Motivasi Penulisan
Buku
Alih-alih
mendapatkan apresiasi, sebuah hasil penelitian berjudul Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) malah dicaci dan dihujat. Jangankan dibaca dan dikomunikasikan
secara ilmiah, draft itu justru direspon dengan penuh kemarahan dan kebencian,
terutama dari kelompok islamisme, seperti FPI, HTI dan FUI dan semacamnya.
Kehadiran draft
itu menggemparkan kalangan penganut Islam yang tekstualis, dan memandang
penelitian itu sebagai suatu dosa dan kemaksiatan yang tak terampuni. Menurut
kami, mestinya dan seharusnya, kemarahan dan kebencian tersebut dialamatkan
kepada para pelaku dosa dan berbagai bentuk kemaksiatan nyata di masyarakat,
seperti pelaku perkosaan, pelecehan di ruang-ruang publik, pelaku KDRT, para
koruptor, para mafia migas, para rentenir dan para elit yang mengeksploitasi
kekayaan negara. Pertanyaan yang selalu muncul, mengapa kemaksiatan yang
berlapis-lapis dan bergulung-gulung bagai awan hitam itu tidak menimbulkan
kemarahan kalangan agama?
Draft yang disusun
tahun 2004 oleh Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama dan melibatkan
sejumlah ulama, pakar hukum dan gender, serta para aktivis itu sejatinya adalah
sebuah ijtihad kemanusiaan. Ijtihad atau upaya sungguh-sungguh untuk
mengkritisi undang-undang perkawinan Islam yang tercakup di dalam Kompilasi
Hukum Islam (1991).
Menurut kami,
setidaknya ada 14 isu dalam UU Perkawinan tidak lagi relevan dengan kondisi
masyarakat dan prinsip demokrasi. Di antaranya, definisi nikah, posisi
suami-isteri, kewajiban suami-isteri, poligami, anak di luar nikah, batas
minimum usianikah bagi perempuan. Karena itu, kami melakukan ijtihad,
pengkajian dan penelusuran pada sumber hukum Islam yang otoritatif dan hasilnya
kami tawarkan dalam bentuk draft undang-undang perkawinan baru (CLD KHI).
Tentu tidak semua
menolak, ada cukup banyak kalangan yang setuju dan bahkan mengapresiasi CLD
KHI. Sayangnya, kebanyakan kelompok ini memilih bersikap diam, tidakberani bersuara.Sikap
diam dan membisu terkadang menjadi bencana dalam masyarakat.Sebab, kelompok
yang tidak setuju lalu mengambil ruang publik dan menghegemoni pendapat
mayoritas.Akibatnya, mayoritas dianggap menolak, walaupun sebetulnya yang
menolak hanya segelintir.Meski segelintir, namun sangat vokal bersuara,membuat
seolah-olah CLD KHI tidakdidukung mayoritas.
Faktanya, CLD KHI
justru menarik bagi kalangan akademik di luar negeri.Tidak lama setelah
dirilis, kami mendapat undangan dari Islamic Law Faculty, Harvard University
untuk memaparkan hasil temuan tersebut. Selanjutnya, tim kami sibuk melayani
permintaan berbagai universitas ternama di Belanda, Austria, Kanada, Perancis,
Italia, Australia dan Amerika, serta beberapa negara Islam, seperti Marokko,
Malaysia, dan Mesir. Beberapa pasal dari CLD KHI menimbulkan decak kagum para
akademisi di negara tersebut. Masyarakat ilmiah memandang CLD KHI sebagai
terobosan besar dalam dunia Islam, upaya reformasi hukum keluarga yang menjadi
impian komunitas pembaru keagamaan, khususnya kelompok perempuan di seluruh
dunia.
Di tanah air
sendiri, meskipun ditolak MUI dan Kemenag, CLD KHI tetap didiskusikan dan
dibahas di berbagai tempat, termasuk juga di berbagai universitas Islam
terkemuka.Sebagai sebuah karya ilmiah danhasil penelitian, sangat naif kalau
itu dilarang. Negara sekalipun tidak berhak melarang publikasi sebuah temuan
riset yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pembahasan tentang CLD
KHI melahirkan puluhan tesis mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, negeri dan
swasta, baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan, beberapa dosen mata kuliah
hukum menjadikan CLD KHI sebagai salah satu materi perkuliahan di jurusan
mereka.
Akhirnya, dari
berbagai diskusi disimpulkan, CLD KHI dapat diterima jika masyarakat dibekali
pengetahuan yang agak memadai tentang berbagai isu yang dibicarakan di
dalamnya.Sebab, umat Islam umumnya hanya mengetahui sedikit sekali tentang
ajaran Islam. Terlebih lagi pengetahuan mereka lebih banyak diperoleh secara
lisan, bukan melalui penelitian dan penelusuran mendalam terhadap sumber-sumber
yang otoritatif.
Sudah bukan
rahasia, bahwa pendidikan keagamaan yang diselenggarakan pada sekolah formal
mulai dari SD sampai perguruan tinggi, lebih fokus pada hal-hal yang bersifat
legal-formal, lebih banyak membahas aspek ritual dan penekanannya hanya pada
halal dan haram atau surga dan neraka. Pelajaran agama di sekolah lebih
menitikberatkan pada simbol-simbol keagamaan, seperti jilbab, jenggot, celana
puntung, baju koko, urusan KTP dan hal-hal yang sangat asesoris lainnya.
Seharusnya,
pendidikan agama atau lebih khusus pendidikan keislaman lebih menekankan pada
penanaman akhlak karimah atau nilai-nilai agama yang substansial. Di antaranya,
nilai-nilai tauhid yang merefleksikan prinsip persamaan manusia, prinsip
keadilan, prinsip kemashlahatan dan prinsip kebebasan manusia sebagai makhluk
Tuhan yang bertanggungjawab. Upaya internalisasi nilai-nilai keislaman ini akan
melahirkan sifat-sifat kejujuran, keadilan, kesetiaan, kebenaran dan keindahan
serta sejumlah sifat positif-konstruktif lainnya dalam diri manusia. Dan
manusia inilah kelak yang akan membentuk masyarakat beradab yang dalam Qur’an
disebut baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. Masyarakat yang beradab dan
penuh ridha Allah swt.
Tujuan agama
hakikinya adalah memanusiakan manusia, membuat manusia menjadi lebih
menghormati dan menghargai sesama, mencintai sesama makhluk, dan menjaga
keseimbangan alam semesta.Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk
bermartabat. Mari menghargai manusia karena hakikat kemanusiaannya, bukan
karena jenis ras, suku, gender, harta, kekuasaan, kecantikan, kegagahan, dan
berbagai urusan primordial lainnya.
Dari berbagai
diskusi CLD KHI itulah muncul dorongan menyusun buku ini yang kemudian diberi
nama Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan. Judul itu
mencerminkan keharusan perempuan bangkit melawan hegemoni tafsir yang selama
ini dimonopoli kaum lelaki, tafsir yang penuh diwarnai budaya jahiliyah,
nilai-nilai patriarki dan nilai-nilai bias gender.
Perempuan harus
berani menjadi pembaru keagamaan untuk suatu tujuan yang mulia, mewujudkan
Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang ramah terhadap perempuan,
ramah terhadap semua makhluk, peduli pada persoalan-persoalan kemanusiaan yang
menghimpit kaum minoritas, marjinal dan tertindas yang dalam Al-Qur’an disebut
kelompok mustadh’afin.
Secara umum, buku Muslimah
Reformis menawarkan 10 isu reformasi keagamaan bagi perempuan.
Pertama, perempuan menghayati Islam sebagai landasan aksi reformasi. Perempuan
harus sungguh-sungguh menghayati dengan benar ajaran Islam yang esensial.Inti
ajaran Islam adalah tauhid.Tauhid artinya bukan sekedar mengakui keesaan Allah
swt, melainkan jauh lebih dalam maknanya.Tauhid mengantarkan kita pada
pengakuan bahwa semua manusia adalah setara sebagai ciptaan Tuhan.
Tauhid
mengharuskan kita untuk meyakini prinsip keadilan bagi semua manusia.Tauhid
juga meyakinkan kita, hanya Tuhan Yang Maha Esa patut disembah,
selain-Nyaadalah tuhan-tuhan palsu belaka. Intinya, keyakinan tauhid
mengharuskan kita berjuang untuk kebebasan manusia dari budaya jahiliyah, dari
sistem tiranik, segala bentuk ketidakadilan, kezaliman, diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan atas dasar apapun, termasuk yang mengatasnamakan
agama. Berjuang melakukan amar makruf nahy munkar (upaya-upaya
transformasi dan humanisasi) demi kemashlahatan umat manusia dan terwujudnya
masyarakat yang adil, makmur dan berkeadaban.
Kedua, perempuan sebagai ulama. Apakah ada perempuan sebagai ulama?Jawabnya,
sangat banyak, jika ulama diartikan sebagai orang berilmu. Tapi, ulama dalam
arti pemimpin dalam bidang keagamaan, maka sangat sedikit perempuan. Karena
itu, perempuan harus berani merebut posisi ulama. Mengapa? Karena posisi itu
tidak mungkin diberikan begitu saja meski semua syarat untuk menjadi ulama
sudah terpenuhi. Kata ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk maskulin
dari kata alim, artinya: orang berilmu. Bentuk femininnya, alimat,
tidak pernah diperdengarkan secara luas. Tidak heran, jika ulama selalu
diidentikkan dengan laki-laki, padahal perempuan yang memahami ilmu agama tidak
sedikit jumlahnya.
Ketiga, perempuan melawan kekerasan.Perempuan harus berani melawan kekerasan,
khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Untuk konteks Indonesia sangat
relevan karena pemerintah telah merativikasi Konvensi internasional tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (1984). Ketika buku
ini disusun perempuan Indonesia sedang gigih memperjuangkan UU Pencegahan KDRT
yang disahkan 14 September 2004. Sayangnya sosialisasi dan implementasi dari UU
tersebut sangat lamban sehingga dampaknya tidak banyak dirasakan masyarakat,
terutama kaum perempuan yang hampir selalu menjadi korban dalam setiap aksi kekerasan,
baik di luar dan terlebih lagi dalam rumah tangga.
Keempat, perempuan pembela hak asasi manusia.Perempuan harus mengerti hak-hak dan
kewajiban asasinya sebagai individu, sebagai anggota keluarga, warga
masyarakat, dan bahkan sebagai warga dunia.Mengapa perempuan harus berani
menjadi pembela HAM? Sebab, secara statistik perempuanlah yang paling banyak
menderita, korban pelanggaran HAM, terutama perempuan sebagai buruh, PRT,
pekerja migran, PSK, Odha, disabel, perempuan miskin, tidak berpendidikan,
orang tua tunggal, lansia, pengungsi, korban bencana alam, korban konflik.
Kelima, perempuan sebagai pemimpin.Perempuan harus berani menjadi pemimpin,
terutama dalam bidang politik.Mengapa penting? Sebab, disinilah kebijakan
publik yang menyangkut hajat orang banyak dirumuskan. Namun, tidak mudah karena
hambatan yang dihadapi perempuan sangat berat, mulai dari hambatan fisik sampai
hambatan teologis yang sarat dengan muatan politis. Perempuan harus mampu
menawarkan tafsiran baru untuk mengeliminasi semua mitos bahwa perempuan tidak
boleh jadi pemimpin, termasuk dalam bidang agama.
Keenam, perempuan sebagai pelaku rekonsiliasi.Sudah umum dibicarakan bahwa
setiap ada konflik maka kelompok perempuan dan anak-anak yang paling menderita
karena merekalah paling banyak merasakan getirnya hidup akibat konflik.
Misalnya, keterbatasan bahan makanan, sulitnya akses air bersih, dan kebutuhan
pokok lainnya, sementara perempuan harus merawat dan menjaga kelangsungan hidup
anak-anak dan anggota keluarga lain yang frustrasi dan cedera. Karena itu, di
banyak pengalaman konflik, perempuan selalu menjadi pionir pelaku rekonsiliasi.
Namun, begitu meja perundingan formal digelar, tak satupun perempuan dihadirkan
di sana, seolah mereka tidak ada dalam masyarakat.
Ketujuh, perempuan dan kebijakan publik. Perempuan harus mampu mengkritisi
kebijakan publik dan berani berjuang untuk mengeliminasi semua bentuk kebijakan
publik yang diskriminatif dan merugikan masyarakat luas. Sebab, kebijakan
publik harus memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat luas. Jangan
biarkan kebijakan publik dibangun untuk kepentingan segelintir orang,
kepentingan partai dan kepentingan penguasa, terlebih lagi demi kepentingan
pihak asing.
Kedelapan, perempuan peduli hak anak.Perempuan harus menjadi pilar utama bagi
upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Anak adalah amanah bagi kedua
orang tua dan menjadi tanggung jawab bersama ayah dan ibunya. Jika orang tua
tidak mampu, tugas masyarakat dan negara melindungi hak anak. Beruntung karena
Indonesia telah meratifikasi Konvensi internasional tentang Hak-hak Anak
(1990).Sebagai orang beragama, kita sering melalaikan hak-hak asasi anak. Kita
lupa, bahwa menunaikan hak anak adalah kewajiban agama yang harus dipenuhi
sebagai orang beriman.Hak-hak anak yang paling mendasar adalah hak untuk tumbuh
kembang, di dalamnya terkait makanan bergizi, kondisi kehidupan yang layak,
kesejahteraan dan perlindungan serta pendidikan. Tidak boleh seorang anak
mengalami diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dengan alasan apa pun. Namun,
prinsip itu belum dielaborasi dalam berbagai undang-undang nasional, seperti UU
Perkawinan. Misalnya, masih ada pasal membuat diskriminasi terhadap anak yang
lahir di luar nikah.Ini bertentangan dengan prinsip perlindungan hak anak.Untunglah
pasal itu sudah direvisi melalui keputusan MK (2013).
Kesembilan, perempuan menawarkan solusi. Perempuan harus mampu merespon berbagai
persoalan kontemporer dalam masyarakat yang dinamis dan selalu berkembang, tak
terkecuali dalam bidang agama. Misalnya, bagaimana mereformasi distribusi zakat
agar para lansia, terutama lansia perempuan juga mendapatkan haknya. Problem
haji bagi perempuan hamil. Isu pornografi, HIV/Aids terutama karena dalam kedua
kasus ini kebanyakan korbannya adalah perempuan, dan juga tentang rekonstruksi
dakwah untuk kepentingan perempuan.
Kesepuluh, agenda gerakan Muslimah dari tafsir ke aksi. Perempuan harus berani
melakukan kerja-kerja nyata mengusung tafsir baru yang lebih humanis, pluralis,
dan demokratis dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Mulai
dengan membenahi ormas-ormas perempuan Islam agar mereka tidak hanya berkutat
dalam program kerja yang bertujuan semata untuk kepentingan praktis, melainkan
lebih fokus pada peran-peran strategis untuk mengubah struktur masyarakat yang
timpang dan tidak adil akibat hegemoni budaya jahiliyah, budaya patriarki dan
nilai-nilai yang bias gender.
Muslimah reformis
adalah Muslimah yang peduli pada penegakan demokrasi, pluralisme, keadilan dan
kesetaraan demi membangun masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
spiritual dan kemanusiaan (baldatun tahyyibah wa rabbun ghafur).
Muslimah reformis
berusaha mendialogkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang menyejarah dengan
spirit ajaran Islam yang universal, abadi, inklusif dan berwajah kemanusiaan. Spirit
itulah yang ingin digelorakan penulis lewat buku Muslimah Reformis yang sedang
dibahas ini. Hanya dengan cara itu peradaban Islam dapat dikembangkan.