Dakwah
pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengubah seseorang, sekelompok orang,
atau suatu masyarakat menuju kepada kondisi atau keadaan yang lebih baik sesuai
dengan perintah Allah swt. dan tuntunan Rasul-Nya. Dalam konteks Indonesia,
dakwah dimaksudkan untuk mengubah posisi, situasi, dan kondisi umat Islam
Indonesia yang timpang menuju keadaan yang lebih baik sesuai dengan tuntunan
Allah dan rasul-Nya.
Dengan
demikian, esensi dakwah adalah mengubah segala bentuk penyembahan kepada selain
Allah kepada keyakinan tauhid, mengubah semua jenis kondisi kehidupan yang
timpang ke arah kondisi kehidupan yang penuh dengan ketenangan batin dan
kesejahteraan lahir berdasarkan nilai-nilai islami. Tentu saja, usaha itu hanya
dapat terwujud manakala didukung oleh rencana yang terpadu dan adanya persiapan
yang matang.
Perintah
untuk mengubah kondisi yang timpang di masyarakat secara tegas dinyatakan dalam
sabda Nabi saw: "Siapa pun yang melihat kemungkaran (ketimpangan), maka
ia berkewajiban meluruskannya dengan tindakan, ucapan, dan paling tidak dengan
hatinya. Upaya yang terakhir itu adalah gambaran selemah-lemahnya iman
seseorang" (HR. Muslim).
Meskipun setiap orang diminta untuk
melakukan dakwah melalui tiga cara tadi, yakni tindakan, ucapan, dan doa, namun
jangan lupa semua upaya tersebut harus dilakukan tetap dengan cara-cara yang
bijaksana, tidak memaksa dan yang pasti tidak menimbulkan rasa tidak nyaman
bagi orang lain yang menjadi sasaran dakwah itu, seperti terbaca dalam ayat
berikut: "Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari Jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk" (an-Nahl, 16:125).
Dengan ungkapan lain, dakwah apapun
bentuknya hendaknya selalu dilakukan dengan cara-cara damai dan simpatik, bukan
dengan cara-cara kekerasan, intimidasi, diskriminasi, dan eksploitasi. Di
sinilah sesungguhnya esensi Islam yang hakiki, yaitu agama yang cinta damai dan
berpihak kepada kedamaian. Bukankah Islam itu sendiri berasal dari kata salam
yang esensinya menunjukkan kepada makna damai?
Ayat di atas menyerukan kepada setiap
muslim, agar melakukan dakwah, mengajak, dan menyeru manusia ke "jalan
Allah", yaitu dienul Islam melalui cara yang arif dan bijak,
pelajaran dan contoh teladan yang baik, serta dialog atau diskusi yang baik
pula. Kata hikmah mengandung pengertian yang sangat luas, di antaranya
dapat diartikan bahwa dakwah itu harus kontekstual, disesuaikan dengan
kebutuhan sasaran, atau dengan memperhatikan situasi sasaran. Nabi merupakan
contoh bagi pelaksanaan dakwah yang kontekstual, misalnya ketika ditanyakan
kepada beliau tentang amal apakah yang paling afdal? Ternyata jawaban Nabi
sangat bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan situasi orang yang bertanya.
Walaupun terdapat ayat yeng menyuruh
setiap orang untuk melakukan dakwah, namun realitas yang ada menunjukkan bahwa
lebih efektif jika dakwah tersebut dilakukan oleh sekelompok orang yang memang
terlatih atau terdidik untuk tujuan mulia tersebut. Artinya, perlu membentuk
organisasi dakwah yang di dalamnya terhimpun individu-individu yang memiliki komitmen
dan profesionalitas untuk melaksanakan dakwah sehingga kegiatan dakwah dalam
masyarakat dapat berjalan lebih efektif.
Kewajiban membentuk organisasi dakwah
tersebut berasal dari pemahaman terhadap perintah Allah dalam Q.S. Ali Imran,
3:104: "Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang mungkar,
merekalah orang-orang yang beruntun."
Kandungan ayat tersebut mengisyaratkan dua hal. Pertama,
perlunya ada sekelompok umat yang bertanggung jawab dalam upaya amar ma`ruf
nahi mungkar atau menekuni profesi dakwah. Hal itu dimaksudkan agar
pelaksanaan dakwah diorganisasikan sedemikian rupa untuk melanjutkan estafet
perjuangan Nabi saw. dalam rangka menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru
dunia dan kepada semua umat manusia sampai akhir zaman. Kedua, perlunya upaya amar ma`ruf nahi mungkar itu
dilakukan secara berkesinambungan sambil melakukan pembenahan yang terus
menerus sehingga term amar ma`ruf nahi mungkar tidak menjadi slogan
tanpa arti.
Dari
uraian di atas, nampak bahwa makna dakwah senantiasa terkait dengan konteks
atau setting sosial tertentu. Hal ini sejalan dengan fakta historis
bahwa sepanjang sejarahnya, agama Islam disampaikan dengan berbagai pendekatan
yang sangat lentur dan sangat kondisional. Mulai dari cara sembunyi-sembunyi
sampai dengan cara yang sangat terbuka dan transparan. Mulai dari pendekatan
yang penuh bijaksana sampai pada pengerahan angkatan perang jika kondisi
menghendaki demikian.
Dakwah Melalui
Media Massa
Berikut
ini penulis akan coba memaparkan secara sekilas tentang kegiatan dakwah di
media massa, khususnya media elektronik. Penulis akan membagi pemaparan
tersebut ke dalam lima perspektif, yaitu dari segi metode, proses, pelaku,
materi, sasaran, dan tujuan.
Dakwah di berbagai media, baik cetak
maupun elektronik selama ini terkesan
sebagai suatu proses penyampaian informasi satu arah (one way traffic)
yang dikemas dalam bentuk ceramah atau pidato yang dilakukan oleh kalangan
tertentu yang sering disebut da`i atau muballigh (da`iyah/muballighat).
Menghadapi berbagai kondisi tersebut,
sudah saatnya dakwah bil lisan
dalam bentuk ceramah dan pidato dimodifikasi ke dalam bentuk aksi yang konkret
sehingga dapat memberikan solusi bagi pelbagai problema yang dihadapi umat. Dengan
kata lain, proses dakwah yang diperlukan adalah dakwah bil hal.
Dakwah
bil hal adalah dakwah dalam bentuk amal konkret, kerja nyata,
dan upaya-upaya positif yang dilakukan untuk mengubah kondisi umat menuju
kondisi yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengertian tersebut dakwah
mencakup pengertian yang amat luas seluas segi kehidupan manusia itu sendiri.
Artinya, dakwah dalam pengertian
tersebut mencakup upaya-upaya sebagai berikut: pemberantasan buta huruf, baik
huruf Latin maupun Arab, peningkatan
pendidikan rakyat, mengasuh anak-anak yatim dan anak-anak terlantar, memberi
santunan pada para manula, pengentasan kemiskinan, peningkatan pendapatan
ekonomi keluarga, upaya mengurangi pengangguran,
upaya memperbaiki lingkungan hidup, memerangi dan mencegah meluasnya bahaya
narkotika dan obat-obat terlarang, memerangi dan mencegah merebaknya virus
HIV/AIDS dan berbagai penyakit menular seksual lainnnya.
Pada umumnya pelaku dakwah di media
massa adalah mereka yang sehari-hari
memang dikenal sebagai ustaz atau ustazah atau orang-orang yang sehari-harinya
berkecimpung dalam kegiatan dakwah di majelis-majelis taklim. Ada semacam
anggapan yang melekat di masyarakat bahwa tugas dakwah itu hanyalah semata-mata
menjadi tangung jawab para ustaz/ustazah, bukan tanggung jawab mereka yang
tidak berkecimpung di sekitar majelis taklim.
Adanya anggapan bahwa tugas dakwah
itu monopoli para ustaz atau ustazah, menimbulkan perasaan masa bodoh atau
sikap permisif di kalangan umat manakala mereka melihat tindakan kemungkaran
atau tindakan despotis di masyarakat. Padahal, setiap Muslim dihimbau untuk amar
makruf nahi mungkar; menegakkan kebenaran dan menghapuskan ketimpangan di
mana saja dan kapan saja ia menemukannya. Kalau bisa ia lakukan dengan
bertindak, kalau tidak cukup dengan ucapan, dan paling tidak ia harus berdoa
agar kebenaran dapat ditegakkan dan kemungkaran harus dilenyapkan dari
kehidupan masyarakat.
Sesungguhnya dakwah itu dapat
digolongkan ke dalam dua bagian, dakwah secara individual, dakwah secara
organisatoris. Dakwah jenis pertama adalah tugas setiap Muslim yang
dewasa dan sehat akal dan jasmaninya. Diharapkan setiap Muslim apa pun posisi
mereka dapat turut mengambil bagian dari kesuksesan dakwah.
Seorang
suami wajib berdakwah dalam keluarganya, seorang isteri harus memberikan dakwah
bagi lingkungan keluarganya, bahkan setiap orang harus menjadi da'i (pelaku
dakwah) sekurang-kurangnya atas dirinya sendiri. Jadi, dakwah merupakan
tanggung jawab bersama umat Islam. Sukses tidaknya dakwah Islamiyah sepenuhnya
terpulang kepada keseriusan umat Islam melakukan dakwah.
Dakwah
jenis kedua, yakni secara organisatoris hendaknya dijalankan dengan manajemen
yang rapi oleh mereka yang sehari-harinya sudah berkecimpung di dunia dakwah,
seperti para ustaz/ustazah, guru-guru agama dan sebagainya. Selain itu, perlu
ada kelapangan dada di kalangan para da`i/da`iyah untuk memberikan ruang pada
mereka yang sehari-harinya tidak berprofesi sebagai da`i/da`iyah untuk
memberikan kontribusi mereka dalam mensukseskan kegiatan dakwah Islamiyah
dengan cara yang mereka pilih sendiri.
Materi
dakwah lebih banyak mengulas tentang peribadatan sehingga terkesan seolah-olah
Islam itu hanya mengandung aspek ibadah, padahal ajaran Islam meliputi seluruh
aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya aspek hukum, teologi, tasawuf,
filsafat, politik, ekonomi, dan seterusnya.
Aspek
ibadah yang sering diulas di media massa juga terbatas pada ibadah mahdah
(ibadah yang telah ditentukan tatacara dan waktunya), seperti salat, puasa,
zakat dan haji. Ibadah itu pada hakikatnya adalah segala perilaku dan tindakan
seseorang yang dilakukan dengan niat mencari ridha Allah semata. Jadi, ibadah
itu meliputi seluruh aspek kehidupan manusia; mulai dari memberikan senyum yang
tulus sampai membuang duri di jalan termasuk ibadah.
Materi
ibadah hendaknya menyentuh hal-hal yang sedang dihadapi masyarakat pada
masanya, misalnya dewasa ini masyarakat kita sedang dihadapkan pada masalah
krisis ekonomi dan krisis politik. Dakwah hendaknya memberikan pesan-pesan
keagamaan yang isinya memuat solusi terhadap pelbagai masalah yang dihadapi
masyarakat.
Selain
itu, ada kecenderungan para da`i/da`iyah di dalam menyampaikan dakwahnya lebih
mementingkan aspek verbalnya, padahal dewasa ini umat Islam telah semakin
kritis sehingga mereka perlu diberikan bukti-bukti konkret dari penjelasan
keagamaan yang diberikan.
Ada
kesan kuat bahwa dakwah yang disampaikan melalui media massa, cetak dan
elektronik lebih banyak dikemas untuk orang dewasa, sedikit sekali atau bahkan
tidak ada yang sengaja diperuntukkan bagi remaja dan anak-anak. Selain itu, ada
pula kesan seolah-olah sasaran yang dituju dalam berdakwah itu adalah para ibu
yang sudah lanjut usia, ibu-ibu yang tidak berpendidikan. Sepertinya ada
anggapan bahwa sasaran dakwah adalah orang-orang bodoh yang tidak banyak tahu
mengenai ajaran Islam sehingga ada kesan menggurui. Sebenarnya tidak salah
anggapan seperti itu, hanya saja memperlakukan sasaran dakwah sebagai botol
kosong merupakan kesalahan yang amat fatal.
Agar
dakwah di media massa ini lebih efektif, hendaknya masyarakat yang menjadi
sasaran dakwah ditempatkan sebagai subyek, bukan melulu sebagai obyek. Dalam
kaitan ini kaum ulama, umara, dan para intelektual Muslim perlu menggalang
suatu jaringan kerja (net working) dan menempatkan diri mereka sebagai
fasilitator pengembangan masyarakat yang partisipatif.
Dengan
menempatkan diri sebagai fasilitator, memungkinkan masyarakat yang diberi
dakwah berani mengemukakan pendapat dan pikiran mereka, memahami keadaan dan
permasalahan yang dihadapi, untuk selanjutnya dapat merencanakan dan
melaksanakan kegiatan yang dipilih untuk memecahkan masalah mereka dan akhirnya
mengevaluasi sendiri hasil yang mereka dicapai.
Dengan
kata lain, diharapkan bahwa hubungan antara da`i dan masyarakat yang diberi
dakwah bersifat kemitraan, bukan hubungan ketergantungan. Selanjutnya, dari
hubungan kemitraan itu tumbuh masyarakat yang dapat berpikir kritis terhadap
diri dan lingkungannya sehingga mampu mencari solusi bagi setiap problema yang
dihadapinya.
Sejauh
ini tujuan dakwah lebih ditekankan sekedar kepada upaya penyampaian informasi
atau pesan-pesan keagamaan kepada masyarakat. Tidak heran, kalau kriteria
keberhasilan dakwah hanya sebatas sampainya informasi dan pesan-pesan tersebut
di masyarakat, bukan pada bagaimana pesan-pesan itu diterima dan dilaksanakan
secara sadar oleh masyarakat sehingga terjadi transformasi ke arah kehidupan
yang lebih baik. Kegiatan dakwah selanjutnya hanya dianggap sebagai wadah
tempat berkumpul yang sifatnya rutin.
Bahkan,
yang lebih memprihatinkan lagi adanya kecenderungan melihat dakwah sekedar sebagai suatu bentuk hiburan
(entertainment) guna memuaskan hati atau
menghibur masyarakat pendengarnya. Dakwah diadakan agar supaya
masyarakat tertarik untuk mendatangi suatu perhelatan dan di tempat itu mereka
akan terhibur oleh retorika yang indah,
puisi yang menghanyutkan, ilustrasi yang lucu yang kemudian diselingi dengan
musik, banyolan yang agak porno, dan sebagainya, padahal, sukses tidaknya suatu
dakwah bukanlah diukur melalui gelak tawa atau tepuk riuh pendengarnya.
Seharusnya,
sukses suatu dakwah dilihat dari bekas atau kesan yang ditinggalkan dalam jiwa
pendengarnya yang kemudian terpantul pada perilaku mereka sehari-hari, baik
dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bersama di masyarakat. Dakwah
harus mampu melahirkan perubahan perilaku masyarakat ke arah perilaku bermoral
(akhlak karimah). Misalnya, tidak buang sampah sembarangan, tidak
korupsi, tidak ngebut di jalan, tidak mengganggu keamanan masyarakat, serta
tidak menyakiti sesama.
Demikianlah
sekilas potret kegiatan dakwah di media massa. Fenomena yang digambarkan di
atas membenarkan prediksi sejumlah pakar bahwa dakwah Islam perlu dibenahi agar ajaran Islam dapat
berjalan seiring dengan kemajuan zaman sehingga betul-betul menjadi rahmatan
lil alamin (rahmat bagi alam semesta). Dengan kata lain, dakwah perlu
dilakukan secara kontekstual, dengan mempertimbangkan kebutuhan pokok masyarakat
sasaran, serta menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi yang dihadapi
masyarakat tersebut.
Umat
Islam hendaknya memahami bahwa Al-Qur`an sebagai pedoman hidup mengandung
seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan prinsip-prinsip dasar bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Melalui dakwah, para
da`i/da`iyah dituntut untuk mampu menegakkan nilai-nilai universal Islam,
seperti musyawarah (asy-syura), keadilan (al-`adl), persaudaraan
(al-ukhuwah), persamaan (al-musawat), kebebasan (al-hurriyyah),
dan tanggung jawab (al-amanah) dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial di masyarakat.
Dakwah
harus mampu menggugah kesadaran umat Islam sehingga mereka dapat tampil sebagai
umat yang berkualitas. Hal ini dapat
dilakukan melalui upaya-upaya berikut: 1) meningkatkan keimanan umat sehingga
tegar menghadapi segala bentuk pengaruh negatif dari kemajuan iptek dan
paham-paham yang membahayakan negara, bangsa, dan agama; 2) meningkatkan kemampuan
ekonomi umat melalui dorongan kerja keras dan menyadarkan mereka bahwa Islam
mewajibkan kita untuk meraih hari esok yang lebih baik; dan 3) meningkatkan
pembinaan akhlak umat, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan
perkembangan teknologi yang semakin canggih, khususnya di bidang informatika
dewasa ini, tidak ada pilihan lain kecuali memanfaatkan media massa, baik cetak
maupun elektronik seefektif mungkin untuk kegiatan dakwah. Untuk itu, program-program
dakwah, khususnya melalui media massa
perlu dikemas lebih baik dan lebih berkualitas agar tujuan dakwah, yaitu
mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai tuntunan Allah dan
Rasul-Nya, dapat tercapai.
Media
Massa dapat dijadikan wahana yang sangat
strategis dalam mengubah posisi dan kedudukan umat Islam Indonesia ke arah yang
lebih menguntungkan di masa depan dalam rangka menegakkan kalimah Allah menuju
terwujudnya masyarakat yang berkeadaban (baldatun thayyibah wa rabbun ghafur).
Tinggal bagaimana umat
Islam mengantisipasi peluang emas yang ada di hadapan mereka. Wa Allah a`lam
bi al-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar