Musdah Mulia
Pendahuluan
Fundamentalisme
dan feminisme adalah dua
istilah yang tidak pernah seirama, bahkan terkesan bermusuhan. Sejumlah
penelitian menyimpulkan, perempuan adalah korban pertama dan utama dalam gerakan
fundamentalisme. Mengapa perempuan? Sebab, fundamentalisme melanggengkan
nilai-nilai patriarki yang melihat perempuan sekedar obyek. Itulah mengapa
dalam fundamentalisme agama, khususnya Islam, perempuan diposisikan sebagai
simbol kemurnian agama. Tidak heran, jika perempuan selalu menjadi obyek utama dalam
upaya-upaya permunian Islam.
Dalam sejarah
perkembangan agama-agama, sebutan fundamentalisme tumbuh sebagai reaksi atas
munculnya berbagai aliran keagamaan yang sifatnya progresif dan liberal.
Fundamentalisme mengklaim diri sebagai pemegang otoritas untuk memurnikan agama
yang dianggap telah dinodai oleh kaum progresif dan liberal. Fatalnya, yang mereka maksudkan dengan pemurnian agama adalah
kembali kepada pemahaman tekstual dan rigid teks-teks suci agama. Mereka mengabaikan
pemahaman kontekstual yang justru menyimpan pesan-pesan moral agama yang
biasanya selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Bagi kalangan fundamentalisme, istilah memurnikan agama selalu dimaknai sebagai
mengembalikan perempuan kepada fungsi domestiknya atau domestifikasi perempuan.
Dengan dalih pemurnian agama, perempuan tidak boleh beraktivitas di luar rumah,
mereka dipulangkan ke ranah domestik dan dibatasi hak-haknya sebagai warga
negara dan sebagai manusia merdeka. Ketika kelompok fundamentalisme Islam
Taliban berkuasa di Afghanistan, perempuan ditarik dari ruang publik. Para
perempuan yang tadinya berkarir sebagai dokter, hakim, guru, perawat, dan
sebagainya dipaksa berhenti dari pekerjaan mereka.
Pertanyaan kritis muncul, mengapa harus perempuan? Faktanya, sejumlah praktek pemurnian agama dengan
menjadikan perempuan sebagai obyek utama mendulang kesuksesan sangat
signifikan. Sebab, itulah cara paling mudah dan sekaligus paling murah, lagi pula
paling sedikit resistensinya. Lihat saja ketika Aceh diberi kewenangan
menegakkan syariat Islam. Program utama yang dinilai paling menonjol dan
berhasil adalah mewajibkan perempuan berjilbab.
Gerakan fundamentalisme tidak menjadikan isu pendidikan sebagai program
unggulan, padahal ayat pertama Alqur’an sangat vokal memberikan warning
tentang pentingnya membaca. Tentu saja untuk mewujudkan pendidikan berkualitas,
dibutuhkan kerja keras dan perjuangan panjang, sementara program mewajibkan
jilbab, sangat mudah. Cukup dengan menerbitkan sehelai surat edaran, lalu
memerintahkan polisi syariah menangkap para pembangkang. Tidak perlu kerja
keras, tidak perlu perencanaan kerja yang rumit, bahkan para pejabat tidak perlu
berkeringat. Bukan hanya itu, program yang menyasar tubuh perempuan biasanya tidak
mendapatkan resistensi yang berarti. Mereka yang menolak tinggal dicap kafir
atau liberal, titik.
Menjadikan tubuh perempuan sebagai senjata
mematikan
Kelompok fundamentalisme Islam bukan hanya
menjadikan perempuan sebagai obyek pemurnian agama, belakangan mereka juga
menjadikan tubuh perempuan sebagai senjata mematikan untuk tujuan penegakan negara
Islam, khilafah dan semacamnya. Bahkan, beberapa tahun terakhir keterlibatan perempuan dalam gerakan fundamentalisme Islam yang melahirkan aksi-aksi
kekerasan ekstrimisme dan terorisme
global terus meningkat. Di negara-negara seperti Jerman, Irlandia dan Italia
di Eropa,
Peru di Amerika Latin, juga
di Gaza dan Tepi Barat di Wilayah Pendudukan Israel dan
Palestina hingga
Rusia dan Chechnya, Sri Lanka, India, Turki dan lainnya, termasuk yang paling belakangan di Irak dan Yordania tercatat menguatnya keterlibatan perempuan.
Pelibatan perempuan di dalam gerakan
fundamentalisme semakin nyata. Perempuan
menjalankan fungsi-fungsi
beragam, di antaranya sebagai informan, kurir, mata-mata,
pendidik, perekrut, menjadi pelindung manusia (human
shield), atau sekadar menjadi pemuas kebutuhan seks teroris laki-laki yang
jelas tak bisa diabaikan. Sepanjang dua dekade terakhir, dengan makin dimanfaatkannya kemajuan teknologi bagi pencapaian tujuan-tujuan mereka,
kaum perempuan juga turut mengelola penerbitan organisasi
fundamentalisme di Internet. Bahkan, perempuan semakin meningkat
perannya dalam aksi-aksi terorisme bunuh-diri. Tubuh mereka berubah menjadi senjata maut yang
mengerikan.
Menurut Bahrun
Naim, pimpinan ISIS asal Indonesia, perlunya mengajak perempuan untuk ikut
melakukan aksi teror karena semakin sedikit laki-laki bersedia menjadi teroris.
Lebih jauh dia mengatakan: “kalau di Suriah aksi amaliyah tidak wajib dilakukan
oleh perempuan, tapi di Indonesia, perempuan boleh melakukan aksi teror karena
laki-laki lebih pengecut.” Hal itu terbaca dalam percakapan telegram pada Juni
2016. Faktor lain adalah karena perempuan dianggap lebih mudah dipengaruhi,
terutama mereka yang memiliki masalah dalam keluarga. Selain itu,
kaum perempuan dianggap sangat loyal pada ajaran dan ideologi agama, lebih
militan dalam menjalankan aksinya. Apalagi mereka yang pernah mengalami trauma,
menjadi korban KDRT atau mengalami konflik dalam keluarga atau perceraian.
Ketika dicuci otak dengan pemahaman radikal, para perempuan tersebut berubah
menjadi jauh lebih militan dari laki-laki.
Sejumlah alasan
mengemuka mengapa perempuan terlibat.
Pertama, dibanding laki-laki, mereka biasanya lebih leluasa bergerak dan tidak
terlalu dicurigai oleh aparat keamanan sehingga nilai
keterlibatan mereka jauh lebih tinggi dibanding nilai keterlibatan laki-laki. Kedua, terlibatnya kaum perempuan sebagai pelaku bom bunuh-diri memiliki daya tarik tersendiri bagi media masa, terutama di era digital.
Tidak heran jika laporan mengenai aksi-aksi teror
yang dilakukan perempuan diberitakan lebih cepat dan juga lebih dramatis. Keterlibatan perempuan dalam gerakan
fundamentalisme dengan aksi-aksi dramatis
tersebut memperkuat makna perlawanan
teroris sekaligus meningkatkan simpati kepada mereka.
Ketiga, untuk lebih menggugah semangat laki-laki menjadi jihadis. Kalau
perempuan saja bisa, laki-laki harusnya lebih bisa! Ungkapan tersebut memaksa laki-laki lebih berani, meski melanggengkan stereotipe yang berlaku. Terakhir, bahkan dianggap sebagai
upaya kesetaraan perempuan dan laki-laki, terlepas dari apakah perempuan sungguh menyadari motif dasar perbuatan mereka atau tidak. Sebab, sejumlah tulisan
mengungkapkan berbagai bentuk manipulasi kelompok fundamentalisme terhadap
perempuan, khususnya anak-anak perempuan.
Perlu lebih jauh menyibak siapa gerangan para perempuan yang terlibat
dalam gerakan teroris di Indonesia. Data tahun 2015-2016 mencatat lebih dari 250
deportan di Jakarta, separuhnya terdiri dari perempuan dan anak-anak, kebanyakan mereka berangkat sekeluarga.[10] Lalu, selama Januari-Maret 2017, jumlah deportan sudah
mencapai lebih dari 140 orang, dan 79% perempuan dan anak-anak. Mereka
ditampung di panti-panti yang disediakan Kementerian Sosial untuk diinterogasi. Umumnya, para perempuan yang terlibat gerakan
tersebut adalah istri para teroris.
Selain itu, Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan mencatat sampai Oktober 2016, jumlah narapidana
terorisme sebanyak 223 orang dan sembilan perempuan dinyatakan terlibat dan
semuanya adalah istri dari pelaku terorisme. Selanjutnya, Direktorat
Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut 51 orang
istri pelaku terorisme akan disertakan dalam program deradikalisasi.
Keterlibatan istri
dalam gerakan terorisme di Indonesia pertama kali terlihat dalam kasus Dian
Yulia Novi. Dian mengaku mengalami proses indoktrinasi jihad-qital melalui internet oleh suaminya, Nur Solihin, anak buah Bahrun
Naim. Kasus ini
mengemuka karena pertama kalinya di Indonesia istri direkrut menjadi pelaku bom
bunuh diri (suicide bomber). Berikutnya, kasus Santoso yang melibatkan
tiga istri teroris ikut bergerilya di dalam hutan guna melakukan perlawanan. Para
istri selain berperan membantu aksi-aksi kekerasan juga sekaligus memenuhi kebutuhan
biologis para suami. Beberapa
penelitian menyebutkan, tugas lain para istri tersebut adalah menjadi perekrut
ulung sekaligus sebagai sel propaganda gratis yang sangat aktif.
Sebelum
fenomena pelibatan istri pelaku kejahatan terorisme di atas mengemuka, Pusat
Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) dalam laporannya tahun 2016 melaporkan
sembilan istri terlibat dalam kejahatan terorisme. Enam di
antaranya menjalani proses peradilan pidana dengan dakwaan kasus teror, dua
orang lainnya menjalani hukuman karena melanggar UU Keimigrasian, sementara
sisanya bebas karena tidak terbukti keterkaitannya. Sembilan perempuan tersebut
adalah istri dari teroris yang menginginkan pendirian negara Islam. Studi PAKAR
menggambarkan betapa istri dimanfaatkan sedemikian rupa oleh suami, seperti bekerja
keras menyiapkan logistik untuk kelompok mereka sekaligus juga memenuhi
kebutuhan suami.
Studi PAKAR
juga menjelaskan, umumnya istri para teroris tersebut mengalami viktimisasi yang
beragam: mulai dari proses penangkapan hingga bebas dari jeruji besi. Mereka
teralienasi dari keluarga, terkucilkan dari masyarakat, rentan dan tidak mampu
secara finansial. Mereka sulit mencari nafkah untuk keluarganya akibat
pengucilan dan stigma sebagai status mantan napi atau bahkan “janda teroris”. Stigma
dan label negatif tersebut membuat mereka tidak diterima secara luas dalam
pergaulan sosial.
Peran perempuan
dalam gerakan fundamentalisme dapat dipolakan menjadi tiga bentuk. Pertama,
sebagai pengikut dan pedamping setia suami. Peran perempuan sebagian besar
masih pada tahap domestifikasi perempuan. Artinya, mereka bukanlah aktor utama
melainkan hanya sebagai istri, pengikut setia, dan ibu dari calon-calon
teroris. Kedua, peran
selaku ahli propaganda dan agen perekrutan. Sejumlah perempuan dalam gerakan
terorisme, seperti ISIS tidak diperbolehkan ikut bertempur di lapangan,
melainkan diberikan peran khusus di media sosial sebagai ahli propaganda,
pendakwah, dan perekrut dengan menerapkan cara-cara rekruitmen yang
mengandalkan hubungan pertemanan dan kekerabatan. Ketiga, peran
perempuan sebagai fighter atau bomber. Kelompok terorisme juga memanfaatkan
perempuan terpelajar di negara-negara Barat, khususnya kulit putih sebagai
pelaku bom bunuh diri. Pelibatan mereka penting untuk menghapus stereotip Barat
tentang negara-negara Muslim sebagai sumber teroris.
Mengapa perempuan tertarik?
Pada 22
September 2016 aparat keamanan Indonesia di Bandara Soekarno-Hatta berhasil
menggagalkan tujuh warga negara Indonesia yang hendak berangkat ke Suriah untuk
bergabung dengan ISIS, salah satunya perempuan yang diduga kuat sebagai
penyandang dana. Apa yang menarik perempuan sehingga berani mempertaruhkan
nyawa?
Berbagai
tulisan menjelaskan, setidaknya empat faktor mendorong mereka menjadi teroris. Pertama,
faktor religius. Kelompok fundamentalisme sangat gencar menyuarakan propaganda
bahwa umat sedang diserang!, umat Islam sedang tertindas! Umat Islam harus
bangkit melawan! Karena propaganda tersebut sejumlah perempuan di Inggris
terpengaruh bergabung dengan ISIS. Mereka termotivasi secara agama untuk membela
Islam dari musuh-musuh Tuhan yang mereka sebut thagut. Bagi perempuan adalah
kesempatan emas menjadi bagian dari aksi bela Islam sekaligus menemukan tujuan
hidup bermakna dalam “persaudaraan perempuan khalifah” (caliphate sisterhood). Kedua, faktor
ideologis. Para perempuan tertarik pada ideologi fundamentalisme karena
sepintas terdengar kuat memperjuangkan keadilan. Ketiga, faktor
pribadi. Alasan bersifat pribadi terungkap dalam beberapa kasus, misalnya kasus
Shannon Conley. Buku Bride
of ISIS menjelaskan sejumlah perempuan Eropa berhasil dihipnotis oleh ISIS
melalui internet. Para perempuan tersebut dibujuk meninggalkan negaranya dan
menjadi istri teroris. Sebagian lainnya dibujuk melakukan aksi-aksi teror di
negara masing-masing.
Keempat, faktor
politis. Kemiskinan, ketimpangan sosial, dan berbagai diskriminasi adalah
narasi yang kerap disuarakan gerakan fundamentalisme. Dengan narasi yang
memukau tersebut para perempuan kemudian memobilisasi segenap potensi mereka
melakukan kekerasan politik (political violence) melawan negara dan kelompok
yang tidak sealiran. Cara-cara radikal dan ekstrim yang dikembangkan kelompok
fundamentalisme banyak menarik perempuan melakukan perlawanan terhadap negara.
Dalam konteks Indonesia, kekalahan secara politik bagi kelompok keagamaan garis
keras dalam beberapa tahun terakhir, mendorong menguatnya gerakan fundamentalisme.
Narasi yang mereka gemakan adalah propaganda bahwa umat Islam dalam kondisi
marjinal. Mereka menggunakan framing media bahwa pemerintah menindas kelompok
Islam, pemerintah mengkriminalisasikan ulama dan seterusnya. Tidak heran jika sasaran
tembak dari aksi-aksi mereka adalah simbol-simbol atau institusi negara.
Perempuan hanyalah korban
Meski perempuan
berhasil berperan sebagai tokoh penting dalam gerakan fundamentalisme serta aksi-aksi
kekerasan ekstrimisme dan terorisme, namun tidak sedikit tesis yang meyakinkan
bahwa perempuan hanyalah korban, meski laki-laki teroris juga adalah korban
indoktrinasi teologis berbasis kekerasan, namun perempuan mengalami tekanan
berlapis karena posisi mereka yang umumnya masih subordinat laki-laki.
Perempuan selalu berada dalam posisi sebagai korban setiap suatu masyarakat
mengalami proses radikalisasi dan fundamentalisasi. Perempuan dalam agama apa
pun selalu menjadi sasaran kontrol para penafsir fundamental yang sejatinya benci
pada perempuan (mysogini).
Diskriminasi
penafsiran, kata Karen Armstrong dimulai ketika sejarah agama dipisahkan dari
sejarah dan raison de etre keyakinan individu pemeluknya. Pergulatan
agama hanya dipahami sebagai interior journey daripada sebagai sebuah
sejarah dan drama politik sehingga terkesanlah teologi sebagai ilmu eksklusif
yang menghasilkan masyarakat agama yang tertutup. Tak ayal banyak konflik baik
di tingkat global maupun nasional diakibatkan oleh teologi yang ekslusif.[23]
Perempuan
menjadi sasaran fundamentalisme agama karena mereka merasa memiliki legitimasi
agama untuk melakukan itu. Legitimasi agama didukung pula oleh nilai-nilai budaya
dan norma hukum yang secara umum memang berwatak patriarkal. Tidak mengherankan jika suatu masyarakat atau
negara mengalami proses fundamentalisasi dan radikalisasi, domestifikasi
perempuan biasanya menjadi program politik utama dan pertama.
Tidak banyak
yang menyadari bahwa pandangan keagamaan kelompok fundamentalisme Islam membahayakan kelangsungan kehidupan perempuan. Mereka umumnya menolak
prinsip keadilan dan kesetaraan gender, menolak pemenuhan hak asasi perempuan,
menolak program KB dan semua unsurnya, seperti pengaturan jarak kelahiran anak
dan penggunaan alat-alat kontrasepsi. Mereka juga menolak program imunisasi
untuk kelangsungan hidup anak balita, menolak pendidikan seksual dan kesehatan
reproduksi sehingga para perempuan tidak mengerti hak-hak seksualitas dan
kesehatan reproduksi, memberikan stigma terhadap penderita HIV/Aids dan
kelompok Odha serta menganggap kutukan Tuhan, melakukan kekerasan terhadap kelompok
LGBT, menghapuskan perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan, perempuan pekerja
seks komersial, dan tidak kurang bahayanya adalah mereka gencar mengkampanyekan
slogan indahnya perkawinan dini dan perkawinan poligami. Akibatnya, jumlah
kasus perkawinan anak dan poligami semakin meningkat.
Masyarakat Muslim yang mempertahankan fundamentalisme memiliki
kecenderungan memanipulasi dan memanfaatkan ajaran Islam untuk melegitimasi
kekuasaan patriarki dan mengucilkan perempuan dari ruang publik. Apabila
mengamati secara umum hak-hak sipil dan politik kaum perempuan di bawah
berbagai rezim Islam di dunia ini, terlihat secara kasat mata bahwa mereka
sungguh membelenggu hak-hak sipil dan politik kaum perempuan. Konstitusi Islam
Iran tahun 1979 setelah kemenangan revolusi misalnya, walaupun tidak secara
eksplisit menunjukkan subordinasi perempuan sebagai warganegara kelas dua,
dalam aktualisasinya telah membatasi hak-hak sipil dan politik kaum perempuan
di wilayah publik.
Perempuan Sudan juga mengalami apa yang terjadi di
Iran. Sudan dibawah rezim Omar Al-Bashir dan Hassan
Al-Turabi adalah salah satu negara yang memarjinalkan perempuan. Berbagai
wilayah pendidikan tingkat tinggi tidak dapat diakses perempuan. Penggunaan hijab
merupakan kewajiban, bukan pilihan yang sadar. Perempuan tidak punya banyak kesempatan untuk bekerja di bidang
pemerintahan. Perempuan tidak bisa dengan leluasa
bepergian ke tempat-tempat umum kecuali disertai muhrimnya yang nota bene harus
laki-laki; perempuan juga tidak punya
akses ke pendidikan tinggi. Dengan demikian, perempuan terpasung hak-haknya yang
asasi sebagai warga negara penuh dan juga sebagai manusia merdeka.
Kondisi paling memprihatinkan adalah kaum perempuan Afghanistan masa
pemerintahan kelompok fundamentalisme Islam Taliban. Seorang perempuan
Afghanistan bernama Latifah bertutur sangat getir dalam bukunya berjudul Latifah:
My Forbidden face. Dia menceritakan kekerasan psikologis yang ia alami dan
juga diderita perempuan di bawah rezim Taliban.
Kaum
fundamentalis Islam di Indonesia memaksa perempuan mengamalkan syariat Islam,
dan yang dimaksudkan adalah syariat Islam yang ditafsirkan secara kaku dan
sempit serta tidak rasional. Pemahaman Islam yang memenjarakan perempuan
sehingga jauh dari pengalaman perempuan di masa Nabi Muhammad saw. Sangat disayangkan bahwa
pemahaman syariat Islam yang kurang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan
itulah yang diadopsi negara dalam berbagai peraturan dan kebijakan. Di antaranya, UU Pornografi, berbagai peraturan daerah (Perda), seperti Perda
tentang kewajiban berjilbab; Perda larangan prostitusi dan sejumlah Qanun di
Aceh: Qanun Khalwat dan kewajiban berjilbab. Pemahaman syariat Islam yang sempit
itu pula yang kemudian digunakan dalam berbagai fatwa MUI mengenai perkawinan yang
isinya mengandung sejumlah pasal diskriminatif terhadap perempuan. Fatwa tersebut
lahir karena MUI menganggap penting lembaga perkawinan sebagai salah satu
institusi yang mengontrol kehidupan perempuan.
Perlunya interpretasi
Islam yang humanis
Islam hadir demi membebaskan manusia (perempuan dan laki-laki) dari semua sistem tiranik, despotik, dan totaliter menuju masyarakat sipil yang berkeadaban (civic and civilized society).Masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti
keadilan, kejujuran, kebenaran, kemaslahatan, kesetaraan, keindahan dan kebersihan. Itulah tugas kenabian (prophetic task) yang diemban oleh Nabi Muhammad saw.
Tugas kenabian
tersebut tidak berakhir dengan wafatnya Nabi saw, melainkan dibebankan ke pundak kita semua sebagai orang
beriman, baik perempuan dan laki-laki. Untuk dapat melaksanakan tugas kenabian
tersebut secara optimal, semua Muslim: laki-laki dan perempuan, perlu dibekali
pengetahuan, ketrampilan dan kekuatan spiritual, dan untuk itulah agama Islam
diturunkan. Islam secara terang-benderang menjelaskan bahwa manusia (perempuan
dan laki-laki) memiliki posisi dan tugas sangat spesifik dan terhormat, yaitu
menjadi khalifah fil ardh. Artinya,
menjadi pemimpin atau pengelola kehidupan di bumi sebagai
agen perubahan moral.
Dalam tata bahasa Arab, kata khalîfah
tidak merujuk pada jenis kelamin, gender atau suku tertentu. Dengan demikian, semua manusia tanpa
kecuali mempunyai fungsi sebagai khalifah dan akan mempertanggung-jawabkan
tugas kekhalifahan itu kelak di hadapan Allah swt. Dalam konteks individual,
tugas utama khalifah adalah mampu mengelola dan menata ucapan dan perilaku
sehari-hari agar terbangun moralitas yang kuat (akhlaq al-karimah) demi
mewujudkan kedamaian dan keselamatan diri sendiri, keluarga dan masyarakat sesuai
dengan prinsip Islam.
Dalam konteks sosial, tugas khalifah yang
utama adalah amar ma’ruf nahy munkar, yaitu melakukan perbaikan moral
masyarakat dengan aksi-aksi konkret dalam bentuk upaya transformasi dan
humanisasi. Upaya transformasi mencakup semua upaya peningkatan kualitas sumber
daya manusia, seperti pelatihan dan pendidikan serta berbagai
kegiatan sosial yang mengarah kepada perbaikan dan peningkatan kualitas diri
manusia menjadi lebih baik, lebih positif, produktif, dan konstruktif.
Adapun upaya
humanisasi mencakup semua kegiatan untuk memanusiakan manusia, seperti upaya
penyebaran informasi dan publikasi, serta advokasi untuk mencerahkan masyarakat
atau membela kelompok-kelompok yang mengalami penindasan dan perlakukan tidak
adil. Misalnya,
kelompok miskin, minoritas, perempuan dan anak, khususnya
anak terlantar, kaum disabilitas,
dan kaum
Odha (penderita HIV/Aids). Termasuk pula di dalamnya
upaya-upaya pelestarian lingkungan untuk menjaganya dari kepunahan dan
kehancuran.
Hanya satu kata kunci yang
memungkinkan manusia (perempuan dan laki-laki) mampu menjalankan fungsinya
sebagai khalîfah, yaitu ketakwaan, bukan keutamaan keturunan (nasab),
bukan jenis kelamin, bukan jenis gender, bukan pula kemuliaan suku dan
seterusnya. Sebagai manusia yang diberi
amanah tugas kekhalifahan yang sama, laki-laki dan perempuan diperintahkan
bekerja sama dalam misi amar ma’rûf nahy munkar. Terutama menegakkan prinsip
keadilan dan kesetaraan dalam seluruh bidang kehidupan, baik dalam ranah domestik
maupun ranah publik. Kehadiran Islam dengan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan sangat menguntungkan kaum tertindas
dan marjinal (mustadh’afin), khususnya kaum perempuan.
Penutup
Fundamentalisme merupakan manifestasi
paling nyata dari teologi ekslusif. Karena kebanyakan penafsirnya adalah
laki-laki, maka tafsirnya memiliki kecenderungan untuk merendahkan perempuan.
Tidak heran jika perempuan selalu berada dalam posisi korban setiap suatu
masyarakat mengalami fundamentalisasi. Perempuan dalam agama apa pun selalu
menjadi sasaran diskriminasi dan eksploitasi para penafsir fundamental yang
benci pada perempuan (mysogini).
Masyarakat Muslim
yang mempertahankan fundamentalisme memiliki kecenderungan memanipulasi dan
memanfaatkan ajaran Islam untuk melegitimasi kekuasaan patriarki yang
merendahkan perempuan. Slogan fundamentalisme untuk kembali memurnikan ajaran
Islam selalu bermakna kembali kepada Islam
tekstualis dengan karakter ideologis yang
statis, ahistoris, sangat eksklusif, dan bias nilai-nilai patriaki. Kembali
mendiskriminasikan perempuan seperti pada masa-masa kegelapan Jahiliyah. Bukan kembali ke visi otentik Islam yang cirinya
adalah dinamis, kritis, rasional, inklusif, dan memuliakan perempuan.
Ringkasnya, fundamentalisme memproklamirkan politik anti feminisme, anti
pluralisme, dan anti humanisme. Karena itu,
pandangan fundamentalisme yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan dan sekaligus juga tidak ramah perempuan harus dieliminasi secara
serius dan sistematik. Untuk tujuan ini maka negara dan seluruh elemen
masyarakat sipil, terutama kalangan pemuka agama sangat perlu mendakwahkan secara
luas interpretasi Islam yang humanis, yang esensinya mengedepankan kedamaian,
kemashlahatan dan kesetaraan semua manusia tanpa kecuali. Tujuannya, tiada lain
untuk memanusiakan perempuan, dan demi membangun masyarakat sipil yang adil dan
beradab, dalam istilah Alqur’an disebut baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.
Daftar
Pustaka
Alvanou, Maria. 2007. Palestinian Women Suicide Bombers: The Interplaying
Effects of Islam, Nationalism and Honor Culture.
Working Papers Series No. 3. Tel Aviv, Israel: Strategic Research and Policy Center, National Defense College, IDF.
Bloom, Mia. 2005. Dying to Kill: The Allure of Suicide Terror. New York: Columbia
University Press.
Charles Beitz.
1979. Political Theory and International Relations, Princeton:
Princeton University Press.
Davis, Jessica. 2013. Evolution of the Global Jihad: Female Suicide Bombers in
Iraq. Studies in Conflict & Terrorism 36: 279-291.
Grant Wardlaw, 1982. Political Terrorism: Theory,
Tactic, and Counter-Measures. Cambridge: Cambridge
University Press.
Goldstein, Joshua S. 2003. War and Gender: How Gender Shapes the War System and Vice Versa. New York: Cambridge University Press.
Hafez, Mohammed M. 2007. Martyrdom Mythology in Iraq: How Jihadist Frame Suicide Terrorism in Videos and Biographies. Terrorism and Political
Violence. pp. 95-115.
Hasani,
Ismail and Naipospos, Bonar Tigor (Ed). 2005. Dari Radikalisme Menuju Terorisme. Jakarta: Pustaka Masyarakat
Setara.
International
Crisis Group. 2012. Indonesia: From Vigilantism to Terrorism in Cirebon.
Asia Briefing No. 132, January 12.
Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). 2017. From Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists. IPAC Report No. 35 (January 31).
Jacques, Karen & Paul J. Taylor. 2008. Male and Female Suicide Bombers: Different
Sexes, Different Reasons? Studies in Conflict & Terrorism. pp. 304-326.
Jones,
Sidney. 2015. Sisi Gelap Demokrasi:
Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia. Jakarta: PUSAD Paramadina.
Kemoklidze, Nino. 2009. Victimization of Female Suicide
Bombers: The Case of
Chechnya. Caucasian Review of International Affairs. pp.181-188.
Knop,
Katharina von. 2007. The Female Jihad: Al-Qaida’s Women. Studies in Conflict and Terrorism. pp.397-414.
Laporan YLBHI, Laporan
Yayasan LBH Indonesia Tentang: Terorisme dan Perppu No. 1 Tahun 2002
Lisa R. Wulan.
2010. Enhancing the Role of Women in Indonesia to Counter Terrorism.
Asia Pacific Center for Security Studies.
Mahmood, Saba. 1998. Politics of Piety: The Islamic Revival and The Feminist Subject,
Princeton: Princeton University Press.
Nacos. Brigitte L. 2005.
Portrayal of Female Terrorists in the Media: Similar
Framing Patterns in the News Coverage of Women in Politics and in Terrorism.
Studies in Conflict & Terrorism. pp. 435-451.
Nolen, Elizabeth. 2016. Female Suicide
Bombers: Coerced or Committed? Global
Security Studies. pp.30-40.
O’Rourke, Lindsey. 2009. What’s Special about Female Suicide Terrorism? Security Studies18: 681-718.
Pape, Robert A. 2005. Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism. New
York: Random House.
Prugl, Elisabeth. 2003. Gender and War: Causes, Constructions, and Critique. Perspective on Politics 1: 335-342.
Silaen, V. 2005. AS, Indonesia, dan Koalisi Global:
Memerangi Jejaring Teroris Internasional, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol.
4 No. I September.
Subagyo,
Agus. 2015. Teroris(me): Aktor & Isu
Global Abad XXI, Bandung: Penerbit Alfabeta.
Wahid,
Abdurrahman (ed.). 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.
Mass Media and Online
Arga Sumantri, ‘Survey: Intoleransi di Jakarta
Mengkhawatirkan’, Metrotvnews, March 23,
2017.
Damanik,
C (ed.)
2018, 5 Pelaku Ledakan Bom Mapolrestabes Surabaya merupakan
Satu Keluarga, Kompas.com, May, 14
2018,
https://regional.kompas.com/read/2018/05/14/12421961/5-pelaku-ledakan-bom-mapolrestabes-surabaya-merupakan-satu-keluarga
Mubarak, Z. 2012, Fenomena Terorisme di Indonesia:
Kajian Aspek Teologi, Ideologi, dan Gerakan. Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana
Malik Ibrahim Malang, Malang
(http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/1633)
Mulia, Musdah.
2018. Perempuan dalam Gerakan Terorisme di Indonesia. Akademi
IlmuPengetahuanIndonesia,(https:www.aipi.or.id/admin/assets/pdf/pdf_file/14052018_Perempuan_Dalam_Gerakan_Terorisme_di_Indonesia_MusdahMulia.pdf)
Muniroh, SM. 2012. Perempuan
di Balik Kajian Teroris: Kajian Religiositas, Penyesuaian diri dan Pola Relasi Suami
Istri tersangka Teroris di Kota Pekalongan, Conference Proceeding Annual
International Conference on Islamic Studies (12 AICIS), Surabaya, 2422 – 2445
Teguh Firmansyah, ‘Wapres: Indonesia Alami Radikalisme
Global’, Republika, 23 Desember 2016
YS, ‘Survey Wahid Foundation: 86 Aktivis Rohis Ingin
Berjihad’, Berita Satu, 17 Februari 2017
Istilah
feminisme mulai dikenal di Barat sejak tahun 1890-an. Pada prinsipnya gerakan
ini memperjuangkan persamaan hak antar manusia, tanpa membedakan jenis kelamin
mereka. Persamaan hak perlu dalam upaya menegakkan keadilan bagi semua manusia.
Lihat Valerie Bervson. 1992. Feminist Political Theory an Introduction,
MacMillan, London, h. 107.
Knop, Katharina von. 2007.
The Female Jihad: Al-Qaida’s Women. Studies in Conflict and Terrorism, h. 397-414.
Alvanou, Maria. 2007. Palestinian Women Suicide Bombers: The Interplaying
Effects of Islam, Nationalism and Honor Culture.
Working Papers Series No. 3. Tel Aviv, Israel: Strategic Research and Policy Center, National Defense College, IDF.
Bloom, Mia. 2005.
Dying to Kill: The Allure of Suicide Terror. New York: Columbia University Press,
h. 1-21.
Nacos. Brigitte L. 2005. Portrayal of Female Terrorists in the Media: Similar
Framing Patterns in the News Coverage of Women in Politics and in Terrorism.
Studies in Conflict & Terrorism. h. 435-451.
Uraian lengkap tentang hal ini lihat Goldstein, Joshua S. 2003. War and Gender: How Gender Shapes the War System and Vice Versa. New York: Cambridge
University Press.
Nacos. Brigitte L. h. 435-451.
Lihat fatwa MUI tentang
Prosedur Pernikahan ( tahun 1996); fatwa tentang Pengucapan Sighat Ta`liq Talaq
Pada Waktu Upacara Akad Nikah (1996); fatwa tentang Perkawinan Beda Agama
(1980); fatwa tentang Nikah Mut`ah (1997); fatwa tentang Talak Tiga
Sekaligus (1981); dan fatwa tentang
Iddah Wafat (1981). Penjelasan tentang fatwa secara luas lihat Musdah Mulia.
2004. Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung, h.
124-148.