Kata
AS-SAKINAH berasal dari kosa kata bahasa Arab dan sudah menjadi kosa kata baku
dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “sakinah”. Ditinjau dari segi kebahasaan,
kata “as-sakinah” adalah bentuk kata nomina (kata benda) yang berakar
dari kata kerja sakana (bentuk lampau) dan yaskunu (bentuk
sekarang/kini).
Kata
kerja “sakana/yaskunu” diartikan sebagai “menjadi tenang, menjadi
senang, dan menjadi bahagia”, sedangkan kata “as-sakinah” diartikan
sebagai “ketenangan, kesenangan, dan kebahagiaan”. Di samping kata “as-sakinah”
kata-kata lain yang muncul dari kata “skana-yaskunu” adalah kata “sakin”,
dan “maskan”. Kata “sakin” berarti “orang yang tenang, senang,
dan bahagia”, sedangkan kata “maskan” berarti “tempat tinggal atau tempat
yang menyenangkan.”
Penggunaan
kata “sakinah” dalam bahasa Indonesia ternyata tidak salah kafrah dan tidak
terjadi perbedaan makna dengan makna asal dari kata itu yang terdapat dalam
bahasa Arab. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan makna kata itu dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang mengartikan kata “sakinah” sebagai “kedamaian,
kententraman, ketenangan, dan kebahagiaan”. Penggunaan kata “sakinah” dalam
bahasa Indonesia sangat populer dalam pergaulan sehari-hari dan tidak kalah
pentingnya dengan penggunaan kata-kata lain yang berasal dari bahasa Indonesia
sendiri. Kata ini selalu digunakan dan nyaris tidak akan pernah luput ketika
upacara pernikahan berlangsung, seperti ungkapan yang berbunyi: “Semoga kedua
mempelai mendapatkan kehidupan sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
Berbagai
literatur agama Islam, seperti Al-Qur’an, hadis, tafsir, dan fikih, banyak
menggunakan kata “as-sakinah” dan kata-kata turunannya. Sebagai contoh,
Al-Qur’an menggunakan kata “sakinah” itu pada 6 tempat, yaitu di dalam S. Al-Baqarah
(2): 248, S. Al-Fath (48): 4,18, dan 26; S. At-Taubah (9): 26 dan 40.
Di
dalam S. Al-Baqarah (2): 248, Allah menyatakan: “Dan Nabi mereka berkata
kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya tabut
kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan (sakinah) dari Tuhanmu dan sisa dari
peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh malaikat.
Sesungguhnya pada orang yang demikian itu terdapat tanda bgaimu, jika kamu
orang yang beriman”.
Selanjutnya,
S. Al-Fath (48): 4, Allah menyatakan bahwa Allah-lah yang menurunkan ketenangan
di dalam hati orang-orang beriman, sebagaimana firman-Nya: “Dialah yang
telah menurunkan ketenangan (sakinah) ke dalam hati orang-orang beriman supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan
kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Berikutnya
dalam At-Taubah (9): 26 Al-Qur’an menggambarkan rasa takut dan cemas yang luar
biasa yang dialami oleh Abubakar ash-Shiddiq ketika berada di Gua Hira bersama
Rasulullah Muhammad saw., lalu Allah menurunkan ketenangan (sakinah) kepadanya.
Secara lengkap Allah menyatakan di dalam ayat itu: “Jikalau kamu tidak
menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu)
ketika orang-orang kafir (Mekkah) mengeluarkannya (dari Mekkah), sedang dia
salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua, di waktu dia
berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah
bersama kita”. Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya (sakinah-Nya) kepada
(Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya. Dan Allah
menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah dan kalimat Allah itulah
yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Berdasarkan
pengamatan terhadap makna kata “sakinah” yang terdapat di dalam ayat-ayat di
atas dan pemahaman terhadap makna kata-kata turunan dari kata “sakinah”, baik
yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun literatur-literatur lain, dapat disimpulkan
sebagai berikut. Penggunaan kata “sakinah” terkait dengan beberapa persoalan
berikut, yaitu 1) ketenangan itu bersifat abstrak dan bersifat spiritual, 2)
ketenangan itu bersifat psikologis (kejiwaan), karena ketenangan sangat terkait
dengahn persoalan hati (qalbu), dan 3) yang memberikan ketenangan (sakinah) itu
hanyalah Allah swt.
Jelaslah
bahwa sebagai manusia apa pun posisi dan jabbatan kita tak mampu menciptakan
sakinah. Karena itu, kita perlu dan harus bersungguh-sungguh memohon kepada
Sang Khalik untuk menciptakan sakinah di dalam kehidupan kita dan keluarga. Untuk
mencapai ketenangan (sakinah), paling tidak ada empat unsur utama yang harus
terlibat, yaitu 1) yang memberikan (menurunkan) sakinah, 2) yang mengantar
untuk mencapai sakinah, 3) yang menerima sakinah, 4) alat (media) yang
menimbulkan (mengantarkan) sakinah.
Unsur
pertama, yang menurunkan sakinah ialah Allah swt., Ia pencipta dan sumber
sakinah. Tidak ada satupun manusia yang dapat menciptakan sakinah. Karena itu,
sakinah adalah hidayah Allah. Unsur kedua, yang mengantar untuk mencapai
sakinah adalah hamba-hamba Allah yang taat, baik dari golongan malaikat maupun
manusia, termasuk di dalamnya para nabi dan orang-orang saleh. Mereka ini
adalah orang-orang yang telah mendapatkan ketenangan dan orang-orang seperti
itulah yang dapat mengantarkan sakinah kepada sasarannya atas izin Allah swt.
Bagaimana mungkin orang-orang yang belum mendapatkan ketenangan dapat
menyampaikan ketenangan kepada orang lain, padahal mereka sendiri belum mendapatkannya.
Unsur
ketiga, yang menerima sakinah itu adalah manusia. Manusia menjadi sasaran
sakinah. Unsur keempat, yang menimbulkan (mengantarkan) sakinah ialah segala
alat (media) yang dapat digunakan untuk itu, baik yang berbentuk ucapan maupun
yang berbentuk tindakan.
Ucapan
atau kalimat-kalimat yang baik yang disampaikan kepada orang lain dapat menjadi
alat (media) untuk mengantarkannya menjadi sakinah. Tindakan-tindakan yang baik
yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dapat menjadikannyamencapai sakinah.
Atau yang bersangkutan sendiri dapat mencapai sakinah karena ucapan dan
tindakan yang dilakukannya.
Setiap
manusia normal pasti menginginkan kehidupan yang senang, tenang, dan bahagia
yang dapat disimpulkan dengan satu kata, yaitu “SAKINAH”. Kesenangan dan
ketenangan yang ingin dicapainya itu bukanlah hal yang semu, yang hanya dapat
dilihat dari sisi fisik atau penampilannya saja, atau hanya di dunia saja. Akan
tetapi, kita menginginkan sakinah yang hakiki, yaitu yang tidak hanya pada
fisiknya, tidak hanya pada penampilannya, tetapi juga pada substansinya, dan
tidak hanya di dunia ini, tetapi juga di akhirat nanti.
Itulah
sebabnya, maka hampir setiap saat kita memohon kepada Allah agar dianugerahi
kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat, dengan senantiasa memohon doa yang
berbunyi: “Rabbana atina fi ad-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah wa
qina ‘adzaba an-nar” (Wahai Tuhan kami, anugerahilah kami kehidupan yang
baik di dunia dan kehidupan yang baik di akhirat, dan jauhkanlah kami dari
siksaan api neraka). Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar