Puasa
dan Perempuan
Al-Qur’an
menginformasikan bahwa selain puasa Ramadhan, ada bentuk puasa lain, yaitu
puasa bicara. Uniknya, puasa bicara ini hanya ditujukan kepada seorang
perempuan bernama Maryam. Dia bukan perempuan biasa, melainkan perempuan tegar
dan perkasa. Ibu dari seorang nabi agung,
Isa alaihissalam. Bukan hanya itu, Al-Qur’an mengabadikan namanya dalam
satu surah bernama Surah Maryam, dan dalam surah itu dia juga dilukiskan sebagai
manusia suci. Tatkala dia difitnah karena melahirkan anak tanpa ayah, Allah
menyuruh dia puasa. (Q.S. Maryam, 19:26). Bagi orang yang pernah mencoba
ibadah unik ini mengatakan bahwa puasa bicara jauh lebih sulit ketimbang puasa
biasa. Menahan diri dari berbicara ternyata jauh lebih berat dari menahan makan
dan minum.
Puasa
Maryam dalam bentuk menahan diri tidak
berbicara sepatah kata pun. Maryam dilarang menjelaskan apa pun, dan Allah swt.
kemudian memberi mukjizat pada Isa a.s. yang masih bayi untuk menjelaskan
sendiri identitasnya. Dia mengatakan: ”sesungguhnya aku adalah utusan Tuhan, nabi
pembawa kabar gaembira”. Kelahirannya berbeda dengan manusia biasa, yakni tidak
membutuhkan kehadiran laki-laki (Q.S. Maryam, 19:23-36).
Ayat-ayat
tentang Maryam seharusnya memberi inspirasi bagi pengakuan terhadap keunggulan
kemanusiaan perempuan, sekaligus kemuliaan seorang ibu. Perempuan ternyata
dapat menjadi ibu tanpa bantuan laki-laki. Sebaliknya, dalam sejarah kemanusiaan belum dijumpai satu pun laki-laki
dapat menjadi ayah atau punya anak tanpa bantuan perempuan (mungkin nanti
dengan teknik kloning?). Bahkan, kenyataan ini seharusnya menyadarkan manusia tentang pentingnya organ reproduksi
perempuan, terutama organ rahim. Bukankah istilah silaturrahim,
salah satu ajaran inti dalam Islam, berasal dari akar kata rahim? Itu artinya
betapa penting hubungan kasih sayang di antara manusia, kasih sayang yang
dipertautkan oleh rahim ibu.
Namun, realitas sosiologis di masyarakat
menunjukkan bahwa hak-hak perempuan berkaitan dengan fungsi rahim atau populer
dengan istilah hak dan kesehatan reproduksi masih kurang mendapatkan apresiasi
yang layak. Buktinya? Lihat data
nasional tentang angka kematian ibu melahirkan (AKI) yang sungguh memprihatinkan.
Ironisnya, itu terdapat di negeri yang penduduknya diklaim sangat religius. Indonesia menduduki ranking
terburuk di ASEAN untuk kematian ibu melahirkan. Secara nasional tercatat
sebanyak 324 per 100.000 kelahiran hidup. Artinya, setiap 30 menit, ibu
meninggal. Setahun tercatat rata-rata 15.000 ibu meninggal karena melahirkan.
Jika dibandingkan dengan bencana Tsunami di Aceh, sesunggguhnya kondisi ini merupakan
bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat. Hanya karena para ibu yang meninggal
itu tidak bersamaan waktu dan lokasinya sehingga jenazah mereka tidak terkapar
berjejeran seperti korban Aceh. Tidak menyentak
media pers, dan lalu kita semua abai dengan bencana ini. Pertanyaan
muncul, mengapa Angka Kematian Ibu begitu tinggi di negeri yang mayoritas
penduduknya mengaku Islam? Bukankan Islam adalah agama yang paling vokal bicara
tentang pentingnya pemuliaan terhadap kaum ibu? Sorga terletak di telapak kaki
ibu, demikian ajaran yang selalu didengungkan.
Sejumlah
penelitian mengungkapkan faktor penyebab AKI adalah ketidakpedulian pemerintah
terhadap pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan; hukum dan kebijakan yang
tidak berpihak kepada kelompok rentan, kemiskinan; kebodohan; kekerasan dalam
rumah tangga akibat relasi kuasa yang timpang
antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga; serta masih kuatnya
interpretasi agama yang bias jender dan tidak ramah perempuan.
Hak
Kesehatan Reproduksi Perempuan
Hak reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi,
baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Al-Ghazali, ulama besar abad ke-12,
menulis dalam bukunya ihya` `Ulumuddin: di antara kewajiban negara
memberikan jaminan bagi terpenuhinya lima hak dasar manusia, yaitu: hak hidup;
hak kebebasan berkeyakinan; hak kebebasan beropini; hak properti; dan hak reproduksi.
Menarik dicatat bahwa perbincangan tentang hak-hak reproduksi di tingkat
internasional pertama kali digelar di Kairo tahun 1994. Salah satu alasan
mengapa konferensi diadakan di Kairo adalah meluasnya kecenderungan di
negara-negara Islam terhadap pengingkaran hak-hak reproduksi perempuan.
Dokumen Kairo menyatakan: “Hak dan kesehatan reproduksi merupakan bagian
dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara. Hak-hak reproduksi berlandaskan
pada pengakuan terhadap hak asasi tiap pasangan dan individu untuk secara bebas
dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anak; hak memperoleh
informasi tentang kesehatan reproduksi; serta hak menikmati kesehatan
reproduksi yang optimal. Suami-isteri secara setara berhak mengambil keputusan
tentang reproduksinya yang bebas dari segala bentuk diskriminasi, pemaksaan
atau kekerasan. Perhatian penuh harus diberikan demi meningkatkan sikap saling
menghormati secara setara dalam relasi laki dan perempuan, khususnya dalam
memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelayanan untuk remaja sehingga mereka mampu
mengatasi masalah seksual secara positif dan bertanggung jawab”. Setiap perempuan mempunyai hak terbebas dari
resiko kematian karena kehamilan dan melahirkan. Termasuk juga hak memilih bentuk
keluarga, dan hak merencanakan keluarga. Mencakup pula hak mendapatkan
pelayanan dan perlindungan kesehatan, termasuk hak atas informasi,
keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, harga diri, kenyamanan, dan
kesinambungan pelayanan kesehatan, serta hak atas kesetaraan, dan bebas dari
segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan keluarga.
Puasa sebagai bentuk mekanisme pengendalian diri, termasuk pengendalian
terhadap organ-organ reproduksi, seharusnya mampu membuat pelakunya peduli dan berempati
terhadap bencana kemanusiaan berkaitan dengan AKI yang sangat tinggi. Puasa
hendaknya membuat umat Islam semakin sensitif pada problem-problem kemanusiaan
yang nyata dalam masyarakat. Puasa hendaknya menjadi mekanisme pengendalian diri
yang efektif bagi kedua pasangan, suami-isteri untuk memastikan tidak ada lagi
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam
kehidupan keluarga. Melalui ibadah puasa, kita berharap para pengambil
kebijakan segera mengeluarkan aturan-aturan yang memihak kepada pemenuhan hak kesehatan
reproduksi perempuan. Puasa hendaknya sungguh-sungguh membuat kita semua
menjadi hamba yang bertakwa (QS. al-Baqarah, 2:183). Hamba yang bertakwa
adalah manusia yang peduli dan berempati pada penderitaan sesama, khususnya
derita para ibu; dan ikut aktif mencari solusi terhadap problem kemanusiaan di
sekitarnya. Selamat berpuasa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar