Sabtu, 10 Juni 2017

HIKMAH PUASA: MENGELIMINASI PERILAKU KEKERASAN


Islam diyakini sebagai agama yang menebarkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Ajarannya mengandung  nilai-nilai universal yang meliputi semua aspek kehidupan manusia. Islam amat menonjolkan prinsip kesetaraan dan kesederajatan manusia. Seluruh ajarannya mengedepankan persamaan nilai dan derajat kemanusiaan (Q.S. al-Hujurat, 49:13). Kalaupun dalam realitas, terlihat ada perbedaan di antara manusia, perbedaan itu tentu tidaklah dimaksudkan untuk saling menindas, menyakiti dan memusuhi.
Perbedaan adalah sunnatullah untuk tujuan luhur dan ideal, yaitu saling mengenal agar timbul saling pengertian (mutual understanding), dan sekaligus menjadi ajang kompetisi berbuat amal kebajikan menuju takwa. Manusia hanya dibedakan dari aspek prestasi dan kualitas takwanya dan bicara soal takwa, hanya Allah semata berhak menilai, bukan manusia. Manusia cukup berfastabiqul khairat, berlomba berbuat amal sebanyak mungkin), lalu berpasrah sepenuhnya kepada Sang Penilai Yang Maha Adil.
Demikian ajaran yang termaktub dalam teks-teks suci ajaran Islam. Namun, ketika ajaran luhur itu turun ke bumi dan diimplementasikan dalam kehidupan manusia, terjadilah distorsi, baik sengaja atau tidak. Sebagian manusia mendapatkan perlakuan tidak sama, diskriminasi, dan bahkan mengalami kekerasan atas nama agama karena perbedaan tafsir, pemahaman agama, perbedaan aliran, dan seterusnya.
Ajaran Islam, seperti termuat dalam Al-Qur’an, sarat dengan nilai-nilai yang dapat dikembangkan sebagai basis kerukunan dan toleransi. Mari simak ayat berikut: Jika Tuhanmu menghendaki tentunya semua manusia yang ada di muka bumi akan beriman. Lalu apakah kamu berkeinginan memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri untuk beriman? (Yunus, 10:99). Ayat ini menyadarkan Nabi Muhammad saw, betapa beliau sendiri tidak berpretensi memaksa manusia untuk menerima dan mengamalkan ajaran Islam. Ayat itu jelas mengecam perilaku kekerasan, termasuk kekerasan berbasis agama, apa pun alasannya.
Akhirnya, apa yang harus dilakukan? Paling tidak ada tiga hal: Pertama, perlu upaya-upaya konkret membangun budaya toleran dan budaya damai melalui jalur pendidikan dalam arti seluas-luasnya, terutama pendidikan dalam keluarga. Namun, juga penting dalam lembaga pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal di masyarakat. Tujuannya, mengubah masyarakat; dari berbudaya eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai dan bersikap pluralis. Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya situasi damai dan saling menghargai di antara sesama warga. Ketiga, reinterpretasi ajaran agama sehingga yang tersosialisasi di masyarakat hanyalah interpretasi agama yang mengedepankan kedamaian dan toleransi, membebaskan manusia dari  belenggu kebencian dan kekerasan.
Dalam konteks melakukan tiga hal inilah puasa menjadi sangat signifikan. Membiasakan puasa dalam kehidupan keluarga akan mengeliminasi rasa permusuhan dan kebencian, sebaliknya memupuk rasa cinta dan kasih sayang di antara anggota keluarga. Puasa akan membuat para pengambil kebijakan merumuskan peraturan yang bermanfat bagi semua tanpa diskriminasi sedikit pun. Puasa yang hakiki akan menuntun para pemuka agama menyuarakan interpretasi agama yang damai dan sejuk, serta akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Puasa hakikatnya adalah sebuah mekanisme kontrol diri agar manusia lebih mengedepankan sisi kemanusiannya yang penuh rasa empati, peduli, toleran, dan kasih sayang kepada sesama manusia dan semua mahkluk dalam kehidupan sehari-hari.  Wa Allah a'lam bi as-shawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar