Senin, 05 Juni 2017

PUASA DALAM AGAMA HUMANISTIK



Siti Musdah Mulia[1]

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoritarian dan agama humanistik. Agama humanistik selalu mengajarkan pada pemeluknya agar memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakini benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.
Sebaliknya, agama otoritarian memandang manusia dengan pandangan negatif, makhluk penuh dosa dan tidak punya pilihan bebas, tak berdaya, tak berarti dan serba-dependen. Manusia hanya bisa pasrah secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi amal utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas diri sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan. Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan pada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung pada pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi atas nama Tuhan dan atas nama agama. Mengerikan!.
Agama humanistik mendorong kepada sikap mencari kebenaran secara tulus dan murni (hanafiyyah, kehanifan). Ini adalah sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan sejati, dan tidak bersifat mengihibur secara semu dan palsu seperti halnya kultus dan fundamentalisme. Nabi menegaskan bahwa sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanafiyyah al-samhah yaitu semangat mencari kebenaran yang lapang, tidak sempit, toleran, bersifat pluralis tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.
Beberapa hadits berikut menjelaskan kecaman Nabi saw. terhadap sahabatnya yang fanatik dan ekstrim dalam kehidupan keagamaan. Diriwayatkan bahwa isteri 'Utsman bin Mazh'un berkunjung ke rumah para isteri Nabi, dan mereka melihat isteri Utsman dalam keadaan mencemaskan. Isteri Nabi bertanya: “Apa yang terjadi dengan dirimu? Tidak ada di kalangan kaum Quraysh orang yang lebih kaya dari suamimu!” Ia menjawab: “Saya dan anak-anak tidak mendapat apa-apa dari dia. Sebab, jika malam dia beribadat, dan siang hari dia berpuasa!” Mereka pun masuk kepada Nabi dan menceritakan hal tersebut. Nabi pun menemui 'Utsman bin Mazh'un, dan bersabda: “Hari 'Utsman! Tidakkah padaku ada contoh bagimu?l” Dia menjawab: “Demi ayah-ibuku, engkau memang demikian.” Lalu Nabi bertanya: Apakah benar engkau berpuasa setiap hari dan beribadat sepanjang malam?” Dia menjawab: “Aku memang melakukannya.” Nabi bersabda: “Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak, dan keluargamu pun punya hak atas engkau! Maka shalat dan  tidurlah, puasa dan makanlah!”
Kemudian diceritakan bahwa 'Utsman bin Mazh'un membeli sebuah rumah, lalu tinggal di dalamnya sepanjang waktu untuk beribadat. Berita itu datang kepada Nabi s.a.w., maka beliau pun datang dan menariknya ke luar rumah sambil bersabda: “Wahai 'Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku dengan ajaran kerahiban.” Nabi mengulang kalimat itu dua atau tiga kali, lalu bersabda:  “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanafiyyah al-samhah semangat pencarian kebenaran yang lapang dan toleran.”
Suatu ketika Nabi s.a.w. mendengar berita bahwa segolongan sahabat menjauhi perempuan dan menghindari makan daging. Maka Nabi pun memberi peringatan keras, dan bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik agama ialah semangat pencarian kebenaran yang lapang dan toleran.”
Nabi selalu menegaskan bahwa beliau tidak diutus untuk mengajarkan kerahiban atau monastisisme, yaitu sikap mengingkari kewajaran atau  hidup dengan cara yang ekstrim dan menganiaya diri sendiri. Mengapa kerahiban dikecam dalam Islam? Sebab, kerahiban dapat berjalan sejajar dan berhimpit dengan kefanatikan, keekstriman, dan sikap-sikap pembelengguan diri orang bersangkutan, dan mungkin tanpa disadarinya. Sikap seperti itu adalah suatu bentuk pengamalan keagamaan yang tidak wajar, tidak alami, dan tidak sejalan dengan fithrah manusia, serta berakibat pengingkaran hak kemanusiaan diri dan orang lain.
Tidak salah jika Eric Fromm, selaku psikoanalis, memandang bahwa kesehatan jiwa tergantung kepada sikap pemihakan kepada kebenaran secara tulus tanpa pembelengguan diri, dan kepada semangat cinta-kasih kepada sesama manusia.Tentu saja hal ini akan sulit dicapai kecuali dalam agama humanistik. Sebab, agama humanistik didasarkan atas kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Sayang. Sifat Maha Kasih dan Maha Sayang (al-Rahman dan ar-Rahim) adalah sifat Kebenaran Mutlak (Tuhan) yang paling banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Dalam banyak hadis, Nabi mengatakan bahwa hendaknya kita mencontoh akhlaq Tuhan Maha Kasih dan Maha Sayang. Jadi cinta kepada Kebenaran adalah juga cinta kepada Yang Maha Cinta, dan ini pada gilirannya membawa kita kepada cinta sesama manusia. Karena itulah, dalam hadits di atas, Nabi s.a.w. menegur 'Utsma bin Mazh'un karena telah menelantarkan bukan saja dirinya, melainkan juga keluarganya. Logikanya, jika seseorang memang mempunyai hubungan cinta kepada Tuhan (hablun minallah), maka seharusnya dia juga mempunyai hubungan cinta kepada sesama manusia (hablun minannas) dua nilai hidup yang bakal menjamin keselamatan manusia, dunia-akhirat.
Kita harus memiliki pandangan yang positif dan konstruktif kepada sesama manusia. Pandangan positif seperti ini hanya ada dalam agama humanistik, bukan pada agama otoritarian yang selalu melihat manusia itu penuh dosa dan memandang Tuhan sebagai Maha Penyiksa. Islam mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (Q.S. al-Tiin, 95:4), sebab manusia diciptakan dalam fithrah atau kejadian asal yang suci-bersih. Kejahatan pada manusia, yaitu keadaan menyimpang dari fithrahnya yang suci-bersih, harus dipandang sebagai sesuatu yang datang dari luar, khususnya dari pengaruh lingkungan budaya. Karena itu Nabi melukiskan bahwa setiap anak lahir dalam kesucian fithrahnya, dan kedua orang tuanyalah yang menbuatnya menyimpang dari fithrah itu, yang rnembuatnya berpandangan komunal dan sektarian, yang mernbelenggu dan membatasi kebebasannya.
Semangat keterbukaan dalam beragama itu sejalan dengan dimensi keruhanian dan kecintaan llahi sebagaimana dikembangkan oleh sufi terkenal  lbn 'Arabi. Ajaran ini dikembangkan demi mengkounter paham keagamaan yang formalistik-ritualistik serta literalisme kosong. Selanjutnya, lbn 'Arabi mengajarkan agar kita menghayati makna shalat sebagai penyatuan ruh dengan Allah; menghayati zakat sebagai penyatuan diri dengan kemanusiaan; menghayati haji sebagai penyatuan seseorang dengan seluruh umat; dan menghayati puasa sebagai media pendekatan diri  kepada Allah dan sekaligus membangun empati kepada mereka yang  kelaparan.
Karena itu, puasa Ramadhan tahun ini hendaknya dapat menumbuhkan semangat al-hanafiyyah al-samhah dalam kehidupan umat Islam sehingga dapat mengembangkan dimensi sosial Islam untuk mewujudkan pemerataan distribusi kekayaan kepada mereka yang lapar dan kelompok tertindas. Puasa harus dapat menghidupkan kembali jiwa kritis Islam demi menemukan solusi terbaik bagi problem kemanusiaan yang dihadapi masyarakat. Puasa harus dapat menghidupkan kembali semangat ijtihad yang menurut Muhammad Iqbal merupakan satu-satunya jalan untuk menyembuhkan Islam dari penyakit yang paling parah, yaitu taqlid buta. Iqbal menyebut sikap bertaqlid sebagai “membaca Al-Qur’an dengan penglihatan orang mati.”
Terakhir, semoga puasa kali ini menyadarkan kita tentang pentingnya mengubah program pengajaran agama sehingga formalisme dan literalisme keagamaan yang kering dan gersang dapat diakhiri. Puasa harus mampu mengakhiri mentalitas isolatif, dan membuka diri untuk kerjasama dengan pihak-pihak lain mana pun dari kalangan umat manusia, dalam semangat perlombaan penuh persaudaraan, meskipun dengan mereka yang berbeda agama, guna meruntuhkan sistem-sistem tiranik dan totaliter. Hanya dengan cara itu, Islam akan tampil memerankan dirinya sebagai faktor kunci yang membawa demokratisasi, modernisasi dan civilisasi bangsa. Wallahu a`lam bi al-shawab.




[1] Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar