Rabu, 07 Juni 2017

Puasa dan Ketakwaan



Al-Qur’an menginformasikan bahwa puasa telah lama dipraktekkan oleh umat-umat lain sebelum Islam. Informasi itu dimaksudkan agar secara psikologis umat Islam tidak merasa berat melakukan puasa karena umat-umat terdahulu pun melakukannya. Namun, Al-Qur’an menegaskan bahwa kewajiban puasa hanya ditujukan kepada orang-orang beriman: perempuan dan laki-laki. Tujuannya jelas, seperti disebut dalam QS. al-Baqarah, 2:183, yaitu menjadi orang yang sungguh-sungguh bertakwa kepada Allah swt.
Pertanyaan muncul, siapa itu orang-orang bertakwa? Apakah mereka yang menyebut Islam sebagai agama dalam KTP? Apakah mereka yang menggunakan simbol-simbol kearaban? Apakah mereka yang aktif dalam organisasi-organisasi berbendera Islam yang sekarang menjamur di masyarakat? Apakah mereka yang eforia mengusung partai-partai berlabel Islam?
Al-Qur’an tidak menyebut secara rinci siapa dimaksud dengan orang bertakwa, melainkan hanya menyebut sejumlah ciri. Di antaranya, beriman kepada Allah swt,  malaikat, nabi dan rasul, serta hari akhirat; konsisten menegakkan shalat; kontinyu menafkahkan harta untuk kelompok tertindas; dan senantiasa mendapat petunjuk Allah (QS. Al-Baqarah, 2-5). Logikanya, jika seseorang sungguh-sungguh beriman kepada Allah, malaikat, nabi dan rasul-Nya, pasti dia selalu berperilaku santun dan terpuji, serta terpelihara dari perbuatan tercela dan memalukan. Jika seseorang sungguh-sungguh percaya hari akhirat, pasti tidak berani korupsi dan memanipulasi anggaran proyek, tidak berani melakukan kekerasan dan mengeksploitasi sesamanya, serta tidak merusak kelestarian alam. Jika seseorang konsisten menegakkan shalat, pasti terhindar dari segala bentuk perilaku keji dan mungkar, perilaku tidak manusiawi dan menyakiti hati sesama. Jika seseorang kontinyu menafkahkan harta, pasti terhindar dari perilaku kapitalis, rentenir, serakah, dan sewenang-wenang. Jika seseorang telah mendapat petunjuk Allah swt, hatinya pasti penuh diliputi cinta, kasih sayang, dan kedamaian sehingga tidak ada ruang dalam dirinya untuk membenci, menghujat, mengeksploitasi, dan melakukan kekerasan demi alasan apa pun.
Puasa itu bertingkat-tingkat. Tingkat pertama disebut puasa umum, yaitu menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual. Tingkat kedua dinamakan puasa khusus, yaitu di samping menahan diri dari tiga hal yang disebutkan terdahulu, juga menahan seluruh anggota tubuh lainnya, seperti mulut, telinga, mata, kaki dan tangan dari semua perilaku yang berpotensi mendatangkan dosa. Tingkat ketiga, sering disebut sebagai puasa paling khusus. Puasa jenis ini bukan hanya menahan tubuh jasmaniah, melainkan juga aspek batiniah, seperti pikiran, perasaan, dan angan-angan dari semua hal yang berpotensi membawa kepada dosa dan maksiat. Puasa seperti inilah yang dapat menenangkan hati pelakunya dari berbagai godaan, hasrat dan keinginan. Puasa yang mendorong pelakunya untuk menghormati sesama manusia dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Seyogyanya, semakin bertambah usia manusia semakin tinggi pula tingkat amalan puasanya, tidak hanya sebatas menjaga diri dari makan, minum dan seks.
Puasa yang dilakukan umat Islam setiap bulan Ramadhan seharusnya menjadi media pendidikan yang mampu mengubah dan mengembangkan ketiga potensi dasar dalam diri manusia: pengetahuan, sikap dan perilaku ke arah lebih baik, lebih positif dan lebih manusiawi. Puasa harus mengubah pengetahuan dan wawasan manusia menjadi lebih luas dan terbuka. Puasa harus mengubah sikap manusia ke arah lebih inklusif, lebih toleran, lebih pluralis, dan lebih humanis sehingga tercipta kedamaian dalam masyarakat, bukan kekerasan atas nama apa pun. Puasa harus mengubah perilaku manusia ke arah perilaku lebih sopan, lebih santun dan bermoral.  Wallahu a’lam bi al-shawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar