Kemana
negara ini mengarah? Itulah pertanyaan yang mengusik kami akhir-akhir ini
dengan mencermati berbagai kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya
yang terjadi dalam lima bulan terakhir. Apakah akan membiarkan negara terbang
tanpa arah yang pasti bagai layang-layang putus? Dalam sejarah Indonesia memang
selalu ada usaha untuk mengganti Pacasila dengan ideologi lain, namun belum
pernah sekritis kondisi sekarang.
Di
tengah kita membangun demokrasi yang diharapkan semakin terkonsolidasi, ronrongan
radikalisme agama semakin menguat. Masalahnya, kini kelompok sektarianisme
agama bersekongkol dengan kaum fundamentalisme pasar dan diperparah lagi oleh
sebagian elit politik yang gamang sehingga tidak lagi berpijak pada nilai-nilai
Pancasila.
Kondisi
inilah yang melatarbelakangi pemilihan tema semiloka: Indonesia di
Persimpangan: Negara Pancasila vs Negara Agama. Pelaksanaan semiloka
ini merupakan aksi bersama dari beberapa elemen civil society pemerhati
perdamaian dan pluralisme, yaitu Interfidei Yogyakarta, ANBTI, Maarif
Institute, JAII, SEJUK dan Media Indonesia.
Setidaknya
ada tiga isu pokok yang akan dibahas: negara, radikalisme agama, dan
fundamentalisme pasar.
Pertama,
isu negara. Konstitusi sangat tegas menyebutkan:
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Intinya,
negara mengurus kepentingan bersama, tak satu pun kelompok boleh diabaikan dan
itulah demokrasi. Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk hanya dapat
dibangun dengan prinsip bhinneka tunggal ika, yang mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kesetaraan, dan kebebasan
yang bertanggungjawab.
Kita
sungguh patut berbangga karena the founding fathers and mothers telah
memilih Pancasila sebagai landasan ideologi negara, bukan landasan agama apa
pun. Pancasila adalah rumah bersama dimana kita merawat keberagaman dan
kebhinekaan, baik dalam agama, kepercayaan, suku, maupun ras secara kodrati
sejak awal sampai kini. Akan tetapi, meski Indonesia tahun ini berumur 72
tahun, nilai-nilai ideal Pancasila belum sepenuhnya berhasil diimplementasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Buktinya sangat kasat mata; menguatnya intoleransi dan
fundamentalisme, merebaknya kasus mega korupsi seperti kasus e-KTP, lemahnya good
governance, rendahnya kesadaran membayar pajak, buruknya kualitas pelayanan
publik, maraknya kriminalitas dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, merajalela
pengedaran narkoba, miras dan obat terlarang, parahnya kerusakan lingkungan, serta
minimnya pemenuhan hak asasi manusia, terutama bagi perempuan dan anak,
kelompok rentan, minoritas dan disabel. Walaupun tetap kami akui sejumlah
kemajuan dan keberhasilan pemerintah sekarang.
Bagi kami, tidak ada pilihan lain, negara Pancasila perlu
dan harus dirawat dengan komitmen teguh menegakkan nilai-nilai esensial yang
terkandung di dalam kelima silanya. Jika tidak, Negara Pancasila akan mengalami
kerapuhan akibat gempuran dari luar berupa radikalisme agama dan fundamentalisme
pasar. Sementara gempuran dari dalam berupa sikap dan perilaku sebagian elit
politik yang tidak bermoral, rakus dan tidak manusiawi. Mereka itulah pembajak demokrasi.
Kedua, isu radikalisme agama. Sejak
runtuhnya Orde Baru dan dimulainya era demokratisasi, ICRP menangkap sinyal kuat
radikalisme membajak demokrasi. Sistem demokrasi
memang rentan sebagai lahan subur radikalisme. Atas nama demokrasi, mereka memanfaatkan
peluang demokrasi untuk mengekpresikan ide dan gagasan yang justru anti-demokrasi.
Banyak peneliti menyebutnya sebagai anak haram demokrasi.
Mengapa
radikalisme berbahaya? Ideologi radikal dalam agama apa pun, termasuk Islam
selalu membawa virus pemaksaan, permusuhan, kebencian dan intoleransi. Gerakan radikalisme
Islam di Indonesia memaksakan ideologi anti demokrasi, anti-keberagaman, anti
Pancasila dan anti NKRI. Mereka menyebut semua itu dengan satu istilah, thagut
(musuh Islam). Mereka juga memandang negara Pancasila sebagai negara gagal dan
sangat bernafsu mengubah Indonesia menjadi negara Islam atau khilafah.
Belajar pada kasus
Taliban di Afghanistan, Bokoharam di Nigeria, ISIS di Irak dan Suriah, awalnya mereka
hanyalah gerakan radikalisme Islam yang kecil dan tidak diperhitungkan. Namun,
karena mayoritas masyarakat tidak peduli dan mengambil sikap diam maka mereka
memperoleh amunisi untuk berkembang pesat dan akhirnya menaklukkan pemerintah berkuasa.
Kelompok radikal hanya dapat ditaklukkan ketika bentuknya masih kecil. Jika
sudah besar dan berkuasa, mereka akan menghancurkan semua sendi peradaban bangsa
yang dibangun dengan derita dan susah payah.
Tanggal 8 April 2013 adalah hari kelahiran ISIS (Islamic
State of Iraq and Syria) oleh Abu Bakar Al-Baghdadi. Namun, kita berkumpul di
sini bukan untuk merayakan ISIS, melainkan meneguhkan penolakan terhadapnya dan
semua afiliasinya. Perlu dipahami dengan benar, menolak ISIS tidak berarti
menolak Islam. ICRP dan seluruh stake holders menghargai Islam sebagai
agama cinta damai. Kami yakin sepenuhnya, Islam sesuai namanya, agama yang
mengedepankan keselamatan dan perdamaian, mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan
dan sekaligus rahmatan lil alamin.
ISIS harus ditolak karena aksi-aksi terornya yang biadab.
Teknologi komunikasi menjadi sarana efektif bagi jaringan teroris untuk menyebarkan
paham radikal sambil melakukan rekrutmen
anggota. Brooking Institute menyebutkan, tahun 2014 saja ada 46.000 akun
twitter atas nama ISIS dan masing2 memiliki rata-rata 1000 pengikut. Setiap
hari, setidaknya 90.000 konten bermuatan hate speech, kekerasan dan
ekstrimisme dimuat ke ranah internet dan pengguna twitter di Indonesia
menyumbang 20% atas percakapan tersebut. Analisis intelijen mengamati bahwa mereka paling canggih
menggunakan internet serta mengisinya dengan beragam konten propaganda yang
dibuat secara profesional.
Kelompok
radikal bekerja 24 jam untuk tujuan merekrut pengikut baru. Dan hasilnya memang
sangat fantastis, dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun merekrut sekitar 40.000
jihadis dan mayoritas mereka adalah kalangan muda, termasuk perempuan dan
anak-anak di bawah umur. Sebagian berasal dari wilayah Indonesia. Sejumlah
penelitian terbaru mengungkapkan, siswa Indonesia di berbagai sekolah malah mengidolakan
para jihadis dan teroris. Sungguh memalukan!!
Dalam
konteks merebaknya radikalisme agama, dua ormas keislaman terbesar di
Indonesia, bahkan di dunia, yakni NU dan Muhammadiyah seakan lumpuh. Ironisnya,
berbagai fasilitas milik kedua ormas besar itu pun telah disalahgunakan kelompok
radikal. Misalnya, mereka menyebar paham radikal dengan menggunakan sejumlah sekolah
Muhammadiyah dan masjid-masjid yang didirikan NU dengan susah payah. Bahkan,
mereka merekrut para guru PNS yang digaji negara dengan uang rakyat untuk
menyuarakan aspirasi negara khilafah yang mencabik-cabik kedaulatan NKRI.
Dengan ungkapan lain, kelompok radikal telah memanfaatkan
semua institusi, baik milik negara, NU dan Muhammadiyah untuk radikalisme. Mereka
melakukan itu secara terstruktur, sistematik dan massif. Sementara,
kebanyakan kita justru bersikap tidak peduli dan memilih berdiam diri. Kondisi silent
majority justru mengangkat gerakan radikalisme agama berada di atas angin. Kegelisahan
kami bukannya mereda, melainkan semakin menguat karena upaya tegas dari negara
dan pemerintah belum terlihat. Meskipun, Presiden Jokowi menghimbau agar
persoalan politik dipisahkan dari agama (Kompas.com, 24 Maret 2017).
Ketiga,
isu modal atau fundamentalisme pasar. Sejumlah penelitian menyimpulkan, gerakan radikalisme
dalam semua agama, tak terkecuali Islam, bukan sekadar masalah ideologis,
tetapi merupakan gejala modern yang sangat kompleks. Radikalisme
terkait erat dengan sejarah, dinamika politik, pergeseran geostrategis, serta
masalah sosial-ekonomi akibat proses modernisasi dan globalisasi. Bukan rahasia
lagi, bahwa pertumbuhan ekonomi kita menimbulkan kesenjangan yang luar biasa
antara kaya dan miskin dan menyuburkan politik uang yang memenangkan penjahat mafia
dan kartel. Fatalnya lagi, sebagian pemilik modal mengambil manfaat dari
kondisi yang mencekam ini untuk kepentingan jangka pendek mereka. Mereka pantas
disebut pengkhianat Pancasila dan perampok demokrasi.
Kelompok
fundamentalisme pasar adalah kaum pemodal yang mengeksploitasi kekayaan negara
untuk kepentingan sendiri. Mereka menggantungkan kehidupan rakyat dalam
kungkungan hegemoni kapital-pasar sehingga ruang artikulasi kaum miskin
terpinggirkan. Itulah salah satu penyebab kemiskinan merajalela, serta
ketidakadilan dan kesenjangan sosial terbuka lebar. Akibatnya, negara tak
berdaya memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan selanjutnya rakyat pun semakin
tertutup aksesnya untuk berperan aktif dalam kehidupan bersama.
Kondisi
ini membuktikan keroposnya konsolidasi kebangsaan di antara para elit dalam
menjaga kedaulatan dan keutuhan kekayaan bangsa yang begitu berlimpah. Jangan
salahkan, jika sejumlah kelompok merasa kecewa dan frustrasi atau bahkan
dendam. Sebab, pengalaman keseharian berinteraksi dengan ketidakadilan,
ketertindasan, kebohongan dan kepalsuan membuat mereka muak dengan jargon
demokrasi, Pancasila, NKRI, lalu berbalik arah mencari model dan alternatif
lain. Walau demikian, hal itu tidak boleh kita biarkan. Kita harus bersikap
bijak merangkul mereka kembali
.
Sebaiknya,
marilah kita dengan rendah hati mengakui bahwa demokrasi Indonesia memang baru
sebatas prosedural, belum sampai pada tahapan substansial (Indeks Demokrasi
Indonesia tahun 2015). Sejumlah indikasi: masih adanya hambatan kebebasan
sipil, khususnya terkait kebebasan beragama, ketidakadilan dan kesenjangan
ekonomi masih menganga tajam, pelayanan publik belum menjangkau seluruh rakyat,
kerusakan dan pencemaran lingkungan merajalela, banyaknya demo berakhir
kekerasan, minimnya perlindungan terhadap buruh, kaum perempuan dan anak serta
belum optimalnya fungsi institusi demokrasi, seperti birokrasi, DPR dan DPD,
parpol, dan lembaga peradilan. Namun, hal paling mengerikan yang harus kita
cegah adalah menguatnya perselingkuhan antara elit politik, kaum sektarian
agama dan kaum fundamentalisme pasar.
Menghadapi kondisi memprihatinkan ini, ICRP dan segenap
mitra yakin tidak ada solusi mudah dan tunggal. Kita semua perlu duduk bersama
dalam semiloka ini, berdialog mencari solusi terbaik, merumuskan langkah
konkret dan strategis demi membantu pemerintah meneguhkan Pancasila di negara
Indonesia tercinta. Selain itu, peran media sangat diperlukan untuk melawan
semua bentuk intoleransi dan kezaliman. Media harus berpihak pada nilai-nilai
keadilan dan kebenaran. Semoga Tuhan YME meridhai usaha kita, amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar