DEKLARASI KYOTO
Menentang
Kekerasan dan Memperjuangkan Rasa Aman Bersama
Tak terasa sudah sepuluh tahun lalu saya
menghadiri World Conference of Religions
for Peace di Kyoto,
Jepang. Mengapa di Jepang? Karena negeri ini pernah mengalami penderitaan luar
biasa akibat serangan bom atom yang meluluhlantakkan manusia dan kemanusiaan.
Pertemuan itu dihadiri lebih dari delapan ratus
pemimpin agama-agama dari lebih seratus negara di dunia. Mereka berkumpul untuk
satu tujuan, menjadikan agama sebagai sumber inspirasi perdamaian. Karena itu,
temanya adalah: menentang kekerasan dan memperjuangkan rasa aman bersama. Para
delegasi dalam pertemuan ini, datang dari jejaring lembaga dan kelompok
antar-iman sedunia Religions for Peace
baik pada tingkat lokal, nasional, regional dan international, juga jejaring
antar-iman orang muda dan perempuan.
Pertemuan besar itu merumuskan komitmen mulia: “Kami bersama meyakini
kesatuan mendasar keluarga manusia, dan kesetaraan dan derajat setiap warga
umat manusia. Kami memegang teguh kesucian setiap orang dan pentingnya
kebebasan hati nuraninya. Kami berketetapan teguh akan nilai-nilai moral dan luhur
yang bersama-sama ada pada tradisi-tradisi keagamaan kami. Kami menjunjung
nilai kehidupan yang mewujud dalam komunitas manusia dan dalam setiap ciptaan.
Kami mengakui pentingnya lingkungan hidup untuk mendukung kehidupan yang
berkesinambungan untuk seluruh keluarga manusia. Kami menyadari bahwa kekuatan
manusia sama sekali tidak mampu mencukupi diri sendiri secara mutlak, dan
bahwa cinta kasih, rasa sepenanggungan,
semangat tidak mementingkan diri sendiri dan kekuatan kebenaran spiritual justru
memiliki daya yang lebih besar. Semua itu pasti mengalahkan kecurigaan,
kebencian, permusuhan ataupun kekerasan.
Pertemuan pertama Religions for Peace tahun 1970 menegaskan: sebagai insan
agama-agama, kami mengakui akan kemanusiaan dan menyesali bahwa kami telah
sering mengingkari cita-cita keagamaan kami dan tekat kami akan perdamaian.
Bukanlah agama yang telah gagal dalam memperjuangkan perdamaian, tetapi kami,
kaum beragama. Ketidaksetiaan atas agama ini dapat dan harus diluruskan.
Sekarang ini, kita hidup dalam dunia yang
dicengkeram oleh pelbagai bentuk kekerasan, langsung dan secara struktural.
Konflik dengan kekerasan baik dalam suatu negara dan antar-negara yang dilakukan
oleh negara maupun bukan telah merenggut hidup dan menghancurkan masyarakat.
Konflik-konflik ini pada umumnya lebih banyak membawa korban pada pihak warga
negara dibandingkan militer dan akibat yang ditimbulkan secara tidak seimbang
akan mengena pada penduduk yang rentan, pada orang-orang biasa yang tak
bersalah.
Komunitas agama-agama secara khusus harus
memainkan peran utama untuk mengenali dan menentang kekerasan dalam segala
bentuk maupun manifestasinya. Agama-agama dunia telah mengalami penyalahgunaan
oleh mereka yang memanfaatkan agama untuk kepentingan mereka sendiri. Dalam
konflik berkekerasan yang masih terus berlangsung selama ini di seluruh penjuru
dunia, agama telah dipakai sebagai pengesahan ataupun pembenaran kekerasan.
Kita harus berani mengakui bahwa beberapa kelompok
dalam komunitas agama kita telah melakukan tindak kekerasan. Kita harus menolak
hal ini dan menegaskan kembali bahwa agama adalah semata untuk perdamaian. Komunitas
agama-agama dan para pemimpinnya harus berdiri tegak, berseru dan melakukan
tindakan menentang penyalahgunaan agama.
Ancaman-ancaman yang dialami oleh banyak warga
umat manusia, baik terpisah maupun yang saling berhubungan, menuntut pemahaman
yang lebih luas terhadap kekerasan di dunia. Komunitas agama-agama dunia
bersama-sama dan dengan bekerja sama dengan semua sektor dalam masyarakat
haruslah memainkan peran utama untuk menghindari dan menghentikan perang,
menelanjangi ketidakadilan, melawan kemiskinan dan melindungi bumi. Sekaranglah
waktunya untuk melakukan hal tersebut; dan kunci kita untuk menentang kekerasan
adalah kerja-sama berdasarkan saling hormat dan saling menerima.
Sekarang ini, genosida, penindasan oleh negara,
terorisme dan pelbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia melanggar
hukum-hukum international, menjadikan penduduk tak berdosa sebagai sasaran dan
mengancam rasa aman banyak komunitas.
Penyakit akibat terjadinya konflik, kelaparan,
pengungsian dan bencana lingkungan menjadi ancaman serius terhadap kehidupan.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, termasuk perkawinan anak-anak,
perkawinan paksa, perkosaan, kehamilan paksa, perbudakan, kerja paksa,
pelacuran, serdadu anak-anak dan trafficking
telah menjadi salah satu taktik perang di banyak daerah konflik.
Ketidakadilan ekonomi membawa kepada kemiskinan
mutlak dan kelaparan membunuh 50 ribu orang setiap hari. Penyakit-penyakit yang
sebetulnya dapat dihindari ataupun disembuhkan telah membunuh jutaan umat
manusia. 25 juta orang karena AIDS, sementara sekitar 40 juta atau lebih hidup
dengan HIV positif dan AIDS; dan akibat yang ditimbulkannya menghancurkan
komunitas-komunitas kita. Banyak perusahaan, khususnya pada tingkat
multi-nasional, menjalankan usaha mereka tanpa memperhatikan nilai-nilai yang
mengetengahkan perkembangan yang berkesinambungan. Degradasi lingkungan hidup
dan kemerosotan sumber-sumber alam mengancam kemampuan planet kita untuk
mendukung kehidupan.
Kaum miskin
papa, mereka yang tak berdaya dan orang kebanyakan menderita secara tidak
proporsional sebagai akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam semua
bentuknya, mulai dari konflik bersenjata, kemiskinan mutlak sampai kehancuran
lingkungan hidup.
Malangnya, agama memainkan peran secara mencolok
dalam konflik-konflik yang paling kejam di seluruh dunia. Agama telah dibajak
oleh para ektrimis, radikalis dan sangat sering oleh para politisi dan
mass-media. Para ekstrimis menggunakan agama untuk mendorong kekerasan dan
kebencian serta mendorong konflik sektarian yang bertentangan dengan esensi
agama yang paling dalam.
Para politisi sering memanipulasi dan memanfaatkan
perbedaan-perbedaan sektarian guna kepentingan mereka sendiri, sering menyeret
agama ke dalam pertentangan sosial, ekonomi dan politik. Mass-media juga
menyumbang pengambinghitaman agama-agama dalam situasi konflik melalui
pemberitaan yang tidak layak. Mereka
juga dengan mudah menengarai pihak-pihak yang berkonflik dengan label agama dan
menampilkan agama sebagai sumber konflik tanpa melaporkan keragaman dalam
tradisi keagamaan dan pelbagai cara yang dilakukan oleh komunitas agama-agama
dalam menentang kekerasan dan memperjuangkan perdamaian.
Sebagai orang beriman, kita bertanggung jawab
untuk secara tepat sasaran menentang kekerasan dalam komunitas-komunitas kita
sendiri apabila agama disalahgunakan sebagai alat pembenar tindak kekerasan. Komunitas agama-agama perlu mengungkapkan
sikap menentang bilamana agama dan prinsip-prinsip mereka yang suci
diselewengkan untuk kepentingan kekerasan. Mereka harus mengambil langkah yang
tepat untuk menolak semua upaya penyalahgunaan agama.
Akhirnya, kami bertekat untuk menegakkan rasa aman
bersama sambil menguatkan jejaring multi-agama dalam usaha mengatasi konflik,
membangun perdamaian, memperjuangkan keadilan dan mencapai kemajuan yang
berkesinambungan untuk semua manusia tanpa kecuali.
Untuk itu kami menyerukan kepada Komunitas
Agama-Agama, sebagai berikut:
v Menolak
dan menentang setiap penyalahgunaan agama untuk kepentingan-kepentingan tindak
kekerasan;
v Menegakkan
keadilan, membangun perdamaian dan kemajuan yang berkesinambungan;
v Menguatkan pendidikan perdamaian di setiap lapisan;
v Menjaga akuntabilitas pemerintah dalam kesungguhan mereka
bekerja demi rakyat;
v Membentuk jejaring pada tingkat lokal, nasional, regional
dan sedunia untuk memajukan kerjasama secara multi-agama; dan
v Memperkuat kerjasama dengan semua pihak untuk menentang
kekerasan dan memajukan suatu model yang baru atas rasa aman bersama.
Sepuluh tahun sudah berlalu. Harus diakui sejumlah kemajuan telah dicapai di berbagai
negara, tapi belum untuk Indonesia karena sebagian besar isi deklarasi
Perdamaian Kyoto masih merupakan angan-angan, belum mewujud dalam kehidupan
nyata. Mau tahu alasannya? Karena kebanyakan kita belum bersikap dewasa dalam
beragama. Dan yang paling menyedihkan, keberagamaan kita belum sepenuhnya
direfleksikan untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar