Al-Qur’an
menginformasikan bahwa puasa telah lama dipraktekkan oleh umat-umat lain
sebelum Islam. Informasi itu dimaksudkan agar secara psikologis umat Islam
tidak merasa berat melakukan puasa karena umat-umat terdahulu pun melakukannya.
Namun, Al-Qur’an menegaskan
bahwa kewajiban puasa hanya ditujukan kepada orang-orang beriman: perempuan dan
laki-laki. Tujuannya jelas, seperti disebut dalam QS. al-Baqarah,
2:183, yaitu menjadi orang yang sungguh-sungguh
bertakwa kepada Allah swt.
Pertanyaan muncul, siapa
itu orang-orang bertakwa? Apakah mereka yang menyebut Islam sebagai agama dalam
KTP? Apakah mereka yang menggunakan simbol-simbol kearaban? Apakah mereka yang
aktif dalam organisasi-organisasi berbendera Islam yang sekarang menjamur di
masyarakat? Apakah mereka yang eforia mengusung partai-partai berlabel Islam?
Al-Qur’an tidak menyebut
secara rinci siapa dimaksud dengan orang bertakwa, melainkan hanya menyebut
sejumlah ciri. Di antaranya, beriman kepada Allah swt, malaikat, nabi dan rasul, serta hari akhirat; konsisten
menegakkan shalat; kontinyu menafkahkan harta untuk kelompok tertindas; dan
senantiasa mendapat petunjuk Allah (QS. Al-Baqarah, 2-5). Logikanya, jika
seseorang sungguh-sungguh beriman kepada Allah, malaikat, nabi dan rasul-Nya,
pasti dia selalu berperilaku santun dan terpuji, serta terpelihara dari
perbuatan tercela dan memalukan. Jika seseorang sungguh-sungguh percaya hari
akhirat, pasti tidak berani korupsi dan memanipulasi anggaran proyek, tidak berani
melakukan kekerasan dan mengeksploitasi sesamanya, serta tidak merusak
kelestarian alam. Jika seseorang konsisten menegakkan shalat, pasti terhindar
dari segala bentuk perilaku keji dan mungkar, perilaku tidak manusiawi dan
menyakiti hati sesama. Jika seseorang kontinyu menafkahkan harta, pasti
terhindar dari perilaku kapitalis, rentenir, serakah, dan sewenang-wenang. Jika
seseorang telah mendapat petunjuk Allah swt, hatinya pasti penuh diliputi
cinta, kasih sayang, dan kedamaian sehingga tidak ada ruang dalam dirinya untuk
membenci, menghujat, mengeksploitasi, dan melakukan kekerasan demi alasan apa
pun.
Puasa itu
bertingkat-tingkat. Tingkat pertama disebut puasa umum, yaitu menahan diri dari
makan, minum dan hubungan seksual. Tingkat kedua dinamakan puasa khusus, yaitu
di samping menahan diri dari tiga hal yang disebutkan terdahulu, juga menahan
seluruh anggota tubuh lainnya, seperti mulut, telinga, mata, kaki dan tangan
dari semua perilaku yang berpotensi mendatangkan dosa. Tingkat ketiga, sering
disebut sebagai puasa paling khusus. Puasa jenis ini bukan hanya menahan tubuh
jasmaniah, melainkan juga aspek batiniah, seperti pikiran, perasaan, dan
angan-angan dari semua hal yang berpotensi membawa kepada dosa dan maksiat.
Puasa seperti inilah yang dapat menenangkan hati pelakunya dari berbagai
godaan, hasrat dan keinginan. Puasa yang mendorong pelakunya untuk menghormati
sesama manusia dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Seyogyanya, semakin
bertambah usia manusia semakin tinggi pula tingkat amalan puasanya, tidak hanya
sebatas menjaga diri dari makan, minum dan seks.
Puasa yang dilakukan umat Islam setiap bulan Ramadhan seharusnya
menjadi media pendidikan yang mampu mengubah dan mengembangkan ketiga potensi
dasar dalam diri manusia: pengetahuan, sikap dan perilaku ke arah lebih baik,
lebih positif dan lebih manusiawi. Puasa harus mengubah pengetahuan dan wawasan
manusia menjadi lebih luas dan terbuka. Puasa harus mengubah sikap manusia ke
arah lebih inklusif, lebih toleran, lebih pluralis, dan lebih humanis sehingga tercipta
kedamaian dalam masyarakat, bukan kekerasan atas nama apa pun. Puasa harus
mengubah perilaku manusia ke arah perilaku lebih sopan, lebih santun dan
bermoral. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar