Perjuangan
Perempuan Dalam Mengmbangkan Dakwah Islam
Musdah
Mulia
Tidak
banyak yang mengetahui bahwa Rasul saw memiliki sahabat bukan hanya berjenis
kelamin laki-laki melainkan juga perempuan. Para sahabat perempuan tersebut
ikut berjuang bersama Rasul menegakkan syiar Islam, bukan hanya berdakwah, melainkan
turut berjuang secara fisik di medan peperangan. Di antara perempuan sahabat
tersebut, ada yang masuk Islam secara sembunyi-sembunyi dan Rasulullah biasa
berkumpul dengan mereka dan memberikan bimbingan terkait agama secara rahasia,
karena dakwah pada masa-masa awal keislaman masih dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dan bersifat individual.
Sa’id bin
Zaid berkata, “Kami merahasiakan dakwah Islam selama setahun. Kami tidak shalat kecuali di dalam rumah dengan
pintu tertutup rapat atau di jalan setapak di antara dua bukit yang sepi,
dimana sebagian sahabat mengawasi sebagian yang lain. Jika tiba waktu Ashar,
Rasulullah dan para sahabat menyebar ke sela-sela bukit dan mendirikan shalat
secara sendirian atau dua orang. Ibnu Ishaq
berkata, ”Kemudian manusia masuk Islam, awalnya hanya sebagian kecil saja dari
kalangan laki-laki dan perempuan, hingga lama-kelamaan Islam menyebar di Makkah
dan ramai dibicarakan.”
Peranan perempuan
pada periode dakwah secara sembunyi-sembunyi ini sangat nyata. Mayoritas pemuda
yang sudah menikah di masyarakatnya, masuk Islam bersama istrinya. Mereka hidup
pada masa itu secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui siapa pun. Mereka benar-benar merahasiakan keadaan hingga tak
seorang pun yang mengetahuinya.
Sebenarnya selentingan kabar sempat didengar orang kaum
Quraisy. Namun mereka tidak peduli.
Boleh jadi mereka mengira Muhammad hanyalah salah seorang yang biasa
membicarakan masalah-masalah agama, yang berbicara tentang ketuhanan dan hak-haknya,
seperti Ummayah bin Abu ash-Shalat, Qis bin Sa’idah, Amr bin Nufail dan siapa
pun yang serupa dengan mereka.
Meski ada pula rasa ketar-ketir yang menghantui mereka,
hingga mereka mulai mengawasi sepak terjang dan dakwah beliau. Tiga atau empat
tahun sudah berlalu, namun yang masuk Islam tidak lebih dari delapan puluh
orang. Pasalnya, Rasulullah saw tidak memaksakan diri untuk menampakkan
dakwah. Tentu saja itu merupakan
jumlah yang amat sedikit bila
dibandingkan dengan penduduk Makkah yang mencapai ribuan.
Peranan perempuan tidak berhenti pada upaya dakwah secara
sembunyi-sembunyi, tapi kemudian mereka sudah berani menampakkan diri dan hal
itu dimulai semenjak permulaan dakwah. Ummu Syarik sebagai contoh, setelah
masuk Islam dia menemui beberapa perempuan Quraisy secara sembunyi-sembunyi,
mengajak dan menganjurkan mereka untuk masuk Islam. Cukup lama sehingga
tindakannya ini diketahui beberapa penduduk Makkah.
Para perempuan Musliman telah memahami agama pada saat
itu dengan suatu pemahaman yang didasari kesadaran dan tanggung jawab. Mereka
sangat yakin tanggung jawab dakwah bukan hanya khusus terhadap diri sendiri, melainkan
juga tanggung jawab bersifat umum berhubungan dengan dakwah kepada agama, yang
sekaligus itu merupakan amar ma’ruf nahy munkar. Ini merupakan tanggung jawab yang paling
besar dalam pandangan Islam, bahkan merupakan substansi segala tanggung jawab
yang lain.
Para perempuan memiliki pemahaman semacam itu dan tidak
melandaskan tanggung jawab itu kepada anggapan atau dugaan, bahwa ini merupakan
kondisi khusus pada seseorang. Tidak ada alasan yang layak disampaikan bahwa
laki-laki lebih mampu daripada perempuan atau bahwa perempuan memiliki tabiat
yang tidak memungkinkannya melaksanakan tugas.
Allah memerintahkan Rasul saw, selang tiga tahun setelah
ayat pertama turun, agar menampakkan dakwah secara terang-terangan dan menyeru
mereka agar masuk Islam. Firman-Nya, “Maka sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang
yang musyrik (Al-Hijr: 94).
÷íyô¹$$sù $yJÎ/ ãtB÷sè? óÚÌôãr&ur Ç`tã tûüÏ.Îô³ßJø9$#
ÇÒÍÈ
Setelah Rasulullah menampakkan dakwah, maka orang-orang
Quraisy menentang, mencela, memperlihatkan permusuhan dan kebencian kepada
beliau. Bahkan, mereka mengganggu dan menyiksa orang-orang yang mengikuti
beliau, degan cara apa pun yang dapat mereka lakukan. Namun beliau tetap tegar dalam ketaatan
kepada Allah, siapa pun diseru kepada Allah, baik anak-anak, orang lanjut usia,
orang merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan.
Semenjak hari pertama beliau menampakkan dakwah,
laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu tanggung jawab
yang dibebankan ke pundak perempuan. Ada
dalil yang menguatkan persamaan nilai kemanusiaan antara perempuan dan
saudaranya kaum laki-laki, seperti yang juga ditegaskan pandangan Islam tentang
perempuan sebagai khalifah di muka bumi dan yang layak memanggul amanat.1
Dari Abu Hurairah R.A, dia berkata, “Setelah turun firman Allah, “Dan, berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu
yang terdekat”, Rasulullah saw bersabda:
“Wahai semua
orang Quraisy, juallah diri kalian kepada Allah, karena aku tidak berkuasa
sedikit pun terhadap kalian dari siksa Allah.
Wahai Bani Abdul-Muththalib, aku tidak berkuasa sedikit pun terhadap
kalian dari siksa Allah. Wahai Abbas bin
Abdul-Muththalib, aku tidak berkuasa sedikitpun terhadap dirimu dari siksa
Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasululah,
aku tidak berkuasa sedikitpun terhadap dirimu dari siksa Allah.
Wahai Fathimah
putri Rasulullah, aku tidak berkuasa sedikit pun tehadap dirimu dari siksa
Allah.2 Pengkhususan beliau yang menyebutkan
Fathimah di antara putri-putri beliau, padahal dia yang paling muda di antara
mereka, begitu pula pengkhususan beliau dengan menyebut nama Shafiyah di antara
bibi-bibi beliau yang lain, terkandung hikmah yang mudah diketahui. Beliau menyebutkan perempuan yang lebih muda
agar perintah ini mencakup perempuan-perempuan yang lebih tua dan lebih layak
untuk itu. Rasulullah mengkhususkan
orang-orang yang paling dekat dengan beliau, laki-laki maupun perempuan,
sehingga tanggung jawab yang lainnya lebih layak.
Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata,”
Setelah turun ayat,”Dan, berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
tedekat”, Rasulullah memanggil orang-orang Quraisy, secara umum maupun
khusus…..”Terlepas dari keumuman dan kekhususan yang berarti juga mencakup kaum
perempuan, yang ditunjukkan dengan disebutkannya Shafiyah dan Fathimah secara
khusus.
Semua referensi sejarah sepakat menyebutkan semua kerabat
Rasul. Rasulullah saw mengumpulkan kerabat-kerabat beliau, yang jumlahnya sekitar
empat puluh orang. Sementara pengarang As-Sirah Al-Halabiyah menyebutkan
di dalam buku Al-Imta’, jumlah mereka empat puluh orang laki-laki dan dua
perempuan.
Menurut hemat kami, ini satu-satunya riwayat yang tidak
disebutkan dalam riwayat lain. Kami
tidak akan mengutak-atik apa yang disebutkan di dalam Al-Imta’. Dua
riwayat ini menyebutkan jumlah yang bebeda, disamping adanya riwayat-riwayat
lain yang kami sebutkan dalam keumuman seruan dan kekhususannya.
Yang menjadi perhatian kami, dimana posisi perempuan di
dalam berbagai referensi ini? Apakah
mereka juga masuk di dalam keumuman ini ataukah mereka diabaikan dalam kondisi
yang samar-samar saat itu, bahwa masalah akidah tidak menjadi perhatian
mereka? Di sini kami perlu mengulang
lagi saat ungkapan bahwa tarikh bagi perempuan bukan merupakan gambaran yang
riil tentang apa yang terjadi.
Seruan Rasulullah di tengah kaum perempuan dan laki-laki
pada permulaan dakwah secara terang-terangan, seperti yang juga dinyatakan
dalam berbagai referensi yang shahih, merupakan puncak tataran risalah
kemanusiaan yang mencakup kaum laki-laki dan perempuan, dengan derajat yang
sama. Beliau disamping menetapkan tanggung jawab individual bagi masing-masing
pihak laki dan perempuan.
Seruan Nabawy di tengah kaum laki-laki dan perempuan
semenjak seruan dakwah yang pertama, sebuah seruan yang mengaplikasikan
perintah Ilahy untuk menyampaikan peringatan kepada kaum kerabat, merupakan
bukti paling besar tentang apa yang diinginkan Islam. Karena itu, larangan bagi
perempuan untuk aktif di arena publik seperti kita dengar sekarang sungguh
suatu kesalahan terbesar dalam kehidupan individu dan sosial masyarakat Islam.
Seruan dakwah jelas menandaskan dan menegaskan satu
prinsip mendasar yang harus diperhatikan siapa pun yang menangani sendi-sendi
kehidupan sosial dan hubungan yang didasarkan keimanan antara laki-laki dan perempuan
dalam Islam, yaitu prinsip tolong-menolong di antara sesama orang Mukmin, laki-laki
mapun perempuan karena hubungan amal dan bukan karena hubungan individu, apakah
dia laki-laki ataukah perempuan.1
Ibnu Ishaq berkata, “Ketika Islam mulai didakwahkan
secara terang-terangan, mereka para kafir Quraisy memburu orang-orang yang
masuk Islam dan mengikuti Rasulullah dari kalangan shahabat. Bukan hanya itu, setiap kabilah mengamankan siapa pun orang
Muslim di kalangannya, lalu mereka menyekap dan menyiksa, entah dengan cara
memukuli, membiarkannya kelaparan dan kehausan atau dengan memanggangnya di atas
hamparan pasir jika hari terik panas. Di
antara mereka ada pula yang dapat dibujuk karena kerasnya siksaan yang
dialaminya, ada pula yang tetap tegar dan akhirnya dilindungi Allah swt.
Tentu saja itu merupakan ujian yang mengguncang
orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan yang masuk Islam. Orang-orang kafir
memburu siapa pun yang memeluk Islam, dan yang paling keras ditujukan kepada
para budak, kareka tak seorang pun membela diri mereka. Mereka menyiksanya dengan siksaan yang pedih.
Dari Sa’id bin Jubair,
dia berkata, “Aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas, “Benarkah orang-orang
musyrik kelewatan dalam menyiksa para shahabat Rasulullah saw karena mereka
meninggalkan agama kaumnya?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Benar. Demi Allah, mereka benar-benar memukuli salah
seorang di antara mereka, membiarkannya kelaparan dan kehausan, sampai-sampai
ada yang tidak sanggup duduk karena penderitaan yang dia rasakan di sekujur
tubuhnya. Sampai-sampai mereka berkata
kepadanya, ‘Lata dan Uzza adalah tuhanmu selain Allah?’ Dia menjawab,’Ya”. Dia menjawab seperti itu karena pihak kafir
benar-benar kelewatan menyiksanya.
Tentang hal ini Allah berfirman,
`tB txÿ2 «!$$Î/ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJÎ)
wÎ)
ô`tB
onÌò2é&
¼çmç6ù=s%ur
BûÈõyJôÜãB
Ç`»yJM}$$Î/
`Å3»s9ur
`¨B
yyu°
Ìøÿä3ø9$$Î/
#Yô|¹
óOÎgøn=yèsù
Ò=Òxî
ÆÏiB
«!$#
óOßgs9ur
ëU#xtã
ÒOÏàtã
ÇÊÉÏÈ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi, orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya adzab yang besar.” (An-Nahl:106)
Kaum perempuan dan laki-laki sama-sama harus menanggung
siksaan yang mampu menggetarkan seluruh badan, karena orang-orang kafir tidak
pandang bulu apakah orang yang disiksa itu laki-laki atau perempuan. Jadi perempuan dan laki-laki harus menghadapi
keadaan seperti ini.
Bani makhzum menganiaya Ammar bin Yasir beserta ayah dan
ibunya. Mereka bertiga adalah satu
keluarga Islam. Katika terik siang hari
mencapai puncaknya, mereka menelentangkannya di atas pasir Makkah. Ketika Rasulullah saw lewat di sana, beliau
bersabda, “Sabar wahai keluarga Yasir.
Tempat yang dijanjikan bagi kalian adalah surga.”
Pada suatu petang hari Abu Jahal muncul, mencaci-maki
Sumayyah dan meludahinya. Kemudian dia
menghunjamkan tombak ke kemaluan Sumayyah hingga menemui ajal. Jadi dia merupakan syahid yang pertama dalam
Islam. Hadits ini diriwayatkan dari Manshur, dari Mujahid.
Akhirnya mereka membunuh ibu Ammar, karena dia hanya
menginginkan Islam. Imam Ahmad
meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata, “Orang yang pertama kali mati syahid
dalam Islam adalah ibu Ammar, bernama Sumayyah. Dia dibunuh Abu Jahal dengan
menggunakan tombak pada alat vitalnya, hingga dia mati karenanya.”
Ketentuan Allah swt menghendaki, orang yang pertama kali
mati syahid dalam Islam adalah perempuan. Fakta ini dapat dianggap sebagai satu
bukti terpenting tentang andil dan tanggung jawab perempuan Muslimah, dalam perjuangan
di jalan Allah dan seruan kepada-Nya.
Sumayyah adalah orang ketujuh dari kelompok yang pertama kali masuk
Islam. Dia termasuk pendahulu dan juga termasuk orang yang lebih dahulu
menampakkan keislaman di Makkah pada awal perjalanan Islam. Dari Ibnu Masud, dia berkata, “orang yang
pertama kali menampakkan Islam ada tujuh orang, yaitu Rasulullah saw, Abu
Bakar, Ammar, Ibunya Sumayyah, Shuhaib, Bilal dan Al-Miqdad.”
Tentang diri Rasulullah saw, maka Allah melindungi beliau
dari aksi dan kejahatan kaum Quraisy.
Adapun yang lainnya tidak mampu membebaskan diri dari kebiadaban
orang-orang musyrik. Ada yang dipasangi baju besi lalu dipanggang di bawah
terik matahari, sehingga dapat dibayangkan bagaimana penderitaan yang dialaminya.
Nahdiyan dan putrinya adalah budak milik seorang perempuan
dari Bani Abdid-Dar. Ketika perempuan
itu menyuruh keduanya untuk mengolah tepung, dia berkata, “Demi Allah aku tidak
akan memerdekakan kalian berdua.” Abu Bakar yang kebetulan lewat di tempat itu
berkata, “Wahai Ummu Fulan, cabutlah sumpahmu itu.”perempuan itu berkata,
“Cabut sendiri, karena engkaulah yang telah merusak dua perempuan ini. Karena itu merdekakan keduanya.” Abu Bakar
bertanya, “Berapa nilai mereka berdua?” Setelah perempuan itu menyebutkan
nilainya, Abu Bakar berkata, “Aku mengambil keduanya dan kedua perempuan itu
pun merdeka.
Abu Bakar juga memerdekakan budak Bani Al-Mu’ammal,
sebuah suku dari Bani Ka’b. Dia masuk
Islam yang kemudian disiksa Umar bin Al-Khaththab, yang saat itu Umar masih
berada dalam kemusyrikan. Ketika Umar
merasa bosan sendiri, dia berkata, “Aku sudah tidak sanggup lagi berbuat
sesuatu kepadamu. Aku membiarkanmu
karena sudah bosan.”Perempuan itu berkata, “Begitu pula yang diperbuat Allah
terhadap dirimu.”
Abu Bakar juga memerdekakan Ummu Ubais, seorang budak perempuan
milik Bani Taim bin Murrah. Dia masuk
Islam dan juga termasuk mereka yang disiksa karena Allah. Abu Bakar membelinya lalu memerdekakannya. Begitu pula yang terjadi dengan Zanirah. Hisyam bin Urwah berkata, “Dia salah seorang dari tujuh orang yang
disiksa karena Allah. Abu Bakar
membelinya. Dia seorang perempuan Romawi
yang menjadi budak Bani Abdud-Dar. Setelah masuk Islam, dia menjadi buta. Maka Orang-orang Quraisy berkata, “tidak ada
yang membuatnya buta selain Lata dan Uzza. Selain Lata dan Uzza tidak ada yang sanggup
memberi mudharat dan manfaat. “Lalu
Allah mengembalikan penglihatannya.
Abu Bakar
juga memerdekakan Hamamah ibu Bilal.”Siksaan tidak hanya ditimpakan kepada
orang-orang yang lemah dari kalangan budak laki-laki dan perempuan. Banyak cara penyiksaan yang dilakukan setiap
suku Quraisy terhadap anggotanya yang masuk Islam. Biasanya mereka menjebloskan
orang Muslim ke tempat yang gelap, membelenggunya dengan tali, tidak memberinya
makan dan minum, di samping siksaan-siksaan lain. Sa’id bin Zaid berkata, “Demi Allah, aku melihat Umar
mengikat saudarinya gara-gara Islam, sebelum dia masuk Islam.”
Siksaan yang ditimpakan orang musyrik terhadap para perempuan
Mukminah tidak hanya dilakukan di Makkah, tapi juga dialami beberapa orang yang
masuk Islam dari beberapa kabilah yang jauh dari Makkah. Ibnu Sa’ad
meriwayatkan bahwa Ummu Syarik Ghaziyah binti Jabir masuk Islam bersama
suaminya.
Setelah suaminya hijrah bersama Abu Hurairah dan
sekumpulan orang dari kaumnya, maka dia didatangi beberapa orang dari keluarga
suaminya, Abul-Akar, lalu mereka bertanya apakah dia berada pada agama
suaminya? Dia pun menyatakan keislamannya.
Lalu mereka bersumpah akan menimpakan siksaan yang keras kepadanya. Mereka membawanya keluar kampung, menaikkannya ke atas punggung hewan yang
paling buruk dan yang paling kasar, mereka memberinya makan roti dan madu tanpa
memberinya minuman seteguk pun, membiarkannya dibakar terik matahari selama
tiga hari, sampai-sampai akalnya menjadi kacau, tidak dapat mendengar dan
melihat. Pada hari ketiga mereka meminta
agar dia meninggalkan agamanya. Tidak
ada yang dapat dilakukannya kecuali hanya memberi isyarat dengan jari
telunjuknya yang tertuju ke atas, yang menggambarkan tauhid. Dia tidak dapat mencerna apa yang mereka
ucapkan karena keadaannya antara sadar dan tidak sadar.
Islam menemukan jalan ke Madinah sebelum hijrah. Hal ini bermula dari Hawa’ binti Yazid bin
Sinan Al-Anshariyah yang masuk Islam lebih dahulu selagi Rasulullah masih
berada di Makkah. Suaminya, Qais bin
Al-khathim menghalanginya masuk Islam.
Dia menganggap istrinya itu main-main. Karena itu dia suka memeluk
istrinya ketika sedang sujud, memeluknya di bagian kepala. Rasulullah saw yang saat itu berada di Makkah
mengabarkan keislaman Hawa’ dan apa yang dilakukan suaminya.
Pada musim haji, beliau menemui Qais dan mengajaknya
kepada Islam, seraya bersabda, “wahai Abu Yazid, aku mendengar engkau
memperlakukan istrimu Hawa’ dengan cara yang tidak baik semenjak dia
meninggalkan agamamu. Maka takutlah
kepada Allah dan jagalah aku dalam urusan istrimu dan janganlah engkau
membujuknya. “Dalam suatu riwayat
disebutkan, “Sesungguhnya istrimu telah masuk Islam, sementara engkau
menyakitinya. Maka aku menghendaki agar
engkau tidak membujuknya.”
Satu hal yang pasti, Quraisy adalah kabilah yang paling
keras terhadap beliau, mengingat mereka adalah kaum yang bersinggungan secara
langsung dengan beliau. Sikap semua
kalangan Jahiliyah adalah satu, yaitu menolak la ilaha illallah dengan
maknanya yang integral, yaitu ketika sejarah menetapkan atas dasar kalimat
ini: hendaknya manusia hidup merdeka di
alam nyata, ataukah sebagian di antara mereka harus menjadi hamba bagi sebagian
yang lain? Atas dasar kalimat ini pula mereka harus menerapkan keadilan dalam
lindungan Allah.
Kita sedang dicekoki sebuah pemikiran yang meminggirkan
peranan perempuan dan menganggapnya sebagai cabang dan bukan pangkal. Karena itu kita bertanya-tanya, “Tidak adakah
kesempatan bagi para perempuan karena mereka sebagai perempuan untuk tetap
berada di dalam rumah dan tidak menampakkan keislaman, agar mereka tebebas dari
penyiksaan ini, padahal yang demikian itu bukan sesuatu yang ditolak dalam
agama, baik yang laki-laki atau yang dilakukan perempuan.”
Pada beberapa kondisi tertentu perempuan memiliki
kemampuan yang justru tidak dimiliki sekian banyak laki-laki. Para pemimpin dan pemuka yang zhalim tidak
mampu mempengaruhi seorang perempuan yang sedang disiksa agar melepaskan
sepatah dua patah kata dari lidahnya, apalagi dari hatinya. Kalaupun dia
mengucapkan kata-kata, justru membuat orang-orang kafir itu berang, seperti
yang dilakukan seorang budak perempuan Bani Al-Mu’ammil dan Zanirah. Gambaran keteguhan
dan kesabaran perempuan Muslimah dalam membela akidahnya ini merupakan bukti
paling kuat bahwa tanggung jawab iman yang dipeganginya merupakan bagian dari
keyakinan itu sendiri.
Berbagai kisah
yang dipaparkan di atas mengukuhkan kebenaran akan keterlibatan kaum perempuan
dalam perjuangan penegakan Islam, baik ketika Islam masih di dakwahkan secara
sembunyi-sembunyi maupun setelah Islam didakwahkan secara terang-terangan. Bahkan
terungkap bahwa syahid pertama dalam perjuangan penegakan adalah perempuan,
dialah Sumayyah, ibu dari sahabat Rasul bernama Amar.
Artinya, sejak
awal dakwah Islam, Rasul tidak membedakan peran perempuan dan laki-laki.
Keduanya bersama-sama dan saling bahu-membahu menjalankan dakwah Islam dan
mengajak orang-orang musyrik kepada keimanan yang hakiki. Wallahu a’lam.
1 Perhatikan ketetapan Al-Qur’an tentang persamaan ini
dalam beberapa ayat Al-Qur’an berikut ini, seperti:
“Maka Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman),
‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal dia antara
kalian, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kalian adalah turunan
dari sebagian yang lain.”(Ali Imran:195).
“Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki mapun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya akan kani beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”(An-Nahl:97).
“Dan orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong
bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah:71).
“Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kalian.” (Al-Hujarat;13)
1 Perhatikan
firman Allah, “Jika mereka
mendurhakaimu, maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab
terhadap apa yang kalian kerjakan.”(Asy-Syu’ara’:216). Pengingkaran di dalam ayat ini didasarkan kepada perbuatan yang butuk
dan bukan kepada subyek yang buruk, apalagi jenis subyek yang buruk, seperti
apakah dia laki-laki atau perempuan.
Jika pelepasan tanggung jawab dari orang-orang yang durhaka ini
berhubungan dengan amal seperti gambaran ini, maka tolong-menolong karena
pertimbangan iman berhubungan dengan hal lain, yaitu amal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar