Kajian SALAM
ke-8, Kantor ICRP tanggal 14 April 2019
Narasumber:
Musdah Mulia
Tema: Feminisme
dalam Islam
Apa itu
Feminisme ?
Feminisme adalah gerakan
emansipasi perempuan yang mulai dikenal sekitar abad ke-18. Timbulnya revolusi
Perancis (1789) dan revolusi Industri abad ke-18 telah mempengaruhi tata
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini menyebabkan tidak sedikit
laki-laki terserap di sektor industri, sementara perempuan hanya berkutat dalam
sektor domestik (rumah tangga). Ketidakberdayaan perempuan di tengah struktur
dan kultur masyarakat industri inilah yang antara lain mendorong lahirnya
gerakan feminisme.
Berbeda dengan banyak
"isme" lainnya, feminisme bukanlah suatu konsep dan teori yang tunggal. Meskipun
demikian, tetap ada pemaknaan yang dapat disepakati bersama mengenai apa itu
feminisme. Setiap gerakan feminisme selalu mengandung dalam dirinya suatu
“kesadaran feminis” yaitu kesadaran akan adanya perlakuan tidak adil terhadap
perempuan, baik di ranah publik maupun di ranah domestik, serta suatu tindakan
sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah ketidakadilan tersebut.
Pengertian sederhana dari feminisme adalah ide atau pemikiran untuk
melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan. Orang yang memperjuangkannya
disebut feminis. Feminis bukan hanya terdiri dari perempuan, terdapat banyak
laki-laki yang berjuang untuk kesetaraan
perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, sebenarnya feminisme itu ada dan
tumbuh di setiap komunitas, wilayah, ras, agama,dan negara, walau mungkin
menggunakan istilah yang berbeda. Konsep dan gagasan feminisme tidak tunggal,
ia beragam, tergantung kepada cara kita memandang sumber ketertindasan
perempuan. Maka kita mengenal feminisme liberal, radikal, sosialis, marxis, eco-feminis,
feminis Islam dan banyak lagi.
Apa yang diperkenalkan oleh Charles Fourier, aktivis sosialis pada
tahun 1837 mengenai feminisme adalah bentuk emansipasi secara lebih radikal.
Dengan latar belakang kejenuhan akan nasib kaum perempuan yang terjadi di
Eropa, feminisme lahir dan mendukung persamaan mutlak hak serta kewajiban
antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, mulai dari sosial, politik,
hingga ekonomi. Inti dari feminisme adalah bagaimana
perempuan dapat memiliki akses dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam
mengembangkan diri.
Gerakan feminisme mengalami perkembangan dan
dinamika seiring dengan tuntutan kemajuan zaman dan kemajuan sains dan
teknologi. Feminisme gelombang pertama di abad 19 fokus terhadap kesetaraan hak
sipil dan politik. Kini ketika feminisme telah mencapai gelombang keempat,
feminisme sudah jauh berkembang menjadi paham yang melawan penindasan yang
berkaitan terhadap ras, seksualitas dan jenis kelamin. Gerakan feminisme saat
ini sudah lebih cenderung kepada memberi kesadaran dan pengertian pada
masyarakat untuk berempati kepada kelompok minoritas tertindas, baik secara
ekonomi, sosial, gender, preferensi seksual, ras, dan lain-lain.
|
Sebelum menerangkan lebih jauh tentang feminisme, perlu mengetahui
terlebih dahulu sejumlah mitos yang dikembangkan di masyarakat, khususnya
melalui medsos. Mitos-mitor tersebut sengaja dibangun dan dimaksudkan untuk
menggiring opini masyarakat agar menolak dan melawan ide-ide feminisme.
Setidaknya terdapat 7 Mitos tentang Feminisme.
1. Mitos: Feminis membenci laki-laki. Fakta:
Feminis hanya membenci laki-laki brengsek dan tidak bertanggungjawab.
2. Mitos: Feminis harus lebih tinggi derajatnya dari laki-laki. Fakta:
Feminis hanya menginginkan kesetaraan gender.
3. Mitos: Feminisme melawan kodrat
alami manusia. Fakta: Feminisme diciptakan untuk melawan
kebodohan dan ketidakadilan.
4. Mitos: Feminis pasti tidak
ingin memiliki anak. Fakta: Feminis tidak ingin menganggap bahwa
memiliki anak adalah kewajiban karena punya anak adalah sebuah pilihan yang
sarat dengan tanggungjawab.
5. Mitos: Feminis tidak percaya
pada institusi pernikahan. Fakta: Feminis mampu membangun keluarga dengan
ikatan pernikahan yang bahagia.
6. Mitos: Feminisme belum
berubah seiring waktu, masih kolot dan kuno. Fakta: Feminisme telah berkembang pesat sesuai tuntutan
kemajuan zaman dan konteks lokal.
7.
Mitos: Feminisme tidak
diperlukan lagi karena saat ini perempuan sudah setara dengan laki-laki. Fakta: Perhatikan berita-berita di koran dan
medsos serta amati lingkungan sekitar, terbukti masih banyak kasus pelecehan
seksual, kekerasan, perkosaan, persekusi dan diskriminasi terhadap perempuan
dan anak perempuan. Hal itu mengindikasikan bahwa masih banyak perempuan belum
diperlakukan setara dengan laki-laki. Perlu perjuangan untuk mengangkat harkat
dan martabat perempuan demi kemashlahatan dan kemajuan seluruh masyarakat.
Tauhid: Gagasan Feminisme Islam
Islam memberikan penghargaan yang
sangat tinggi kepada manusia sebagai khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah,
2:30). Sebagai khalifah, tugas manusia (perempuan dan laki-laki) adalah
sama, yakni menjadi agen moral untuk melakukan amar ma’ruf nahy munkar,
yakni upaya-upaya transformasi dan humanisasi. Upaya tersebut bukan hanya untuk
diri sendiri, melainkan juga untuk keluarga dan masyarakat luas sehingga
terwujud kondisi masyarakat ideal yang diistilahkan dalam Qur’an dengan baldatun
thayyibah wa rabbun ghafur (masyarakat yang damai dan bahagia, penuh
dilimpahi rahmat Tuhan).
Tauhid adalah inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana berketuhanan
yang benar dan selanjutnya menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan yang
benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid menjadi pegangan pokok yang
membimbing dan mengarahkan manusia untuk bertindak benar, baik dalam
hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia, maupun dengan alam semesta.
Bertauhid yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik di
dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.
Tauhid menghapuskan semua bentuk
eksploitasi, diskriminasi dan penghinaan martabat manusia. Keyakinan bahwa hanya Allah yang patut
dipertuhankan dan tidak ada siapa pun dan apa pun yang setara dengan Allah,
meniscayakan kesamaan dan kesetaraan semua manusia di hadapan Allah, baik sebagai
hamba Allah maupun sebagai khalifah. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan,
mengemban tugas ketauhidan yang sama, yakni menyembah hanya kepada Allah swt.
Atas dasar keadilan dan kesetaraan, semua manusia dipersaudarakan dalam
tauhid.
Tauhid mempersaudarakan laki-laki
dan perempuan ibarat saudara kandung, seperti ditegaskan dalam hadis Nabi: "laki-laki
adalah saudara kandung perempuan" (HR. Abu Dawud
dan At-Tirmidzi). Karena itu, mereka tidak boleh
saling menyakiti dan merendahkan. Mereka harus bekerja sama, saling menolong dan
bahu-membahu demi tercapainya cita-cita Bersama. Dalam hadis
tersebut ditegaskan makna “saudara” mengandung arti kesetaraan, kebersamaan,
kasih sayang, penghormatan atas hak-hak asasi manusia, pembelaan atas
orang-orang yang mengalami kezaliman, serta rasa senasib dan sepenanggungan.
Makna mendalam dari sabda Nabi di atas merupakan semangat yang harus
mendasari setiap gerak langkah masyarakat yang selalu terdiri atas laki-laki
dan perempuan. Ini berarti bahwa ibarat saudara, laki-laki dan perempuan harus
bekerja sama dalam seluruh aspek kehidupan agar cita-cita masyarakat bisa
tercapai dan dirasakan manfaatnya oleh semua. Laki-laki tidak boleh merendahkan saudaranya yang
perempuan, demikian pula
sebaliknya. Perempuan tidak
boleh apatis dan asyik dengan dirinya sendiri sehingga tidak tahu apa yang
dilakukan oleh saudaranya, laki-laki.
Dalam semangat persaudaraan ini, laki-laki dan perempuan didorong untuk
bekerjasama dan bersinergi menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur
dalam ridha Allah, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr (Q.S. Saba’,
34:15).
Keyakinan bahwa tidak ada manusia yang setara dengan Allah dan tidak ada
anak dan titisan Tuhan pada gilirannya melahirkan pandangan kesetaraan manusia
sebagai sesama makhluk Allah. Tidak ada manusia nomor satu dan manusia nomor
dua. Manusia pada hakikatnya setara. Tidak ada
manusia yang boleh dipertuhankan dalam arti dijadikan tujuan hidup dan tempat
bergantung, ditakuti, disembah dan seluruh tindakannya dianggap benar tanpa
syarat. Raja bukanlah tuhan bagi rakyat, suami bukanlah tuhan bagi istri, orang
kaya bukanlah tuhan bagi orang miskin. Oleh karena mereka bukan tuhan, maka
rakyat tidak boleh mempertuhankan rajanya dan pemimpinnya, bawahan tidak boleh
mempertuhankan atasannya dan istri tidak boleh mempertuhankan suaminya.
Ketakutan dan ketaatan tanpa syarat kepada raja, pemimpin, atasan atau suami
yang melebihi ketaatan dan ketakutan kepada Allah merupakan pengingkaran
terhadap tauhid.
Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak sekadar doktrin keagamaan yang
statis. Tauhid adalah energi aktif yang membuat manusia mampu menempatkan Tuhan
sebagai Tuhan dan manusia sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid
tidak saja membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melainkan juga
melahirkan tatanan masyarakat yang bermoral, santun, manusiawi, bebas dari
semua perilaku ketidakadilan, diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan semua
bentuk penindasan. Itulah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw.!
Dari perspektif kesadaran feminis tersebut,
Nabi Muhammad Saw. dapat digolongkan sebagai feminis. Beliau adalah pemimpin
revolusioner yang mengangkat derajat perempuan dan menempatkannya pada posisi
yang sangat tinggi dengan melawan mainstream kultur pada masanya.
Perombakan dan perubahan radikal terhadap posisi perempuan dilakukan setidaknya
melalui tiga isu, yakni isu mahar, poligami dan waris. Sebelum Islam atau masa
Jahiliyah, perempuan adalah objek yang tidak punya hak untuk bersuara, berkarya
dan berharta. Tradisi mahar yang diperkenalkan Islam pada substansinya untuk
mengingatkan masyarakat ketika itu bahwa perempuan adalah makhluk bermartabat.
Mahar menempatkan perempuan sebagai subjek, sebagai manusia yang memiliki hak
properti. Mahar menjadi milik perempuan yang dinikahi, dan milik itu tidak
boleh dirampas oleh siapa pun termasuk orang tua mereka.
Poligami sudah menjadi tradisi masyarakat
Jahiliyah, dan bahkan tradisi berbagai masyarakat dunia jauh sebelum Islam.
Sebelum Islam, laki-laki dapat menikahi perempuan dalam jumlah yang tidak
terbatas dan tanpa syarat apa pun. Islam datang dan melakukan koreksi total
secara radikal terhadap tradisi jahiliyah tersebut dengan menetapkan jumlah
maksimal perempuan yang dapat dijadikan istri, yaitu maksimal hanya empat,
itupun disertai dengan syarat yang sangat ketat, yakni dapat berlaku adil terhadap
mereka, suatu syarat yang hanya orang setingkat Nabi dapat memenuhinya.
Sebelum Islam, perempuan tidak mendapatkan hak
waris, bahkan dirinya sendiri menjadi bagian dari harta yang diwariskan.
Demikianlah, jika seorang suami
meninggal, istri-istrinya dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Islam menghapus
tradisi yang tidak manusiawi itu dan menetapkan hak kewarisan bagi perempuan. Meskipun
jumlah yang diberikan belum sebanyak bagian kaum laki-laki, mengingat kaum
perempuan mada masa itu belum memiliki akses dalam aktifitas ekonomi. Namun,
spirit yang dibangun Islam adalah pengakuan terhadap eksistensi perempuan
sebagai manusia yang utuh, bermartabat, setara dan sederajat dengan saudara
mereka yang laki-laki.
Kelas Kajian Salam 8 : Feminisme Dalam Islam |