Siti Musdah Mulia[1]
Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan
masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoritarian dan
agama humanistik. Agama humanistik selalu mengajarkan pada pemeluknya agar
memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan
manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan
bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakini benar. Manusia harus
mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya
membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga
kelestarian alam semesta.
Sebaliknya, agama otoritarian memandang manusia dengan
pandangan negatif, makhluk penuh dosa dan tidak punya pilihan bebas, tak
berdaya, tak berarti dan serba-dependen. Manusia hanya bisa pasrah secara
mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi amal utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan
dianggap dosa paling besar. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan
kebebasan dan integritas diri sebagai individu dengan janji memperoleh pahala
berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan. Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan
dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi,
sebetulnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan,
bukan pada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat
tergantung pada pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoritarian
selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin
kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu
melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi atas nama Tuhan dan atas nama
agama. Mengerikan!.
Agama humanistik mendorong kepada sikap mencari kebenaran
secara tulus dan murni (hanafiyyah, kehanifan). Ini adalah sikap keagamaan
yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan sejati, dan tidak bersifat mengihibur
secara semu dan palsu seperti halnya kultus dan fundamentalisme. Nabi
menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanafiyyah
al-samhah yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, tidak sempit,
toleran, bersifat pluralis tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.
Beberapa hadits berikut menjelaskan kecaman Nabi saw. terhadap
sahabatnya yang fanatik dan ekstrim dalam kehidupan keagamaan. Diriwayatkan
bahwa isteri 'Utsman bin Mazh'un berkunjung ke rumah para isteri Nabi, dan
mereka melihat isteri Utsman dalam keadaan mencemaskan. Isteri Nabi bertanya:
“Apa yang terjadi dengan dirimu? Tidak ada di kalangan kaum Quraysh orang yang
lebih kaya dari suamimu!” Ia menjawab: “Saya dan anak-anak tidak mendapat
apa-apa dari dia. Sebab, jika malam dia beribadat, dan siang hari dia
berpuasa!” Mereka pun masuk kepada Nabi dan menceritakan hal tersebut. Nabi pun
menemui 'Utsman bin Mazh'un, dan bersabda: “Hari 'Utsman! Tidakkah padaku ada
contoh bagimu?l” Dia menjawab: “Demi ayah-ibuku, engkau memang demikian.” Lalu
Nabi bertanya: Apakah benar engkau berpuasa setiap hari dan beribadat sepanjang
malam?” Dia menjawab: “Aku memang melakukannya.” Nabi bersabda: “Jangan kau
lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak, dan keluargamu pun punya hak atas
engkau! Maka shalat dan tidurlah, puasa
dan makanlah!”
Kemudian diceritakan bahwa 'Utsman bin Mazh'un membeli
sebuah rumah, lalu tinggal di dalamnya sepanjang waktu untuk beribadat. Berita
itu datang kepada Nabi s.a.w., maka beliau pun datang dan menariknya ke luar
rumah sambil bersabda: “Wahai 'Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku
dengan ajaran kerahiban.” Nabi mengulang kalimat itu dua atau tiga kali, lalu
bersabda: “Dan sesungguhnya sebaik-baik
agama di sisi Allah ialah al-hanafiyyah al-samhah semangat pencarian
kebenaran yang lapang dan toleran.”
Suatu ketika Nabi s.a.w. mendengar berita bahwa
segolongan sahabat menjauhi perempuan dan menghindari makan daging. Maka Nabi
pun memberi peringatan keras, dan bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diutus
dengan membawa ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik agama ialah semangat
pencarian kebenaran yang lapang dan toleran.”
Nabi selalu menegaskan bahwa beliau tidak diutus untuk
mengajarkan kerahiban atau monastisisme, yaitu sikap mengingkari kewajaran
atau hidup dengan cara yang ekstrim dan
menganiaya diri sendiri. Mengapa kerahiban dikecam dalam Islam? Sebab,
kerahiban dapat berjalan sejajar dan berhimpit dengan kefanatikan, keekstriman,
dan sikap-sikap pembelengguan diri orang bersangkutan, dan mungkin tanpa
disadarinya. Sikap seperti itu adalah suatu bentuk pengamalan keagamaan yang
tidak wajar, tidak alami, dan tidak sejalan dengan fithrah manusia, serta berakibat
pengingkaran hak kemanusiaan diri dan orang lain.
Tidak salah jika Eric Fromm, selaku psikoanalis,
memandang bahwa kesehatan jiwa tergantung kepada sikap pemihakan kepada kebenaran
secara tulus tanpa pembelengguan diri, dan kepada semangat cinta-kasih kepada
sesama manusia.Tentu saja hal ini akan sulit dicapai kecuali dalam agama
humanistik. Sebab, agama humanistik didasarkan atas kepercayaan akan adanya
Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Sayang. Sifat Maha Kasih dan Maha Sayang (al-Rahman
dan ar-Rahim) adalah sifat Kebenaran Mutlak (Tuhan) yang paling banyak
disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam banyak hadis, Nabi mengatakan bahwa hendaknya
kita mencontoh akhlaq Tuhan Maha Kasih dan Maha Sayang. Jadi cinta kepada
Kebenaran adalah juga cinta kepada Yang Maha Cinta, dan ini pada gilirannya
membawa kita kepada cinta sesama manusia. Karena itulah, dalam hadits di atas,
Nabi s.a.w. menegur 'Utsma bin Mazh'un karena telah menelantarkan bukan saja
dirinya, melainkan juga keluarganya. Logikanya, jika seseorang memang mempunyai
hubungan cinta kepada Tuhan (hablun minallah), maka seharusnya dia juga
mempunyai hubungan cinta kepada sesama manusia (hablun minannas) dua
nilai hidup yang bakal menjamin keselamatan manusia, dunia-akhirat.
Kita harus memiliki pandangan yang positif dan
konstruktif kepada sesama manusia. Pandangan positif seperti ini hanya ada
dalam agama humanistik, bukan pada agama otoritarian yang selalu melihat
manusia itu penuh dosa dan memandang Tuhan sebagai Maha Penyiksa. Islam
mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (Q.S. al-Tiin,
95:4), sebab manusia diciptakan dalam fithrah atau kejadian asal yang
suci-bersih. Kejahatan pada manusia, yaitu keadaan menyimpang dari fithrahnya
yang suci-bersih, harus dipandang sebagai sesuatu yang datang dari luar,
khususnya dari pengaruh lingkungan budaya. Karena itu Nabi melukiskan bahwa
setiap anak lahir dalam kesucian fithrahnya, dan kedua orang tuanyalah yang
menbuatnya menyimpang dari fithrah itu, yang rnembuatnya berpandangan komunal
dan sektarian, yang mernbelenggu dan membatasi kebebasannya.
Semangat keterbukaan dalam beragama itu sejalan dengan
dimensi keruhanian dan kecintaan llahi sebagaimana dikembangkan oleh sufi
terkenal lbn 'Arabi. Ajaran ini
dikembangkan demi mengkounter paham keagamaan yang formalistik-ritualistik
serta literalisme kosong. Selanjutnya, lbn 'Arabi mengajarkan agar kita
menghayati makna shalat sebagai penyatuan ruh dengan Allah; menghayati zakat
sebagai penyatuan diri dengan kemanusiaan; menghayati haji sebagai penyatuan seseorang
dengan seluruh umat; dan menghayati puasa sebagai media pendekatan diri kepada Allah dan sekaligus membangun empati
kepada mereka yang kelaparan.
Karena itu, puasa Ramadhan tahun ini hendaknya dapat
menumbuhkan semangat al-hanafiyyah al-samhah dalam kehidupan umat Islam
sehingga dapat mengembangkan dimensi sosial Islam untuk mewujudkan pemerataan
distribusi kekayaan kepada mereka yang lapar dan kelompok tertindas. Puasa
harus dapat menghidupkan kembali jiwa kritis Islam demi menemukan solusi terbaik
bagi problem kemanusiaan yang dihadapi masyarakat. Puasa harus dapat
menghidupkan kembali semangat ijtihad yang menurut Muhammad Iqbal merupakan
satu-satunya jalan untuk menyembuhkan Islam dari penyakit yang paling parah,
yaitu taqlid buta. Iqbal menyebut sikap bertaqlid sebagai “membaca Al-Qur’an
dengan penglihatan orang mati.”
Terakhir, semoga puasa kali ini menyadarkan kita tentang
pentingnya mengubah program pengajaran agama sehingga formalisme dan literalisme
keagamaan yang kering dan gersang dapat diakhiri. Puasa harus mampu mengakhiri
mentalitas isolatif, dan membuka diri untuk kerjasama dengan pihak-pihak lain
mana pun dari kalangan umat manusia, dalam semangat perlombaan penuh
persaudaraan, meskipun dengan mereka yang berbeda agama, guna meruntuhkan
sistem-sistem tiranik dan totaliter. Hanya dengan cara itu, Islam
akan tampil memerankan dirinya sebagai faktor kunci yang membawa demokratisasi,
modernisasi dan civilisasi bangsa. Wallahu a`lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar