Rabu, 03 Juni 2020

MELAWAN FUNDAMENTALISME: MEMANUSIAKAN PEREMPUAN



MELAWAN FUNDAMENTALISME:
MEMANUSIAKAN PEREMPUAN

Musdah Mulia


Pendahuluan
Fundamentalisme dan feminisme adalah dua istilah yang tidak pernah seirama, bahkan terkesan bermusuhan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa perempuan adalah korban pertama dan utama dalam masyarakat yang menganut faham fundamentalisme. Mengapa perempuan? Sebab, fundamentalisme melanggengkan nilai-nilai patriarkal yang selalu melihat perempuan sekedar obyek. Itulah mengapa dalam fundamentalisme agama perempuan diposisikan sebagai simbol kemurnian agama. Tidak heran, jika kelompok pertama yang menjadi obyek dalam upaya-upaya permunian agama tersebut adalah perempuan.
Dalam sejarah perkembangan agama-agama, sebutan untuk gerakan fundamental tumbuh sebagai reaksi atas munculnya berbagai aliran keagamaan yang sifatnya progresif dan liberal. Fundamentalisme mengklaim diri sebagai pemegang otoritas untuk memurnikan agama yang dianggap telah dinodai oleh kaum progresif dan liberal. Fundamentalisme lahir untuk menjaga dan mengawal kemurnian agama. Fatalnya, yang mereka maksudkan dengan pemurnian agama adalah kembali kepada teks-teks suci agama yang dipahami secara literal dan sangat rigid, serta mengabaikan pemahaman kontekstual yang justru menyimpan pesan-pesan moral dari ajaran agama tersebut.  
Bagi kalangan fundamentalisme, upaya pemurnian agama harus dimulai dari perempuan. Pandangan demikian muncul karena sejumlah praktek pemurnian agama dengan menjadikan perempuan sebagai obyek utama mendulang kesuksesan yang sangat signifikan. Sebab, itulah cara yang paling mudah dan sekaligus paling murah, lagi pula paling sedikit resistensinya.
Lihat saja ketika Aceh diproklamirkan sebagai provinsi yang memiliki kewenangan untuk menegakkan syariat Islam. Program penegakan Syariat Islam yang paling menonjol dan berhasil adalah mewajibkan jilbab bagi seluruh perempuan di Aceh. Pertanyaan kritis muncul, mengapa upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh semua masyarakat tidak dijadikan program prioritas dalam upaya penegakan Syariat Islam di Aceh? Bukankah ayat Alqur’an yang pertama turun memberikan warning tentang pentingnya membaca? Islam adalah agama yang paling vokal bicara tentang pentingnya pendidikan. Bahkan, tetesan tinta para ulama dianggap setara dengan tetesan darah para syuhada.
Faktanya, untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, butuh kerja keras dan waktu yang panjang, sedangkan program mewajibkan jilbab, sangat mudah. Cukup dengan menerbitkan sehelai surat edaran, lalu memerintahkan polisi syariah menangkap para pembangkang. Tidak perlu kerja keras, tidak perlu buat perencanaan kerja yang rumit, bahkan para pejabat tidak perlu berkeringat. Bukan hanya itu, program ini juga tidak mendapatkan resistensi yang berarti. Sebab, mereka yang menolak tinggal dicap kafir atau liberal, titik.
Bagi kalangan fundamentalisme, istilah memurnikan agama bermakna mengembalikan perempuan kepada fungsi domestiknya. Memurnikan agama berarti domestifikasi perempuan. Dengan dalih pemurnian agama, perempuan tidak boleh beraktivitas di luar rumah, mereka dipulangkan ke ranah domestik dan dibatasi hak-haknya sebagai warga negara, dan sebagai manusia merdeka. Kondisi seperti ini terjadi di Afghanistan tahun 2001. Ketika kelompok fundamentalisme Islam Taliban berkuasa, semua perempuan ditarik dari ruang publik. Para perempuan yang tadinya berkarir sebagai dokter, hakim, guru, perawat, dan sebagainya dipaksa berhenti dari pekerjaan mereka dan kembali ke rumah.

Pandangan pakar tentang fundamentalisme
Sejumlah pakar mendefinisikan fundamentalisme dengan redaksi yang berbeda, namun pada intinya mereka sepakat bahwa fundamentalisme berkaitan erat dengan doktrin keagamaan, ideologi ekslusif. Karen Amstrong sebagai peneliti agama-agama melihat fundamentalisme tidak hanya sekedar memelihara doktrin absolut, melainkan lebih dari pada itu, yakni sebuah upaya merespon krisis yang melanda masyarakat agama (embatled forms of spirituality, which have emerged as a response to a perceived crisis).[1] Amstrong melihat fundamentalisme tidak hanya sebagai gerakan kembali ke akar, melainkan sebagai gerakan melawan modernitas dan semua hal yang menyebabkan munculnya krisis multidimensional. Karen melihat fundamentalisme sebagai sebuah gejala kontemporer. 
Karen Amstrong menambahkan bahwa fundamentalisme tidak hanya melanda masyarakat dan agama tertentu melainkan merambah dalam agama-agama semitik lainnya; Islam, Kristen dan Yahudi.  Ini membuktikan bahwa dalam setiap agama terdapat doktrin dan ajaran yang secara eksplisit dapat menyebabkan adanya kecenderungan untuk memanipulasi dan memonopoli tafsir keagamaan untuk tujuan idiologis dan politis.
Bassam Tibi mempunyai pandangan lain, menurutnya fundamentalisme tidak hanya sekedar solusi buat krisis, melainkan sebuah upaya untuk membuat tatanan baru. Menurutnya, fundamentalisme adalah suatu weltanchaung atau pandangan dunia (worldview) yang berusaha membangun tatanannya sendiri, dan dengan demikian mereka mengklaim pandangan mereka sebagai sesuatu yang berlaku universal.
Jan Harpe, selanjutnya, mengartikan fundamentalisme sebagai keyakinan kepada Qur'an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma-norma politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan, untuk menciptakan masyarakat yang baru. Menurut Binder, sebagai aliran keagamaan, fundamentalisme adalah aliran yang bercorak romantis kepada Islam periode awal.  Mereka berkeyakinan bahwa doktrin Islam adalah lengkap, sempurna dan mencakup segala macam persoalan. Hukum-hukum Tuhan diyakini telah mengatur seluruh alam semesta tanpa ada masalah-masalah yang luput dari perhatiannya.
Pengertian fundamentalisme dengan menekankan unsur rigid dan literalis dikemukakan oleh Allan Tailor, Patrick Bannerman, Daniel Pipes, Bassam Tibi dan Bruce Lawrence. Menurut Taylor, kaum fundamentalis adalah kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin. Bagi Bannerman, kaum fundamentalis adalah kelompok ortodoks yang bercorak rigid dan ta'ashub yang bercita-cita untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad ke tujuh Masehi, yaitu doktrin Islam zaman klasik.
Corak fundamentalisme sebagai aliran keagamaan yang bersifat rigid dikemukakan juga oleh Daniel Pipes. Menurutnya, kaum fundamentalis adalah kelompok yang berkeyakinan  bahwa syari'ah adalah peraturan-peraturan yang kekal dan abadi sepanjang zaman tanpa perlu ditafsirkan ulang untuk menyesuaikannya dengan perubahan zaman.  Bassam Tibi, bahkan mengartikan fundamentalis secara lebih tegas, yaitu aliran keagamaan yang menolak segala hal yang baru selain dari pada apa yang telah ada dalam doktrin. Tetapi Bruce Lawrence, selain menekankan corak rigid kaum fundamentalis, lebih menekankan definisi fundamentalis pada  penegasan otoritas keagamaan sebagai holistik dan mutlak, tanpa memberikan penghargaan kepada kristisisme atau pun pemikiran reduktif. Ia juga memasukkan ekspresi sosiologis fundamentalisme ke dalam suatu tuntutan kolektif, yaitu tuntutan agar keyakinan dan nilai-nilai etika yang diajarkan oleh agama diterima oleh masyarakat dan secara legal-formal wajib dilaksanakan.

Ciri-ciri fundamentalisme
Menarik mengamati fundamentalisme dari perspektif sosiologis. Terlihat bahwa walaupun gerakan fundamentalisme mengekspresikan watak khas tradisi agama tertentu, namun terdapat kesamaan ciri mendasar antara satu agama dan agama lainnya, yakni, gerakan yang muncul sebagai dampak dari proses transformasi sosial. Karena itu, fundamentalisme bisa didefinisikan sebagai suatu bentuk gerakan agama yang bereaksi terhadap perubahan sosial dan menganggapnya sebagai krisis. 
Sebagai suatu konsep, fundamentalisme mengandung dalam dirinya, paling tidak tiga unsur: fenomena keagamaan; penolakan terhadap dunia sebagai reaksi terhadap perubahan sosial dan kultur yang dipersepsikannya sebagai krisis; dan reaksi defensif dengan berupaya mempertahankan atau merestorasi tatanan sosial masa lalu yang diidealkan atau diimajinasikan sebagai paling otentik dan benar.
Fatalnya, dalam kaitan dengan masa lalu, pendekatan mereka bersifat “mistis”, karena menganggapnya sebagai tidak berubah dan kebenaran abadi.  Sementara, masa kini dan masa depan dipandangnya dalam kerangka eskatologis. Untuk unsur pertama dan kedua, mereka kerap mengembangkan etika hukum yang cenderung rigid (kaku), karena memusatkan perhatian pada regulasi hukum yang konkret, seperti ketentuan haram, halal, dan seterusnya. Perhatian yang begitu besar pada regulasi kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada prinsip-prinsip keagamaan dan kewajiban ritual, menyebabkan pemahaman keagamaan yang dikembangkan bersifat sangat legal-formal.
Selanjutnya, Leonard Binder, menyebutkan bahwa ciri utama fundamentalisme adalah pandangannya yang khas mengenai kedudukan ijtihad. Menurutnya, kaum fundamentalis hanya membenarkan ijtihad yang dilakukan sepanjang syariah tidak memberikan perincian yang lebih mendalam terhadap masalah-masalah tertentu. Selain itu, harus tidak ada preseden dari tradisi awal Islam, atau pun pendapat para fuqaha terkemuka dari zaman yang silam tentang persoalan-persoalan itu. Jika ijtihad dilakukan, ia hanya boleh dilakukan oleh para mujtahid, yaitu alim ulama yang telah memenuhi syarat-syarat untuk melakukan ijtihad. Ijma (konsensus), meskipun diakui sebagai salah satu sumber hukum Islam, tetapi terbatas pada ijma dari zaman para sahabat Nabi. Ijma pada zaman itu tidak boleh dihapuskan oleh ijma yang disepakati oleh generasi-generasi  yang hidup di zaman kemudian.
Fazlur Rahman menambahkan dua ciri lain terhadap fundamentalisme, yaitu semangat anti Barat dan anti intelektual. Pemikiran fundamentalisme, tambah Rahman, tidaklah berakar kepada Al-Quran dan budaya intelektual tradisional Islam. Semangat anti Barat yang diperlihatkan oleh kaum fundamentalis juga terlihat pada sikapnya yang mengutuk modernisme karena corak adaptasi dan akulturasinya dengan  budaya intelektual Barat.
Ciri lain lagi dikemukakan oleh Hrair Dekmeijian, fundamentalisme lebih mementingkan slogan-slogan revolusioner dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan gagasan secara terperinci. Slogan, seperti  "Jihad" dan "menegakkan hukum Allah" adalah slogan utama kaum fundamentalis. Selain karakteristik ini, menurut Dekmejian, kaum fundamentalis cenderung untuk membakar emosi dengan slogan-slogan "mempertahankan kemurnian" dan "syahid membela Islam”, dibandingkan dengan penggunaan cara-cara pemikiran yang rasional dan intelektual. Ringkasnya, menurut Dekmeijian, kaum fundamentalis lebih cenderung bersikap doktriner dalam menyikapi persoalan yang dihadapi, namun kurang berusaha memikirkan segi-segi praktis yang secara implementatif dapat menyelesaikan masalah .

Fundamentalisme Islam
Apa itu fundamentalisme Islam? Fundamentalisme Islam pada dasarnya lebih merupakan sebuah istilah politis dari pada istilah agama. Istilah ini terkesan mengandung permusuhan politis dari pada ortodoksi agama. Istilah fundamentalisme dalam konteks Islam pertama kali digunakan oleh media massa Amerika ketika revolusi Iran pada tahun 1979, dan di sini fundamentalisme memiliki arti negatif.  Sejak itu, media dunia menggunakan istilah fundamentalisme Islam dengan arti negatif. Bukan hanya para jurnalis, tetapi cendikiawan di seluruh dunia juga menggunakannya sebagai istilah yang memuat kesan negatif.
Kemudian, faktor apa yang mendorong timbulnya gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia? Ada beragam  faktor, di antaranya faktor sosio-psikologis umat Islam yang kecewa terhadap kebijakan dan program Orde Baru yang dinilai lebih menonjolkan pandangan keislaman liberal dan sekuler. Menurut mereka, upaya modernisasi yang sangat gigih dijalankan Orde Baru mengakibatkan umat Islam Indonesia kehilangan identitas budaya, nilai-nilai, dan norma sehingga mengalami krisis identitas keagamaan yang selanjutnya menjadi penyebab bagi timbulnya krisis moral. Sebagai respon terhadap kegagalan tersebut muncul kelompok yang menyerukan untuk kembali ke konsep Islam "sejati", Islam sebagaimana dipraktekkan di masa Rasul dan para sahabatnya. Menurut kelompok fundamentalis, Islam yang harus diacu adalah Islam yang pernah jaya dalam sejarah peradaban umat manusia, yakni Islam klasik zaman Rasul sampai Daulah Abbasiyah. Sayangnya, mereka lebih mengadopsi identitas keislaman yang bersifat fisik atau legal-formal, seperti pemakaian jilbab bagi perempuan, penggunaan hijab di tempat-tempat umum agar laki-laki dan perempuan tidak saling bertemu dan berinteraksi secara langsung; memakai celana puntung, jubah dan jenggot bagi laki-laki; cara makan, cara bersiwak, cara bersalaman; demikian pula pandangan politiknya.
Selain itu, romantisme untuk kembali ke gelanggang politik dari kelompok Islam Masyumi yang mendapatkan angin setelah jatuhnya kekuasaan Orde Baru.  Kelompok ini terdiri dari mantan politisi yang tersingkir di masa Orde Baru lalu menfokuskan diri pada gerakan dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan semacamnya. Lembaga ini aktif melakukan pengkaderan dan mengirim sejumlah kadernya untuk menimba ilmu di negara-negara Muslim, seperti Saudi Arabia, Mesir, Pakistan dan Malaysia. Para kader inilah kemudian menjadi kelompok pemikir yang berhaluan keras yang selanjutnya giat menyerang pemikiran moderat di Indonesia.[2]
Lalu, mengapa umumnya umat Islam menolak istilah fundamentalisme? Sebab, istilah ini merupakan istilah asing atau datang dari luar Islam (impor). Artinya, bahwa istilah itu tidak dikenal dalam ajaran Islam. Fundamentalisme merupakan istilah yang dikonstruksi oleh orientalis dan islamolog. Kenyataan ini telah menyebabkan sejumlah komunitas muslim menolak dan keberatan dengan istilah tersebut.  Namun, akhir-akhir ini istilah itu semakin populer dalam khazanah Islam, dan diterjemahkan ke Bahasa Arab dengan al-ushuliyyah artinya paham yang ingin kembali ke dasar (al-awdah ila al-ushul). 
Tradisi keilmuan klasik menyebut dasar-dasar keagamaan dengan istilah ushul al-ddin (akidah)[3] dan ushul al-fiqh (fiqih).[4] Kedua model keilmuan ini mempunyai ketahanan dan kekebalan yang luar biasa karena senantiasa diwariskan secara turun-temurun dan sudah berlangsung berabad-abad tanpa mengalami perubahan yang signifikan. Kedua model keilmuan tersebut diterima tanpa reserve, dan malah sering dianggap sebagai “wahyu” yang taken for granted.
Pada umumnya gejala fundamentalisme Islam mengambil bentuk intensifikasi penghayatan Islam dalam format yang sangat tekstualis, baik dalam bentuk intensifikasi keislaman yang berorientasi ke dalam (inward oriented) yang lebih bersifat individual (psikologis) maupun yang berorientasi ke luar (outward oriented) yang lebih bersifat sosial-politik. Kelompok fundamentalis Islam secara esensial memperjuangkan Islam sebagai pedoman hidup menyeluruh. Islam yang mencakup seluruh aspek dalam kehidupan manusia: mencakup sistem nilai dan sistem hukum. Islam berisi ajaran yang serba lengkap. Karena itu, istilah-istilah ekonomi Islam, politik Islam, keluarga Islam, negara Islam, bank Islam, perumahan Islam, ilmu pengetahuan Islam mendominasi retorika kelompok ini.
 Berdeda dengan kelompok pembaru (modernis) yang menekankan pada aspek teologi atau nilai-nilai, kelompok fundamentalis justru menekankan pada aspek fiqh dan memandang fiqh sebagai perwujudan dari teologi. Dan keterpaduan teologi dan fiqh ini melahirkan suatu komunitas Islam yang unik. Bagi mereka, Islam adalah identitas dalam kehidupan sosio-politik.
Namun, secara sosiologis, pandangan fundamentalisme tidak memiliki masa depan Islam di mana pun, termasuk di Indonesia.  Hal itu mengingat tendensi mereka yang menekankan literalisme sehingga pada gilirannya mengalami pemiskinan intelektual. Alternatif-alternatif mereka yang sangat terbatas dan konsep-konsep mereka yang secara intelektual miskin itu tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman yang semakin meningkat.  Ketiadaan alternatif itu pula yang menyebabkan mereka berada dalam kubangan absolutisme dan pemaksaan kehendak. Selain itu, fundamentalisme juga ditengarai sebagai ancaman utama terhadap demokrasi, kebebasan warga, hak-hak perempuan, kemajuan saintifik, hak-hak sipil kelompok minoritas etnik dan agama. Bahkan, tidak sedikit  kalangan sarjana Muslim menganggap kaum fundamentalis sebagai suatu ancaman terhadap Islam itu sendiri.
Berbeda dengan kelompok moderat yang bersifat elitis, kelompok fundamentalis tampaknya lebih populis, dan pikiran-pikiran keagamaan yang mereka tawarkan lebih mudah dicerna oleh masyarakat umum karena lebih simpel dan tidak memerlukan analisis yang panjang, bersifat tekstualis, sangat harfiyah dan tidak mengandung penjelasan filosofis yang rumit-rumit seperti pemikiran para pembaharu. Tambahan lagi, pemikiran keagamaan yang mereka sampaikan, khususnya berkaitan dengan relasi gender, sangat akomodatif dengan budaya patriarki yang masih kental dianut di masyarakat, yaitu pemikiran yang memandang perempuan sebagai subordinat laki-laki dan makhluk domestik belaka.

Fundamentalisme Meminggirkan Perempuan
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa perempuan selalu berada dalam posisi sebagai korban setiap suatu masyarakat mengalami proses fundamentalisasi. Perempuan dalam agama apa pun selalu menjadi sasaran diskriminasi dan eksploitasi para penafsir fundamental yang benci pada perempuan (mysogini). Diskriminasi penafsiran, kata Karen Amstrong6, dimulai ketika sejarah agama dipisahkan dari kontek historis dan raison de etre keyakinan individu pemeluknya. Pergulatan agama hanya dipahami sebagai interior journey daripada sebagai sebuah sejarah dan drama politik. Sehingga terkesanlah teologi sebagai ilmu yang tertutup, yang menghasilkan masyarakat agama yang tertutup pula. Tak ayal banyak konflik baik di tingkat global maupun nasional diakibatkan oleh teologi yang ekslusif. Jika memang benar fundamentalisme merupakan ekspresi dari kegelisahan dan kebekuan kolektif, maka tidak bisa disikapi dengan pertarungan melainkan pemahaman dan empati, membangun komunitas yang saling percaya, bertanggung jawab atas terwujudnya keadilan, suka cita dan kedamaian hidup bagi semua.
Pertanyaan muncul, mengapa mesti perempuan jadi korban? Perempuan menjadi sasaran kelompok fundamentalis karena mereka merasa memiliki legitimasi agama untuk menyerang kaum perempuan. Legitimasi agama didukung pula oleh nilai-nilai yang secara umum memang berwatak patriarkis.  Tidak mengherankan jika suatu masyarakat atau negara mengalami fundamentalisasi, domestifikasi perempuan biasanya menjadi program politik pertama. Mengapa demikian? Sebabnya adalah biaya sosial politik domestifikasi perempuan sangat murah dan mudah. Murah dan mudah karena dalam struktur masyarakat patriarki proyek domestifikasi perempuan tidak akan mendapat resistensi sosial politik yang berarti.
Para pemerhati perempuan sepakat menyebutkan, perempuan diperebutkan tidak lain karena perempuan merupakan perwujudan dari berbagai simbol: simbol kehidupan; simbol kekuasaan, simbol kebenaran, simbol moralitas, dan simbol kemurnian ajaran agama. Karena itu, perempuan menjadi target dan sasaran. Sebab, menaklukkan perempuan berarti menguasai kehidupan, mengontrol  kekuasaan, membela kebenaran, menjaga moralitas, dan mengembalikan kemurnian ajaran agama.
Sangat wajar jika isu perempuan hangat dibicarakan dalam wacana fundamentalisme. Yang pasti bahwa dalam fundamentalisme Islam, perempuan selalu terpasung hak-haknya sebagai manusia dan akibatnya posisi perempuan kembali terpuruk. Sebab, gagasan kembali ke Islam yang diperjuangkan kelompok fundamentalis selalu bermakna kembali kepada Islam tekstualis; kembali kepada karakter ideologis yang statis, ahistoris, eksklusif, dan bias patriaki.  Bukan kembali ke visi otentik Islam yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif, dan mengapresiasi pluralisme serta mengakomodasikan perubahan dan pembaruan untuk kemaslahatan semua manusia.
Masyarakat muslim yang mempertahankan fundamentalisme memiliki kecenderungan memanipulasi dan memanfaatkan ajaran Islam untuk melegitimasi kekuasaan patriarkhi dan mengucilkan perempuan dari ruang publik. Apabila mengamati secara umum hak-hak sipil dan politik kaum perempuan di bawah berbagai rezim Islam di dunia ini, terlihat secara kasat mata bahwa Islam sungguh membelenggu hak-hak sipil dan politik kaum perempuan. 
Sebagai contoh, Konstitusi Islam Iran tahun 1979 setelah kemenangan revolusi misalnya, walaupun tidak secara eksplisit menunjukkan subordinasi perempuan sebagai warganegara kelas dua, dalam aktualisasinya telah membatasi hak-hak sipil dan politik kaum perempuan di wilayah publik. Ideologi pemerintah revolusioner Iran sangat patriarkhis terutama pada masa pemerintahan Imam Khomeini.16 Atas nama agama, Khomeini menempatkan perempuan pada fungsi primer di ruang interior, sekadar mengasuh anak dan tidak mendapatkan pendidikan yang setara. Di bidang pendidikan perempuan hanya mendapatkan mata kuliah tertentu yang berbeda dari kaum laki-laki. Mereka tereksekusi dari berbagai pekerjaan berkelas seperti di wilayah kehakiman dan berbagai jabatan birokrasi, politik dan pemerintahan.17 Jadi yang mereka maksudkan kembali kepada Islam adalah kembali kepada karakter ideologis yang statis, ahistoris, sangat eksklusif, dan bias patriaki. Bukan kembali ke visi otentik Islam yang cirinya adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif, mengapresiasi pluralitas dan pluralisme serta mengakomodasikan perubahan dan pembaruan.
Di Iran misalnya, setelah Revolusi Islam Iran tahun 1979, pemerintahan Khomeini memproklamirkan sebuah konstitusi yang disebutnya Konstitusi Islam Iran yang di dalamnya menempatkan perempuan dalam posisi subordinat sebagai warga negara kelas dua. Perempuan dibatasi hak-hak sipil dan politiknya di ranah publik. Fundamentalisme berusaha mengembalikan perempuan ke dalam rumah dan meneriakkan slogan bahwa fungsi utama seorang perempuan adalah mengasuh anak dan mengerjakan tugas-tugas pokok di rumah tangga.
Perubahan mulai terjadi di masa pemerintahan Muhammad Khatami tahun 1997.  Era Khatami adalah tahun yang menentukan dalam panggung politik Republik Rakyat Iran. Koalisi kaum perempuan, kaum muda dan suara reformis berhasil membawa Khatami sebagai Presiden Republik Islam Iran melalui Pemilihan Umum.  Bersamaan dengan perubahan politik tersebut, suara-suara moderat dan pembukaan akses yang lebih luas dan setara bagi perempuan Iran semakin diperhatikan.   Khatami merupakan presiden progresif yang memperkenalkan liberalisasi politik dalam makna yang sebenarnya di dalam pemerintahan Islam Iran. Di bawah   Khatami, pemerintah Iran perlahan-lahan membuka ruang bagi perempuan untuk terlibat dalam wilayah politik. Khatami menunjuk beberapa perempuan masuk dalam kabinet pemerintahannya.  Secara personal, dia pun tidak keberatan dengan wacana bolehnya perempuan sebagai kepala negara.
Perempuan Sudan juga mengalami apa yang terjadi di Iran. Sudan dibawah rezim Omar Al-Bashir dan Hassan Al-Turabi adalah salah satu negara yang memarjinalkan perempuan. Berbagai wilayah pendidikan tingkat tinggi tidak dapat diakses perempuan. Penggunaan hijab merupakan kewajiban, bukan pilihan yang sadar. Perempuan tidak punya banyak kesempatan untuk bekerja di bidang pemerintahan. Hanya 40% perempuan mendapatkan kesempatan bekerja di pemerintahan.19 Perempuan tidak bisa dengan leluasa bepergian ke tempat-tempat umum kecuali disertai muhrimnya yang nota bene harus laki-laki;  perempuan juga tidak punya akses ke pendidikan tinggi.[5] Dengan demikian, perempuan terpasung hak-haknya yang asasi sebagai manusia merdeka.
Kondisi paling memprihatinkan adalah kaum perempuan Afghanistan masa pemerintahan Islam Taliban. Pada masa ini, kaum perempuan kembali dirumahkan, interaksi dengan dunia luar hanya dilakukan melalui jendela. Mereka tidak diizinkan mengikuti pendidikan di sekolah, tidak dizinkan bekerja di luar rumah. Perempuan yang dulunya berprofesi sebagai guru, hakim, pengacara harus kembali tinggal di rumah, kalaupun harus keluar rumah, mereka harus mengenakan pakaian serba tertutup yang disebut burkah, hanya bagian mata yang sedikit terbuka.
Seorang perempuan Afghanistan bernama Latifah bertutur saat berhasil melarikan diri dari negaranya dalam sebuah catatan harian yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Latifah: My Forbidden face”. Dengan getir Latifah menceritakan kekerasan psikologis yang ia alami dan juga diderita oleh setiap perempuan di bawah rezim Taliban.20  Menurut pengakuan Latifah, pada masa pemerintahan Taliban, interaksinya dengan dunia luar hanya terbatas pada jendela dapur dan pintu rumahnya. Sebelum pemerintahan Taliban, perempuan bebas ke sekolah. Akibat diskriminasi gender yang diterapkan Taliban, Latifah dan teman-teman perempuannya harus berdiam diri di rumah dan dihalangi kesempatan dan hak-haknya untuk mengecap pendidikan. Taliban mengajarkan para perempuan agar menerima dibatasi oleh tembok-tembok keluarga.
Bagaimana di Indonesia? Kaum fundamentalis di Indonesia memperjuangkan hal yang sama. Pengalaman pengucilan perempuan dari ruang publik seperti terjadi di Iran, Sudan dan Afghanistan  mereka adopsi secara utuh lalu memaksakannya pada perempuan Indonesia.
Kaum fundamentalis Islam di Indonesia memaksa perempuan harus kembali mengamalkan syariat Islam, dan syariat Islam yang dipahami mereka itu adalah syariat yang tidak kritis dan tidak rasional. Syariat yang memenjarakan perempuan sehingga jauh dari pengalaman perempuan di masa Rasul. Dalam ranah negara, implementasi Syariat Islam terwujud dalam bentuk peraturan dan kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan, seperti UU Pornografi, berbagai  peraturan daerah (Perda), seperti Perda tentang kewajiban berjilbab; Perda tentang larangan keluar malam bagi perempuan tanpa disertai mahram; Perda larangan prostitusi, dan sejumlah Qanun di Aceh, di antaranya Qanun Khalwat dan kewajiban berjilbab. Selanjutnya dalam ranah masyarakat sipil, implementasi syariat Islam mengambil wujud kehadiran fatwa MUI yang diskriminatif terhadap perempuan; munculnya organisasi keislaman yang visi dan misinya mengeksploitasi dan mengkriminalkan perempuan, seperti FPI,Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir, Lasykar Jundullah dan Forum Umat Islam.
Kesimpulannya, kelompok fundamentalis menjadikan perempuan sebagai makhluk domestik. Tugas utama seorang perempuan adalah melahirkan keturunan, melayani suami dan mengurus rumah tangga. Dengan alasan pemurnian agama dan kembali kepada teks Al-Qur’an dan Hadits, fundamentalisme Islam menegaskan perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Menurut mereka, Tuhan sengaja membuat keduanya berbeda dan perbedaan itu bukan diskriminasi melainkan demi kebahagiaan manusia. Kesimpulannya, fundamentalisme mengajak kembali kepada agama. Akan tetapi, dalam konteks perempuan yang diklaim sebagai kembali kepada ajaran agama adalah kembali merumahkan perempuan; kembali ke domestifikasi perempuan. Ringkasnya, fundamentalisme memproklamirkan politik anti feminisme, anti pluralisme, dan anti humanisme.
Politik anti feminisme yang menjadi ikon gerakan fundamentalisme merupakan program  yang paling sukses di banyak wilayah Islam, termasuk di Indonesia. Kaum fundamentalis dari berbagai agama memiliki kecenderungan yang sama, yakni memanipulasi dan memanfaatkan ajaran agama untuk melegitimasi kekuasaan patriarki, sekaligus meminggirkan perempuan.
Karena itu, pandangan fundamentalisme yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan sekaligus juga tidak ramah perempuan ini harus dieliminasi secara serius dan sistematik. Tujuan kita tiada lain  demi memanusiakan perempuan, dan demi membangun masyarakat sipil yang adil dan beradab.



[1] Karen Amstrong, The Battle fo God, Knof, (2000). 
[2] Saiful Muzani, ibid., h. 194-195.
[3] Dalam ranah ushuluddin yang paling populer adalah sekolah Hasan Al-Bashri yang kemudian terpecah dalam beberapa faksi yang berbeda pendapat, seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah.  Ini lebih dikenal dengan istilah paham sunni.  Sedangkan dalam tradisi Syi’ah juga terpecah dalam beberapa faksi, antara lain al-Zaydiyah, al-Ja’fariyah, al-Itsna ‘Asyar dan lain-lain.
[4] Yang populer sebagai peletak ushul fiqh yaitu Imam Al-Syafi’I dalam magnum opusnya, al-Risalah.  Lalu beberapa pemikiran, seperti Al-Syathibi, AL-Thufi dan lain-lain mengembangkan konsepesi fiqih tersebut, dan dijadikan rujukan untuk m
etode kesimpulan hukum.
6 Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Penerbit Mizan Bandung, Cetakan IV Maret 2003, hal. 23-24
16 Karen Armstrong (2000) dalam The Battle For God  menempatkan pemerintahan Republik Islam Iran terutama dibawah kepemimpinan Iman Khomeini sebagai bagian dari pemerintahan fundamentalis.  Revolusi yang dicanangkan oleh kalangan mullah Iran ini ditujukan untuk mengguncang hegemoni rasionalisme ilmiah Barat.  Di satu sisi keberadaan pemerintahan Islam Iran pada masa itu memiliki legitimasikuat, karena kebencian sebagian besar rakyat Iran terhadap rezime Syah Reza sebelumnya yang sekuler dan terasing dari kesadaran rakyatnya.  Namun demikian diantara antusiasme terhadap keberadaan awal dari republik Islam Iran kaum perempuan menjadi bagian dari subyek yang terpinggirkan hak-haknya dari otoritas orde sosial religius ini.  Seperti halnya beberapa pemerintahan religius lainnya, pemerintahan Islam iran terutama pada masa Imam Khomeini memberlakukan tradisi besar ortodoksi teologi patriarkhi dalam tatanan social masyarakat muslim Iran.
17 Ann Elizabeth mayer, Islam dan Human Rights: Tradition and Politics, (Westview Press Washington 1991) hal. 130-131.
19 Saiful Mujani, Syari’at Islam dalam Perdebatan, dalam Syari’at Islam: Pandangan Muslim Liberal  (Jaringan Islam Liberal Jakarta 2003) hal. 35.
[5] Abdullahi Ahmed an-Naim, Dekonstruksi  Syari`ah (terjemahan), Yogjakarta,  LKiS, 1997, h. 79-80.
20 Latifah, Latifah: My Forbidden Faces: Growing Up Under The Taliban: A Young Woman Story (Talk Miramax Books New York 2001) hal. 83.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar