Saya pernah diundang menghadiri
peringatan Milangkala Madrais ke-180, semacam perayaan maulid tokoh pendiri
Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan adalah salah satu aliran kepercayaan yang tumbuh
dan berkembang di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Awalnya
dikembangkan oleh Pangeran Madrais lahir 27 September 1827 (bertepatan dengan 9
Mulud 1755 Saka). Beliau wafat dalam usia 112 tahun, usia yang sangat panjang
untuk ukuran kita sekarang.
Dimasanya, Pangeran Madrais
memberontak terhadap kekejaman kolonial Belanda dan menolak tunduk pada
penjajah. Akibatnya, beliau dituduh sebagai murtad, ditangkap dan dipenjarakan,
bahkan dibuang ke Digul, Papua. Keberanian menegakkan keadilan ini harus
diteladani oleh kita semua, meski pahit dan penuh pengorbanan. Rupanya tuduhan
kafir dan murtad yang sering dilancarkan oleh kelompok FPI mengikuti cara-cara
kolonial dahulu.
Yang membuat kaum kolonial murka
adalah karena Pangeran Madrais memimpin gerakan kelompok tani untuk menyerang
Belanda dan merebut kembali tanah-tanah pertanian yang dirampas Belanda.
Madrais meyakinkan para petani bahwa tanah tersebut adalah warisan dari leluhur
yang tidak boleh dimiliki Belanda. Perjuangan berdarah ini terekam dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah kolonial pergi, beliau
mengubah orientasi perjuangan dengan mengembangkan aspek budaya.
Perjuangan beliau selanjutnya
diteruskan oleh sang cucu, yaitu Pangeran Djatikusuma, pemimpin komunitas Sunda
Wiwitan sejak tahun 1990. Beliau dikenal sebagai tokoh Sunda Wiwitan yang
sangat menekankan pentingnya kerukunan dan perdamaian, serta menjunjung tinggi
nilai-nilai bhinneka tunggal Ika. Beliau juga dikenal tokoh lintas agama
yang tergabung dalam ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace),
sebuah organisasi lintas agama yang memperjuangkan perdamaian bagi semua
manusia.
Saya mengenal komunitas ini sejak
1998, ICRP organisasi kami aktif memperjuangkan hak-hak sipil komunitas Sunda
Wiwitan. Mengadvokasi agar mereka tidak diperlakukan diskriminatif, mendapatkan
Akta Nikah ketika menikah, Akta Lahir bagi anak-anak mereka dan lainnya. Kami
mengadvokasi pemerintah agar mereka diperlakukan secara adil, mendapatkan
perlakuan setara dengan warga negara lainnya, tanpa diskriminasi sedikit pun.
Mereka juga warga negara penuh yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan
warga lainnya.
Selain merayakan maulid Pangeran
Madrais, Pangeran Djatikusuma juga menjadikan momen ini untuk menyerahkan
tanggung jawab pembinaan komunitas kepada putera-puterinya yang berjumlah 10
orang sambil memberikan pesan2 moral kepada mereka yang kelak menggantikan
tugasnya memimpin komunitas Sunda Wiwitan.
Pesan-pesan itu, antara lain: mereka harus selalu bersatu, menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, menjaga tradisi dan memeliharanya dengan baik, menjaga keserasian dan kelestarian lingkungan, jangan berselisih, jangan berebut harta, jangan saling menyakiti, dan jangan tergoda hal-hal duniawi. Para pewaris itu kelak diharapkan dapat membimbing masyarakatnya dan karenanya mereka harus bisa menjadi panutan masyarakat.
Pesan-pesan itu, antara lain: mereka harus selalu bersatu, menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, menjaga tradisi dan memeliharanya dengan baik, menjaga keserasian dan kelestarian lingkungan, jangan berselisih, jangan berebut harta, jangan saling menyakiti, dan jangan tergoda hal-hal duniawi. Para pewaris itu kelak diharapkan dapat membimbing masyarakatnya dan karenanya mereka harus bisa menjadi panutan masyarakat.
Pada malam itu anak-anak Pangeran
Djatikusuma yang berjumlah 10 orang, hanya satu laki-laki, selebihnya adalah
perempuan menyatakan sumpah setia untuk melanjutkan kepemimpinan beliau dan
bertekad menjalankan semua titahnya. Tampaknya, malam ini Pangeran Djatikusuma
telah memberikan sinyal pergantian tugas kepada pewarisnya, sepuluh anaknya
untuk mengemban amanah yang tidak ringan itu.
Menarik bahwa Pangeran Djatikusuma
tidak membuat pembedaan sedikit pun antara anak laki dan anak perempuan (tidak
ada diskriminasi gender), juga antara anak sulung dan anak bungsu. Ke sepuluh
anaknya mendapatkan tugas dan amanah yang sama dan setara. Masing2 bertanggung
jawab sesuai wilayah dan bidang kerja yang tlh ditetapkan. Acara pengambilan
sumpah dilakukan, setiap anak menghadap, sungkem pada ayahanda dan ibunda
dengan penuh khidmat, Sungguh indah penerapan nilai-nilai demokrasi dalam
tradisi budaya ini!!
Selama ini sering muncul anggapan
yang merendahkan kelompok kepercayaan. Tidak sedikit memandang mereka sebagai
kelompok kafir yang tidak mengenal agama. Bahkan, ada yang menyebut mereka
sebagai masyarakat primitif dan terkebelakang. Ke depan, sudah waktunya
pemerintah dan seluruh komponen masyarakat bersama-sama menghilangkan stigma
terhadap mereka. Pemerintah harus lebih aktif melindungi mereka dan
memperlakukan mereka setara dengan kelompok masyarakat lainnya.
Menurut saya, mereka para penganut
kepercayaan justru lebih bijak menjaga dan merawat kelestarian lingkungan.
Sebab, tradisi mereka yang menghormati alam dan mencintai kedamaian dan keasrian
membuat mereka lebih peka dan lebih bertanggungjawab terhadap kelangsungan
hidup manusia dan semua makhluk di alam ini. Mereka lebih tekun menerapkan nilai-nilai
kearifan lokal dan mempertahankan norma-norma kehidupan yang menghargai
kedamaian dan keberagaman. Agama dan kepercayaan mereka pun sudah tumbuh sejak lama
di Nusantara, bahkan jauh sebelum agama-agama import, seperti Islam, Kristen,
Budha dan Hindu datang ke Nusantara.
Masa Reformasi telah 17 tahun berlalu, namun kebijakan pemerintah terhadap kelompok penghayat kepercayaan belum juga berubah, masih diliputi unsur-unsur diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan, sampai sekarang pemerintah belum memandang penting keberadaan kelompok ini, khususnya dalam konteks merawat kelestarian tradisi Sunda yang merupakan salah satu akar budaya Indonesia.
Masa Reformasi telah 17 tahun berlalu, namun kebijakan pemerintah terhadap kelompok penghayat kepercayaan belum juga berubah, masih diliputi unsur-unsur diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan, sampai sekarang pemerintah belum memandang penting keberadaan kelompok ini, khususnya dalam konteks merawat kelestarian tradisi Sunda yang merupakan salah satu akar budaya Indonesia.
Selamat untuk Pangeran Djatikusuma
dan seluruh komunitas Sunda Wiwitan. Rahayu dan Sampu Rasun!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar