikan pada Seminar Diskusi Publik dengan judul: Islam Rahmatan  lil Alamin: Antara Ajaran dan Budaya, diadakan oleh Lingkar Perempuan Nusantara, di Jakarta, tanggal 5 Juli 2018.

[2]Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfâ min Ilm al-Ushûl, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 286.
[3]QS, Shad [38]:82 dan Al-Hijr [15]:36-40.
[4]Perhatikan ayat-ayat berikut: QS Al-Mukminun [23]:84-89:) dan Luqman [31]:25.


[5] Q.S. al-Dzariyat, 51:56
[6] Q.S. al-Taubah, 9:71
[7] Q.S. al-Hujurat, 49:13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar