Pendahuluan
Indonesia
merupakan kasus unik. Meskipun berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, yakni
sekitar 200 juta, namun Indonesia bukan negara Islam. Para pendiri republik ini
yang umumnya tokoh Muslim terkenal tidak memilih Islam sebagai ideologi negara,
melainkan Pancasila. Menurut Syafii Ma'arif, hanya 20% atau sekitar 15 orang
dari anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
menghendaki ideologi Islam.
Memilih Islam sebagai dasar negara akan sangat
problematik karena Islam sebagai agama tidak memiliki penafsiran tunggal.
Konsekuensinya, akan terjadi perdebatan sengit dalam memilih penafsiran Islam
yang mana kelak dijadikan rujukan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, ada beberapa provinsi di negeri ini dimana
Muslim bukanlah mayoritas dan itu mencakup wilayah yang cukup luas.
Tentu
saja pilihan para pendiri negara tersebut bukan pilihan yang mudah. Rekaman
sejarah mengenai perdebatan tiga kelompok: nasionalis, sekuler dan Islamis di
konstituante tahun 1945 menjelaskan hal itu secara terang benderang. Sejarah juga
mencatat, tidak semua umat Islam setuju dengan pilihan tersebut, buktinya
sepanjang berdirinya negara ini, selalu saja muncul upaya-upaya untuk mengganti
ideologi Pancasila dengan ideologi Islam. Hanya saja selama ini upaya tersebut
tidak mendapatkan dukungan kuat dari seluruh warga negara Indonesia.
Tahun
ini Indonesia berusia 72 tahun dan
Pancasila terbukti mampu mempersatukan warga negara yang begitu heterogen.
Mereka terdiri dari lebih 300 suku, 700 bahasa, mendiami lebih dari 17.000
pulau, membentang dari Sabang di ujung barat sampai Merauke di ujung timur yang
memerlukan waktu 10 jam terbang dengan pesawat udara. Jaraknya hampir sejauh antara London dan Teheran.
Setiap orang yang
mengaku warga negara Indonesia seharusnya sadar bahwa negara tempat dia
berpijak adalah sebuah negara-bangsa berbentuk kesatuan, yaitu Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara. Jelas,
Indonesia bukan negara federal, bukan negara kerajaan atau negara militer, dan
juga bukan negara agama. Boleh jadi seseorang atau sekelompok orang merasa
tidak nyaman bahkan tidak setuju dengan konsep NKRI tersebut. Hal itu wajar
saja. Bagi mereka silakan membentuk negara baru atau keluar dari wilayah NKRI.
Sebab, NKRI merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa (the founding
fathers and mothers), ketika Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus
1945.
Sebagai
kelompok mayoritas, salah satu keunikan kelompok Muslim di Indonesia adalah
kemampuan mereka menyelaraskan antara keislaman dan kemoderenan; keislaman dan
kebangsaan; serta keislaman dan demokrasi. Yang menarik bahwa kunci untuk melakukan
penyelarasan itu tidak lain adalah Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila yang secara esensial
selaras dengan nilai-nilai universal Islam.
Keberislaman
masyarakat Indonesia berbeda dengan keberislaman masyarakat Arab atau bangsa
lainnya di dunia ini, yakni keberislaman yang selalu memperhatikan nilai-nilai
budaya lokal. Keberislaman masyarakat Indonesia merupakan sebuah
proses yang dinamis, bukan statis. Sepanjang sejarah Indonesia terlihat selalu
saja ada golongan yang ingin melakukan perubahan terhadap bentuk keberislaman
tersebut. Namun, fakta sejarah pun mencatat bahwa kelompok Islam moderat adalah
kelompok yang diterima publik dan menjadi alternatif.
Masalahnya, Pancasila dalam era lalu menjadi ideologi
tertutup dan dipakai untuk kepentingan kelompok penguasa, bukan untuk
kepentingan dan kemaslahatan publik. Karena itu, giliran kita sekarang
melakukan pemaknaan ulang terhadap Pancasila yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat demokrasi. Sejumlah upaya perlu dilakukan. Misalnya, memperluas
kajian Pancasila pada tema-tema kontemporer, seperti demokrasi, HAM, gender, civil
society dan good governance.
Lalu, seperti apa gambaran pemimpin ideal Indonesia?
Menurut hemat saya, paling tidak ada 5 prinsip utama yang harus dijadikan
pedoman oleh para pemimpin Indonesia. Kelima prinsip dimaksud berpijak kuat
pada landasan ideal negara yakni Pancasila.
Pertama, prinsip spiritual
Pemimpin
Indonesia tidak bisa mengabaikan prinsip utama dalam Pancasila, yakni Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sila pertama ini tidak mengacu kepada ajaran agama tertentu,
melainkan merupakan rangkuman
ajaran teologi dari semua agama dan kepercayaan yang tumbuh di
Nusantara.
Sila ini
bermakna pentingnya prinsip spiritual dalam seluruh tahapan dan semua bidang
pembangunan. Yang dimaksudkan dengan nilai-nilai spiritual adalah nilai-nilai
keilahian yang terdapat dalam semua agama dan kepercayaan dan itulah nilai-nilai
universal kemanusiaan, seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, kedamaian,
kebersihan dan keindahan. Pancasila mengarahkan
agar semua warga negara yang berbeda agama dan kepercayaan dapat hidup bersama
secara damai, rukun dan harmonis, saling
membantu, saling menghargai dan menghormati keyakinan masing-masing.
Tujuan pembangunan bangsa yang utama adalah meningkatkan kualitas spiritual bangsa yang ditunjukkan dengan sejumlah indikasi seperti menguatnya rasa tanggung jawab, solidaritas, kepedulian, kemandirian dan persatuan di masyarakat. Meningkatnya perilaku adil, jujur, toleransi dan gotong-royong di antara warga yang sangat beragam. Berkurangnya perilaku korupsi, nepotisme dan mark up angka-angka proyek. Semakin rendahnya angka tawuran, perkelahian, konflik dan kriminalitas. Semakin berkurangnya perilaku individualistik, hedonistik, budaya pamer dan konsumtif di masyarakat. Semakin menurunnya angka diskriminasi dan kekerasan, termasuk kekerasan berbasis agama untuk alasan apa pun, berkurangnya kesenjangan sosial dan berbagai problem sosial yang endemik, seperti narkoba, perkosaan, penelantaran anak, prostitusi, trafficking, khususnya perempuan dan anak perempuan, perkawinan paksa, slavery, kebodohan, kemiskinan dan pengangguran.
Tujuan pembangunan bangsa yang utama adalah meningkatkan kualitas spiritual bangsa yang ditunjukkan dengan sejumlah indikasi seperti menguatnya rasa tanggung jawab, solidaritas, kepedulian, kemandirian dan persatuan di masyarakat. Meningkatnya perilaku adil, jujur, toleransi dan gotong-royong di antara warga yang sangat beragam. Berkurangnya perilaku korupsi, nepotisme dan mark up angka-angka proyek. Semakin rendahnya angka tawuran, perkelahian, konflik dan kriminalitas. Semakin berkurangnya perilaku individualistik, hedonistik, budaya pamer dan konsumtif di masyarakat. Semakin menurunnya angka diskriminasi dan kekerasan, termasuk kekerasan berbasis agama untuk alasan apa pun, berkurangnya kesenjangan sosial dan berbagai problem sosial yang endemik, seperti narkoba, perkosaan, penelantaran anak, prostitusi, trafficking, khususnya perempuan dan anak perempuan, perkawinan paksa, slavery, kebodohan, kemiskinan dan pengangguran.
Dalam hal pembangunan bidang agama, pemimpin hendaknya
mengedepankan penguatan nilai-nilai spiritual, bukan terpaku pada hal-hal yang
simbolistik, seperti penambahan rumah ibadah. Pemimpin harus bersikap netral dan adil terhadap semua penganut agama
dan kepercayaan. Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan substansi ajaran
setiap agama dan kepercayaan. Pemerintah cukup menjamin agar setiap warga dapat
mengekspressikan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing secara aman, nyaman
dan bertanggung jawab.
Pemerintah tidak berhak mengakui mana agama yang resmi
dan tidak resmi atau agama yang diakui atau tidak diakui. Semua penganut agama memiliki posisi setara di hadapan
hukum dan perundang-undangan. Semua warga adalah pemilik sah negeri ini. Karena
itu, sikap pemerintah membiarkan perilaku diskriminatif, bahkan eksploitatif
terhadap berbagai kelompok agama minoritas, seperti penganut Kristen, penganut agama di luar 6 agama yang katanya “diakui”,
seperti Baha’i; penghayat kepercayaan
serta
kelompok Islam yang berbeda dengan mainstream, seperti Syi’ah dan Ahmadiyah,
jelas bertentangan dengan Pancasila.
Pancasila adalah
pedoman dalam mengatur hubungan antara agama dan negara di Indonesia. Memang
benar, Indonesia adalah negara yang melindungi agama, tetapi bukan negara yang
merepresentasikan agama. Indonesia bukan negara agama!! Pedoman ini
menggariskan bahwa hak beragama dan berkepercayaan merupakan hak asasi setiap
manusia sekaligus hak sipil bagi setiap warga negara. Semua warga negara
dijamin kemerdekaannya dalam beragama dan berkepercayaan sesuai dengan
keyakinan masing-masing. Tanpa ada diskriminasi sedikit pun.
Karena itu atas dasar Pancasila, pemimpin harus berani menolak semua bentuk penyeragaman dalam kehidupan agama dan kepercayaan; menolak semua bentuk diskriminasi dan kekerasan atas nama agama untuk alasan apa pun. Karena itu, pemimpin dan seluruh penganut agama dan kepercayaan harus bersinergi dan bersatu padu melawan musuh agama yang paling nyata, yaitu ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kebodohan dan perilaku despotik.
Karena itu atas dasar Pancasila, pemimpin harus berani menolak semua bentuk penyeragaman dalam kehidupan agama dan kepercayaan; menolak semua bentuk diskriminasi dan kekerasan atas nama agama untuk alasan apa pun. Karena itu, pemimpin dan seluruh penganut agama dan kepercayaan harus bersinergi dan bersatu padu melawan musuh agama yang paling nyata, yaitu ketidakadilan, kezaliman, kemiskinan, kebodohan dan perilaku despotik.
Kedua, prinsip kemanusiaan
Pancasila adalah pedoman negara dalam mewujudkan
kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemimpin harus mampu
memenuhi, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
setiap warga berdasarkan prinsip keadilan dan keadaban. Atas dasar Pancasila,
Indonesia telah menerima Deklarasi Universal HAM, meratifikasi sejumlah Kovenan
Internasional terkait hak-hak sipil politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta
mengesahkan sejumlah UU nasional tentang perlindungan HAM.
Selain masalah ketidakadilan ekonomi, masalah
lain dari bergesernya nilai-nilai Pancasila adalah memudarnya semangat
persaudaraan yang berujung pada terancamnya pluralisme, keberagaman, dan kemajemukan. Sejumlah lembaga pemerhati agama dan
demokrasi menyimpulkan bahaya intoleransi yang semakin menguat di negeri ini.
Sikap intoleransi tersebut umumnya berujung pada berbagai tindakan anarkis,
diskriminasi dan kekerasan, baik atas
dasar agama, maupun etnis, pilihan politik, gender, orientasi seksual dan lainnya. Semangat Bhinneka
Tunggal Ika tidak lagi menjadi ikon yang menyatukan bangsa dalam rasa
persaudaraan sebangsa dan solidaritas kemanusiaan.
Masalah lain yang harus ditegakkan oleh
pemimpin Indonesia adalah hak kebebasan beragama. Sejumlah kasus ketidakbebasan beribadah dan beragama
di Indonesia sungguh merupakan pelanggaran serius terhadap UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU. No. 12
Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan politik,
dan peraturan hukum lainnya yang menjamin dan melindungi hak atas kebebasan
beribadah dan beragama. Belum terhitung
berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi berbasis etnis, gender, pilihan
politik dan seterusnya yang menghambat kebebasan warga dalam berkumpul,
berpendapat dan berekspresi. Perlindungan terhadap kelompok minoritas yang
rentan harus menjadi prioritas pemimpin Indonesia.
Ketiga, prinsip demokrasi
Pancasila adalah pedoman negara dalam membangun persatuan
Indonesia. NKRI tidak boleh dibiarkan tercabik dan terluka oleh keinginan
segelintir orang yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara agama. NKRI yang
demokratis tidak boleh dinodai pikiran sektarian yang mengusung ideologi
teokratis dan totalitarianisme. Indonesia tidak boleh menjadi negara teokrasi
karena akan menyeret bangsa yang besar ini ke dalam kancah perang saudara dan
pertumpahan darah atas nama agama
seperti terjadi di Afghanistan, Pakistan, Suriah dan Irak.
Demokrasi sangat
sejalan dengan nilai-nilai fundamental agama, termasuk Islam, yakni keadilan, kesetaraan, kejujuran dan kebebasan.
Demokrasi selaras dengan
kepemimpinan yang tidak otoriter, keterbukaan dan transparansi keuangan,
keikutsertaan seluruh elemen masyarakat dalam seluruh proses politik, termasuk
kelompok perempuan, persamaan di depan hukum, dan supremasi hukum. Kita harus meyakinkan semua umat
beragama, tak terkecuali umat Islam bahwa demokrasi merupakan pilihan terbaik
untuk masa kini.
Lalu, bagaimana seharusnya
wujud politik Indonesia berdasarkan Pancasila? Pertama, membangun politik
yang berorientasi pada kemaslahatan dan
kesejahteraan seluruh warga,
bukan pada kekuasaan semata. Kedua, politik yang menjadikan substansi demokrasi
sebagai pilar utama, bukan sebatas demokrasi prosedural. Pemimpin harus mampu mewujudkan kemaslahatan dan
kesejahteraan seluruh warga melalui pelayanan publik yang ramah dan terjangkau,
terutama mereka yang berdomisili di wilayah pedesaan terpencil.
Keempat, prinsip kerakyatan
Pancasila adalah pedoman untuk mewujudkan solidaritas
kemanusiaan dan kemaslahatan hidup bersama melalui sikap toleransi, inklusif,
solidaritas dan empati kemanusiaan. Hal itu sangat jelas dinyatakan dalam sila
keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan. Pancasila mengarahkan negara membangun suatu
tatanan sosial yang terbuka, adil dan beradab.
Pemimpin harus mampu
membaca kebutuhan mendasar seluruh warga, khususnya kelompok tertindas yang sering
dilupakan. Pembangunan ekonomi harus mampu menyejahterahkan seluruh warga tanpa
kecuali dan mentradisikan dialog
interaktif dan konstruktif di antara berbagai elemen bangsa sehingga terbangun
kesamaan visi melihat Indonesia ke depan.
Pemimpin Indonesia
harus memastikan tidak boleh ada diskriminasi antar warga karena perbedaan
agama, kepercayaan, suku, gender, orientasi seksual dan pilihan politik.
Pemimpin Indonesia harus memiliki keberpihakan yang kuat pada kepentingan
seluruh rakyat, selalu mengutamakan sikap dialog dan musyawarah dalam
merumuskan suatu kebijakan publik atau regulasi yang akan mengikat semua warga.
Kelima, prinsip keadilan sosial
Pancasila adalah pedoman negara dalam mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tugas utama negara seperti terbaca dalam preambule UUD 1945 sangat jelas,
yaitu menyejahterakan kehidupan bangsa dan mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dengan ungkapan lain, tugas utama negara adalah mengeliminasi
kemiskinan dan kebodohan (illiteracy), dan selanjutnya membuat seluruh
warga negara sejahtera dan cerdas. Pebangunan
pendidikan harus dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa kecuali. Negara harus
menjamin agar semua anak Indonesia menikmati pendidikan yang berkualitas agar
menjadi sumber daya manusia yang handal dan berkualitas.
Tantangan paling berat dihadapi para pemimpin Indonesia
adalah membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya
mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Dalam konteks ini diakui bahwa
nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa sangat
minim diimplementasikan. Mengapa? Karena selama bertahun-tahun sebelumnya dalam
penyelenggaraan dan pengelolaan negara para pemimpin cenderung berpihak kepada
kepentingan kaum pemodal (kapitalis) daripada kepentingan nasional (rakyat
Indonesia).
Realitas ini disebabkan, antara lain pengaruh negara-negara maju
sehingga tidak ada kedaulatan pemerintah Indonesia dalam menentukan arah
kebijakan nasional, khususnya kebijakan ekonomi dan pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan hidup. Dalam tatanan politik nasional pemerintah lebih
mengedepankan demokrasi prosedural (pertumbuhan partai politik, lancarnya pemilu,
pemilukada, dan lain-lain) daripada demokrasi substantif (redistribusi ekonomi)
demi menghapus kesenjangan sosial yang semakin menganga lebar.
Harus diakui bahwa selama ini pola pembangunan Indonesia
hampir sepenuhnya bertumpu pada paradigma ekonomi pasar yang kurang
memperhatikan aspirasi bangsa yang tersimpul dalam rangkaian sila-sila
Pancasila. Hasil-hasil pembangunan lebih bermuatan produk-produk kuantitatif
dan kurang bermakna kualitatif. Produk Domestik Bruto meningkat namun
membenamkan masyarakat dalam lumpur ketimpangan pendapatan, yang kaya semakin
menumpuk kekayaannya, sebaliknya yang miskin semakin terpuruk tanpa daya.
Selama ini telah terjadi pemiskinan sistemik. Dari tahun
ke tahun jumlah orang miskin semakin meningkat jumlahnya. Fatalnya, kondisi
timpang itu menumpulkan rasa keadilan dalam penegakkan hukum serta menumbuhkan
budaya politik partai yang rapuh landasan ideologinya. Akibatnya, pemerintah
gagal memberikan layanan publik yang memadai dan itu terlihat dari banyaknya
demo yang berakhir dengan kekerasan. Kebutuhan dasar masyarakat bawah
terabaikan, mulai dari pemenuhan air bersih, listrik, transportasi publik,
pelayanan kesehatan, pendidikan dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak.
Untuk itu pemimpin Indonesia harus berani melawan
berbagai bentuk mafia dan kartel yang merugikan rakyat, demikian juga harus
berani menghadapi premanisme, termasuk bertopeng agama sekalipun.
Penutup
Tugas dan tujuan
utama negara seperti terbaca dalam preambule UUD 1945 sangat jelas, yaitu mensejahterahkan dan mencerdaskan kehidupan
bangsa, serta memberikan perlindungan
maksimal. Dengan ungkapan
lain, tugas utama negara adalah mengeliminasi kemiskinan dan kebodohan (illiteracy),
dan selanjutnya berusaha membuat seluruh warga, khususnya yang terpinggirkan menjadi sejahtera
dan cerdas.
Tiada pilihan lain, para pemimpin Indonesia harus kembali
menjadikan Pancasila dan Konstitusi Indonesia sebagai paradigma pembangunan. Tujuannya,
membangun sumber daya manusia yang memiliki kualitas spiritual yang tinggi,
baik sebagai individu maupun sebagai kesatuan sosial masyarakat. Meningkatkan kesejahteraan,
daya inovasi dan kreatifitas mereka sehingga memiliki daya saing di tingkat
global serta mampu mengatasi beragam ancaman dan gangguan alam menuju terbentuknya
Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar