Pendahuluan
Mengapa
prinsip kesetaraan gender menjadi isu penting dalam pembangunan bangsa?
Jawabnya tiada lain, berdasarkan laporan banyak negara, PBB menyimpulkan bahwa
masalah diskriminasi atau ketidakadilan gender merupakan faktor penting
kemunduran peradaban suatu bangsa. Solusi
mengatasi masalah itu harus dengan menegakkan prinsip kesetaraan dan keadilan
gender dalam seluruh aspek pembangunan.
Kemunduran
peradaban itu terlihat pada sejumlah indikasi berikut: rendahnya kualitas hidup
masyarakat, khususnya kaum perempuan; tingginya angka kemiskinan, tingginya
angka kebodohan dan keterbelakangan, banyaknya anak-anak mengalami kondisi gizi
buruk, rendahnya tingkat kesehatan reproduksi perempuan, banyaknya penderita HIV/aids dan penyakit menular seksual
lainnya, serta rendahnya kesadaran lingkungan.
Indikasi
lain berupa tingginya pelanggaran hak asasi manusia,
terutama dalam bentuk kasus-kasus pelecehan seksual terhadap
perempuan, maraknya perkosaan dan perdagangan perempuan dan anak perempuan,
tingginya angka perkawinan anak dan
perkawinan paksa, tingginya angka perceraian dan poligami, banyaknya
kasus inces, tingginya angka penelantaran anak dan pengabaian hak-hak asasi manusia lanjut
usia, terutama perempuan.
Pengertian
diskriminasi gender
Diskriminasi adalah cara menyikapi perbedaan (pembedaan) yang
merugikan. Pada umumnya kata
diskriminasi digunakan untuk pembedaan yang berkonotasi negatif atau merugikan
pihak yang dibedakan. Pembedaan yang dilakukan secara sengaja untuk tujuan
positif atau menguntungkan biasanya tidak disebut sebagai diskriminasi melainkan suatu perlakuan khusus (affirmative action).
Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau, pengecualian,
pembatasan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam seluruh bidang kehidupan.
Lebih tegas lagi, Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW Tahun 1979) menyebutkan,
diskriminasi terhadap perempuan adalah pembedaan,
pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang
berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan, penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil,
dan lainnya.
Kesimpulannya, diskriminasi atau ketidakadilan gender adalah segala bentuk
pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar konstruksi sosial
tentang jenis kelamin yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apa pun lainnya pada jenis
kelamin tertentu.
Diskriminasi terhadap gender perempuan muncul dalam beragam bentuk, di antaranya: Pertama, Stereotype atau pelabelan negatif. Misalnya perempuan itu lemah, cengeng, dan emosional, sementara laki-laki dianggap kuat, tabah,
dan rasional. Oleh karena itu, tempat perempuan adalah di ranah privat
(domestik) dan laki-laki di ranah publik, dan perempuan tidak bisa menjadi
pemimpin karena lemah, sedangkan laki-laki
mampu dan berhak menjadi pemimpin. Kedua, Subordinasi atau posisi di
bawah. Misalnya menganggap perempuan lebih rendah, kurang penting, dan
kurang bernilai dibandingkan dengan laki-laki. Dampaknya adalah posisi
strategis pada umumnya didominasi oleh laki-laki sehingga keputusan dalam
keluarga, masyarakat, agama, negara, hingga dunia global didominasi pula oleh
laki-laki.
Ketiga, marjinalisasi (peminggiran). Misalnya
peminggiran perempuan dalam dunia politik dan ekonomi.
Perempuan yang diberi label lemah dan emosional dan diposisikan di bawah
laki-laki, pada gilirannya dipingkirkan /terpinggirkan dalam dunia politik
formal. Perempuan yang dilabelkan sebagai ibu rumah tangga kemudian juga
dipinggirkan dalam pembangunan ekonomi. Marginalisasi perempuan petani dalam
pertanian modern adalah bagian yang tidak terpisahkan dari praktek diskriminasi
gender. Keempat, double
burden (beban ganda). Misalnya
perempuan yang bekerja mencari nafkah tetap dibebani dengan tugas rumah tangga
meskipun ketika suaminya tidak bekerja sama sekali. Kelima, kekerasan, yaitu setiap perbuatan yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis,
termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan, atau perampasan
kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di
dalam kehidupan pribadi.
Diskriminasi gender bukan hanya dapat menghambat penegakan hak asasi
manusia, melainkan juga menghambat program pembangunan di segala bidang. Misalnya beberapa hal berikut: Tidak
diakuinya kemampuan perempuan; Pekerjaan domestik tidak dianggap sebagai
pekerjaan produktif yang perlu dilindungi undang-undang;
Upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki; Perempuan tidak dianggap sebagai pencari nafkah, meskipun faktanya
sebagian perempuan adalah penyangga utama ekonomi keluarga; Perempuan tidak banyak memiliki akses untuk menjadi pemimpin di dunia
publik atau politik; Perempuan menanggung beban ganda; Perilaku kekerasan (KDRT) terhadap perempuan dianggap wajar; dan Perempuan korban sering dipersalahkan; Tubuh perempuan dipersalahkan (dianggap sebagai penyebab masalah kekerasan
seksual). Tentu saja berbagai
kondisi negatif tersebut menghambat kemajuan perempuan dan sekaligus juga
berarti menghambat kemajuan bangsa dan negara.
Pentingnya menghapus
diskriminasi gender
Ada banyak upaya dapat dilakukan untuk menghapus diskriminasi
atau ketidakadilan gender terhadap perempuan, yang paling mengemuka ada dua pendekatan. Pertama, pendekatan struktural
melalui penegakan hukum, penguatan institusi, dan penyediaan kebijakan-kebijakan
serta peraturan-peraturan yang
memastikan adanya keadilan gender dan penghapusan diskriminasi. Kedua, pendekatan kultural melalui
serangkaian kegiatan edukasi yang mencerahkan dan menyadarkan masyarakat, seperti diskusi, pelatihan, seminar, workshop dan
kegiatan seni budaya.
Pengalaman di
tingkat internasional mengajarkan bahwa pihak yang paling berkompeten menghapus
diskriminasi gender adalah institusi
negara. Hal itu karena negara memiliki kekuasaan yang sangat besar. Negara
wajib mempromosikan,
memenuhi, memberikan
perlindungan, dan menjamin
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam semua kebijakan publik dan peraturan
perundang-undangan. Termasuk di dalamnya, tindakan khusus sementara yang mencakup akses,
partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan dan penikmatan manfaat yang sama
dan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam semua tahapan pembangunan.
Kewajiban-kewajiban dimaksud dilaksanakan oleh lembaga negara termasuk
Lembaga Pemerintah non Kementerian, Lembaga non Pemerintah, Lembaga Masyarakat
dan Korporasi dengan melibatkan partisipasi seluruh warga negara. Kewajiban tersebut meliputi upaya-upaya berikut: 1) mempromosikan,
memenuhi segala bentuk perlindungan, dan jaminan
pemenuhan hak asasi
perempuan; 2) melakukan upaya peningkatan
partisipasi masyarakat, khususnya perempuan; 3) menentukan strategi pelaksanaannya; 4) melakukan
penelitian dan pengkajian untuk memastikan perspektif gender terintegrasi dalam
peraturan perundang-undangan dan perumusan kebijakan pembangunan; 5)
melakukan pemantauan dan evaluasi hasil pelaksanaan kesetaraan dan keadilan
gender dalam semua sektor
pembangunan.
Selain kewajiban
negara, setiap warga negara juga punya kewajiban, antara lain dalam bentuk:1) Memberikan informasi yang benar dan
bertanggung jawab kepada pihak yang berwenang jika mengetahui terjadinya
diskriminasi berbasis gender; 2) Mencegah terjadinya
diskriminasi berbasis gender; dan 3) Melakukan upaya perlindungan korban
diskriminasi berbasis gender.
Di samping itu, negara pun harus memastikan terpenuhinya
hak-hak dasar perempuan yang meliputi: 1) hak perempuan atas perlindungan kesehatan reproduksi; 2) hak pendidikan; 3) Hak jaminan sosial; 4) Hak ekonomi dan
ketenagakerjaan; 5) Hak partisipasi di bidang politik dan hubungan internasional; 6) Hak atas keterwakilan
perempuan dalam proses dan lembaga perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan publik; 7) Hak atas perkawinan dan hubungan keluarga; dan 8) Hak atas proses dalam
penegakan hukum. Hak-hak dimaksud berlaku juga bagi semua perempuan di pedesaan, perempuan kepala
keluarga, dan perempuan kelompok rentan atau minoritas.
Hak konstitusional
perempuan dan penegakannya di bidang hukum
Hak
konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga
negara yang dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia.
Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk setiap warga negara: laki-laki maupun
perempuan. Bahkan, UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.” Dengan demikian, jika terdapat
ketentuan atau tindakan yang mendiskriminasikan warga negara tertentu, hal itu
melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, dan dengan
sendirinya bertentangan dengan UUD 1945.
Oleh
karena itu, setiap perempuan Indonesia memiliki hak konstitusional sama dengan
laki-laki. Perempuan juga memiliki hak untuk tidak diperlakukan diskriminatif atas
dasar gender, atau pun atas dasar perbedaan lainnya. Semua hak konstitusional
yang telah diuraikan sebelumnya merupakan hak konstitusional setiap perempuan
warga negara Indonesia. Hal lain yang tidak kalah
pentingnya adalah menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi terutama terkait
dengan hak konstitusional perempuan. Hal ini semakin penting karena kendalanya
ternyata berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang masih sangat patriarkal.
Akar budaya tersebut melahirkan dua hambatan: baik dari sisi perempuan itu
sendiri maupun dari masyarakat secara umum.
Agar
setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dan dapat memperoleh
perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan
perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Hanya dengan perlakuan khusus
tersebut, dapat dicapai persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan
hak konstitusional setiap warga negara.
Oleh karena itu, UUD 1945 menjamin perlakuan khusus tersebut sebagai hak
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Pasal 28H Ayat (2)
menyatakan “Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Salah
satu kelompok warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus
adalah perempuan. Tanpa adanya perlakuan khusus, perempuan tidak akan dapat
mengakses perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya karena perbedaan dan
pembedaan yang selama ini dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarki.
Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya perlakuan khusus,
justru akan cenderung mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak
mampu mencapai keadilan gender. Pentingnya menghapuskan diskriminasi terhadap
perempuan melalui perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai kesetaraan dan keadilan gender telah diakui secara
internasional.
Penghapusan
diskriminasi melalui pemajuan perempuan menuju kesetaraan gender bahkan
dirumuskan sebagai kebutuhan dasar pemajuan hak asasi manusia dalam Millenium
Development Goals (MDG’s) sekarang disebut Sustainability Development Goals
(SDG’s). Hal itu diwujudkan dalam delapan area upaya pencapaian di antaranya;
mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender, meningkatkan keberdayaan
perempuan, dan meningkatkan kesehatan ibu. Rumusan tersebut berpijak pada kenyataan
bahwa perempuan mewakili setengah dari jumlah penduduk dunia, serta sekitar 70%
penduduk miskin dunia adalah perempuan.
Pada
tingkat nasional upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan
mencapai kesetaraan gender telah dilakukan walaupun pada tingkat pelaksanaan
masih membutuhkan kerja keras dan perhatian serius. CEDAW telah diratifikasi
sejak 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Upaya memberikan perlakuan khusus untuk mencapai persamaan gender juga telah
dilakukan melalui beberapa peraturan perundang-undangan, baik berupa
prinsip-prinsip umum, maupun dengan menentukan kuota tertentu. Bahkan, untuk
memberikan perlindungan terhadap perempuan yang sering menjadi korban kekerasan
telah dibentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
Tantangan penegakan kesetaraan gender di bidang hukum
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) akhir tahun
2016 menjelaskan, terdapat lebih dari 400 produk hukum di Indonesia yang isinya
mengandung unsur diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, analisis terhadap kasus-kasus hukum
mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam bidang hukum dijumpai pada tiga aspek hukum
sekaligus, yaitu pada materi hukum (content of law), budaya hukum (culture
of law) dan struktur hukumnya (structure of law).
Pada aspek struktur, ketimpangan
gender ditandai oleh masih rendahnya sensitivitas gender di lingkungan penegak
hukum, terutama di kalangan polisi, jaksa dan hakim. Lalu, pada aspek budaya
hukumnya juga masih sangat dipengaruhi nilai-nilai patriarki yang kemudian mendapat legitimasi kuat dari interpretasi agama.
Hal itu kemudian diperparah oleh
keterbatasan materi hukum yang ada sebagaimana terlihat dalam berbagai
peraturan daerah yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Materi hukum
dalam sejumlah peraturan daerah sarat dengan muatan nilai-nilai patriarki yang
bias gender. Di antara peraturan-peraturan daerah yang
meminggirkan perempuan adalah aturan tentang kewajiban berjilbab bagi perempuan karyawan
pemerintah; aturan yang mewajibkan para pelajar perempuan mengenakan baju kurung
dan jilbab. Aturan wajib jilbab dan busana islami bagi orang Islam dan anjuran memakainya
untuk non-Islam. Selain terkait busana,
dijumpai juga aturan yang melarang perempuan keluar malam tanpa disertai
muhrimnya, aturan yang membolehkan poligami dan aturan yang melarang perempuan
menjadi pemimpin di suatu daerah. Semua produk hukum yang bias gender tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi Indonesia.
Selain dari substansi aturan hukum, gugatan terhadap ketidakadilan
gender juga diarahkan pada sistem dan struktur hukum yang masih bias gender.
Artinya, pokok persoalan korelasi antara laki-laki dan perempuan terletak pada
sistem dan stuktur hukum (subtance)
yang belum seimbang. Hal itu misalnya terkait dengan proses hukum dalam kasus
kekerasan terhadap perempuan. Sebagai korban atau saksi, perempuan memerlukan
kondisi tertentu untuk dapat memberikan keterangan dengan bebas tanpa tekanan.
Untuk itu, proses perkara mulai dari penyelidikan hingga persidangan perlu
memperhatikan kondisi tertentu yang dialami perempuan. Di antaranya, saat
penyidikan, perempuan korban kekerasan tentu membutuhkan ruang tersendiri,
apalagi jika terkait kekerasan seksual. Tidak semua perempuan mampu menyampaikannya secara terbuka. Demikian
pula terkait dengan persidangan yang membutuhkan jaminan keamanan baik fisik
maupun psikis.
Berdakwah dengan ajaran agama yang sensitif gender
Pemerintah
melalui Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memprediksikan sejumlah
kendala yang dihadapi dalam upaya pemberdayaan perempuan, dan salah satu kendala
utama adalah agama. Tepatnya, tafsir atau interpretasi agama. Bicara tentang
agama hakikatnya bicara tentang tafsir atau interpretasi, dan dalam semua agama
tidak pernah dijumpai satu tafsir tunggal, melainkan selalu ada beragam tafsir
atau interpretasi.
Mengapa muncul kendala
dalam bidang agama? Paling tidak ada dua faktor: pertama, rendahnya pengetahuan
dan pemahaman masyarakat mengenai nilai-nilai agama yang menjelaskan peran dan
fungsi perempuan; dan kedua, masih banyak penafsiran ajaran agama yang
merugikan kedudukan dan peran perempuan.
Dalam
studi gender, institusi Agama selalu dituduh sebagai salah satu faktor penting
yang melanggengkan diskriminasi gender. Sebagai orang beragama, penulis yakin
tuduhan itu tidak benar. Sebab semua agama hadir membawa pesan-pesan moral
untuk kebaikan dan kemashlahatan seluruh manusia, tanpa kecuali. Jadi tidak
mungkin agama membawa pesan diskriminasi dan ketidakadilan gender. Agama pasti
datang untuk memanusiakan manusia. Agama pasti tidak membenarkan semua bentuk
ketidakadilan, diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan untuk alasan apa pun.
Terkait konsep keadilan gender, semua agama secara
normatif mengakui bahwa Tuhan telah
menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan. Agama juga
mengajarkan bahwa perbedaan keduanya hanya terletak pada aspek biologis semata,
bukan bersifat esensial. Perbedaan itu tidak mengubah hakikat status, harkat
dan martabat manusia. Kesimpulannya semua manusia adalah setara di hadapan
Tuhan.
Masalahnya, wahyu ilahi dalam bentuk teks-teks suci yang
turun ke bumi dan kemudian dibaca dan dipahami oleh para penganutnya dalam
perkembangannya mengalami kontaminasi atau sejumlah reduksi, baik sengaja
maupun tidak. Para pemuka agama ketika menafsirkan atau membuat interpretasi tidak
sedikit yang terpengaruh oleh budaya patriarki yang berkembang di
masyarakatnya, belum lagi pengaruh kepentingan politik yang melingkupi
kehidupan mereka. Tambahan lagi, karena godaan keserakahan dan hawa nafsu, sebagian manusia terjerumus
melakukan tindak kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi, khususnya terhadap
perempuan. Fatalnya, mereka tidak segan-segan menjadikan agama sebagai dalil pembenaran.
Akibatnya,
cukup banyak dijumpai tafsir atau interpretasi agama yang tidak ramah terhadap
perempuan, bahkan beberapa terkesan sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Misalnya, tafsir ajaran agama yang memandang perempuan sebagai manusia kelas
dua karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam); ajaran
agama yang melarang perempuan menjadi imam atau pemimpin; ajaran agama yang
membolehkan laki-laki berpoligami; ajaran agama yang membolehkan pemaksaan anak
perempuan untuk menikah; ajaran agama yang membolehkan pemaksaan hubungan
seksual terhadap perempuan dalam perkawinan; ajaran agama yang melarang
perempuan keluar tanpa muhrim (pengawal laki-laki) atau melarang perempuan
bekerja di area publik, serta sejumlah ajaran lainnya yang sangat misoginis
(penuh kebencian) terhadap perempuan.
Sayangnya,
tafsir atau interpretasi agama yang bias gender itu lebih banyak disosialisasikan
atau diajarkan di masyarakat. Mengapa? Karena tafsir yang diskriminatif
tersebut menguntungkan banyak pihak di masyarakat, termasuk juga menguntungkan
sebagian perempuan yang selama ini berada di zona nyaman dan merasa beruntung
dapat menindas sesamanya perempuan.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia karena
diberi hidayah berupa agama. Ajaran agama mana pun pada hakikatnya memberikan
tuntunan pada manusia bagaimana menjalani hidup di dunia agar selamat dan
bahagia lahir-batin sampai di akhirat kelak. Selain hidayah
berupa agama, manusia juga diberi hidayah lain dalam bentuk akal. Akal
menjadi senjata yang amat ampuh bagi
manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Sebagai makhluk yang
berakal, manusia akan dimintai
pertanggungjawaban atas semua perbuatan yang dilakukannya selama hidup. Dengan
ungkapan lain, manusia adalah makhluk yang bertanggungjawab.
Karena itu, manusia (perempuan dan laki-laki) perlu
mendapatkan pencerahan agar kembali kepada fitrahnya semula; menghargai orang
lain sebagaimana ia menghargai diri sendiri: menghormati yang tua dan menyayangi
yang muda. Tidak berbuat pada manusia lain hal-hal yang membuatnya sakit jika
itu dilakukan terhadap dirinya. Manusia harus memiliki perasaan cinta, kasih
sayang, empati dan toleransi yang mendalam terhadap sesama tanpa kecuali. Hal
itu sangat tidak mudah dan seringkali dijumpai banyak hambatan. Namun, hanya
dengan cara itulah akan tercipta masyarakat sipil yang egaliter, demokratis,
dan mencintai keberagaman secara tulus.
Solusi
konkret
Lalu,
apa solusi utama untuk mengikis diskriminasi atau ketimpangan gender?
Pengalaman membuktikan tidak ada solusi tunggal dan mudah. Sebab, ketidakadilan dan
ketidaksetaraan gender muncul karena berbagai faktor yang saling berkelindan,
di antaranya faktor budaya, penafsiran nilai-nilai agama yang bias gender, dan hegemoni
negara yang begitu dominan dalam bentuk berbagai produk kebijakan dan hukum
yang bias gender. Seluruh elemen pembentuk kebudayaan kita memiliki watak yang
memihak pada atau didominasi oleh kekuasaan berciri maskulin. Demikian pula
interpretasi agama masih sangat bias gender dan bias nilai-nilai patriarkat.
Sebagai solusi ditawarkan dua hal. Pertama, melakukan
counter ideology (ideologi tandingan). Counter ideology dilakukan
dengan membongkar seluruh akar budaya, termasuk akar-akar teologis, yang menjadi
alat legitimasi untuk mengesahkan dominasi laki-laki atas perempuan, dominasi
masyarakat terhadap perempuan, dominasi negara terhadap perempuan, dan dominasi
agama terhadap perempuan. Kaum perempuan menghadapi tantangan yang sangat
beragam sehingga dalam satu jurus perempuan harus mengikis empat jenis dominasi
sekaligus, yakni dominasi laki-laki, dominasi masyarakat, dominasi negara,
serta dominasi agama.
Kedua, melakukan
counter hegemony. Hal ini
perlu dilakukan mengingat berbagai kebijakan hukum yang ada sangat bias
nilai-nilai patriarkal dan bias ideologi gender. Kebijakan negara yang diwarisi
secara turun-temurun sejak masa kolonial, didasarkan pada dua prinsip, yakni
prinsip pluralisme hukum dan prinsip ketidaksetaraan rasial. Dua prinsip ini yang menjadi
landasan utama dan cenderung dihidupkan terus-menerus oleh negara. Dengan
demikian, persoalan diskriminasi yang dihadapi kaum perempuan bukan hanya
persoalan-persoalan yang bersifat permukaan, melainkan sangat mendalam, yakni
merupakan persoalan struktural yang sangat akut.
Beberapa upaya konkret
mendesak dilakukan, di antaranya upaya peningkatan kualitas hidup
perempuan melalui perbaikan sistem pendidikan, sistem hukum dan sistem budaya,
serta perlunya reinterpretasi agama. Upaya mengubah dan merekonstruksi nilai-nilai budaya: dari budaya
patriarki ke budaya egalitarian. Upaya perlindungan perempuan dari segala bentuk diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan. Dan yang tidak kurang pentingnya adalah
menyebarluaskan tafsir atau interpretasi agama yang ramah terhadap perempuan,
atau tafsir yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Ajaran
agama harus berada paling depan membentengi manusia, khususnya perempuan dari
semua perlakuan tidak adil, diskriminasi, ekspoloitasi dan kekerasan.
Upaya tersebut harus dijabarkan dalam aksi-aksi nyata
meningkatkan kesadaran perempuan akan jati dirinya sebagai manusia utuh ciptaan
Tuhan, kesadaran perempuan akan hak asasi mereka sebagai manusia merdeka dan
sebagai warga negara penuh; menghapus kemiskinan karena kemiskinan selalu
berwajah perempuan; meningkatkan akses perempuan dalam dunia pendidikan dan
dunia kerja; meningkatkan kualitas kesehatan perempuan,
terutama terkait kesehatan reproduksi; menurunkan angka kematian balita dan angka
kematian ibu melahirkan (AKI); mencegah terjadinya perkawinan anak, perkawinan paksa,
perkawinan kontrak (sirri) serta semua
bentuk perdagangan perempuan; mengendalikan infeksi HIV/Aids, dan semua
penyakit menular; serta meningkatkan kesadaran perempuan menjaga kelestarian
lingkungan.
Jika
upaya-upaya tersebut dilakukan secara simultan dengan bekerjasama antara
pemerintah dan masyarakat sipil, maka akselerasi pembangunan bangsa dapat
segera dicapai. Hal itu pada gilirannya mendorong kemajuan peradaban bangsa
seperti diimpikan oleh semua anak bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan
Dalam Islam, Bentang, Yogyakarta, 1994.
Al-'Aqqad, Abbas Mahmud, Al-Mar'ah fi
Al-Qur'an , Dar al-Hilal, Cairo,
1962.
Asshiddiqie,
Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Azis, Asmaeny. Dilema
Keterwakilan Perempuan Dalam Parlemen (Suatu Pendekatan Hukum yang persepektif
Gender), Yogyakarta : Rangkang Educartion, 2013
Badawi, Jamal, Gender Equity in Islam,
American Trust, Indiana, 1995.
Ferejohn,
John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge
University Press, 2001.
Julia Cleves Mosse, Gender Dan
Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
MacKinnon, Catherine A, Toward a Feminist
Theory of The State, Harvard, London, 1991.
Mulia,
Musdah, Islam Menggugat
Poligami, Gramedia, Jakarta, 2004.
-------------------, Perempuan dan Politik, Gramedia,
Jakarta, 2005.
-------------------, Muslimah Reformis: Perempuan
Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung,
2005.
-------------------, Islam
and Violence Against Women: Promoting Gender Equality in Indonesia,
LKAJ, Jakarta, 2006.
-------------------, Islam dan
Inspirasi Kesetaraan Gender, Kibar Press,
Yogyakarta, 2007.
-------------------,Konsep Kesetaraan Gender Dalam
Perspektif Islam, Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan, Jakarta, 2007.
-------------------, Menuju Kemandirian Politik
Perempuan, Kibar Press, Yogyakarta, 2008.
-------------------, Islam dan Hak Asasi Manusia: Konsep dan Implementasi, Naufan Pustaka, Yogyakarta, 2010.
-------------------, Membangun Surga di Bumi:
Kiat-kiat Membina Keluarga Ideal Dalam Islam, Gramedia, Jakarta, 2011.
An-Naim, Abdullahi, Dekonstruksi Syari`ah
(terjemahan), LKiS, Yogyakarta, 1995.
Nasution, Harun, Islam Rasional,
Mizan, Bandung, 1995.
Ruth A. Wallace, Feminism And
Sociological Theory, Sage Publications, California, 1989.
Siddiguc, Kaukab, Liberation of Woman in
Islam, Thinkers Library, Singapore, 1990.
Kasus-kasus ketimpangan gender dalam bidang hukum di Indonesia dipaparkan
secara rinci dalam Nursyahbani
Katjasungkana dan Mumtahanan, Kasus-Kasus Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan,
LBH APIK, Jakarta, 2002.
Lihat Asmaeny Azis, Dilema Keterwakilan
Perempuan Dalam Parlemen (Suatu Pendekatan Hukum yang persepektif Gender),
Rangkang Educartion, Yogyakarta, 2013. hal 3.