Islam diyakini
sebagai agama yang menebarkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Ajarannya mengandung nilai-nilai
universal yang meliputi semua aspek kehidupan manusia. Islam amat menonjolkan
prinsip kesetaraan dan kesederajatan manusia. Seluruh ajarannya mengedepankan
persamaan nilai dan derajat kemanusiaan (Q.S. al-Hujurat, 49:13). Kalaupun
dalam realitas, terlihat ada perbedaan di antara manusia, perbedaan itu tentu tidaklah
dimaksudkan untuk saling menindas, menyakiti dan memusuhi.
Perbedaan adalah sunnatullah
untuk tujuan luhur dan ideal, yaitu saling mengenal agar timbul saling
pengertian (mutual understanding), dan sekaligus menjadi ajang kompetisi
berbuat amal kebajikan menuju takwa. Manusia hanya dibedakan dari aspek
prestasi dan kualitas takwanya dan bicara soal takwa, hanya Allah semata berhak
menilai, bukan manusia. Manusia cukup berfastabiqul khairat, berlomba
berbuat amal sebanyak mungkin), lalu berpasrah sepenuhnya kepada Sang Penilai
Yang Maha Adil.
Demikian ajaran yang
termaktub dalam teks-teks suci ajaran Islam. Namun, ketika ajaran luhur itu
turun ke bumi dan diimplementasikan dalam kehidupan manusia, terjadilah
distorsi, baik sengaja atau tidak. Sebagian manusia mendapatkan perlakuan tidak
sama, diskriminasi, dan bahkan mengalami kekerasan atas nama agama karena
perbedaan tafsir, pemahaman agama, perbedaan aliran, dan seterusnya.
Ajaran Islam, seperti
termuat dalam Al-Qur’an, sarat dengan nilai-nilai yang dapat dikembangkan
sebagai basis kerukunan dan toleransi. Mari simak ayat berikut: Jika
Tuhanmu menghendaki tentunya semua manusia yang ada di muka bumi akan beriman.
Lalu apakah kamu berkeinginan memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri
untuk beriman? (Yunus, 10:99). Ayat ini menyadarkan Nabi Muhammad
saw, betapa beliau sendiri tidak berpretensi memaksa manusia untuk menerima dan
mengamalkan ajaran Islam. Ayat itu jelas mengecam perilaku kekerasan, termasuk
kekerasan berbasis agama, apa pun alasannya.
Akhirnya, apa yang harus
dilakukan? Paling tidak ada tiga hal: Pertama, perlu upaya-upaya konkret membangun budaya toleran dan budaya damai melalui jalur pendidikan dalam
arti seluas-luasnya, terutama pendidikan dalam keluarga. Namun, juga penting
dalam lembaga pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal di
masyarakat. Tujuannya, mengubah masyarakat; dari berbudaya eksklusif,
intoleran, dan senang kekerasan menuju budaya inklusif, toleran, cinta damai
dan bersikap pluralis. Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan
yang tidak kondusif bagi terwujudnya situasi damai dan saling
menghargai di antara sesama warga. Ketiga, reinterpretasi ajaran agama sehingga
yang tersosialisasi di masyarakat hanyalah interpretasi agama yang mengedepankan
kedamaian dan toleransi, membebaskan manusia dari belenggu kebencian dan kekerasan.
Dalam konteks melakukan
tiga hal inilah puasa menjadi sangat signifikan. Membiasakan puasa dalam
kehidupan keluarga akan mengeliminasi rasa permusuhan dan kebencian, sebaliknya
memupuk rasa cinta dan kasih sayang di antara anggota keluarga. Puasa akan
membuat para pengambil kebijakan merumuskan peraturan yang bermanfat bagi semua
tanpa diskriminasi sedikit pun. Puasa yang hakiki akan menuntun para pemuka
agama menyuarakan interpretasi agama yang damai dan sejuk, serta akomodatif
terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Puasa hakikatnya adalah
sebuah mekanisme kontrol diri agar manusia lebih mengedepankan sisi
kemanusiannya yang penuh rasa empati, peduli, toleran, dan kasih sayang kepada
sesama manusia dan semua mahkluk dalam kehidupan sehari-hari. Wa Allah a'lam bi as-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar