Menjadi Muslimah Reformis:
Menjadi Indonesia yang Otentik
Dr. Septemmy Lakawa
(Ketua STFT Jakarta)
Buku Ensiklopedia Muslimah Reformis
ditulis dan digagas oleh Ibu Siti Musdah Mulia, ini adalah sebuah karya
muslimah Indonesia yang berisikan sebuah diskursus muslim modernis di
Indonesia.
Buku ini dituliskan untuk melawan
proses hegemonisasi dari komunitas kolektif yang bernama Indonesia, yang
biasanya melekat dengan agama. Lalu Ibu Musdah Mulia mengedepankan sebuah
penegakkan yang didasarkan pada rasionalistas, dan ini memberikan sumbangan
terbesar bagai proses wacana tentang agama di Indonesia.
Tahukah kita sebuah universitas
tertua di dunia itu lahir di Timur Tengah dari sebuah masjid dan dipimpin oleh
seorang perempuan. Lalu refleksi saya adalah betapa mirisnya apabila sebuah
tradisi pendidikan di kalangan Islam itu, saat ini, sepertinya hilang di dalam
wacana publik di Indonesia. Hal ini seakan-akan pendidikan menjadi antithesis
dari Islam, dan implikasinya seakan-akan Indonesia adalah antithesis
dari Islam.
Ini saya kotbahkan dalam gereja dan
komunitas Kristen. Kenapa? Karena ignorance (pengabaian akan ilmu
pengetahuan), adalah sebuah dosa terbesar yang akan menjerumuskan sebuah
bangsa. Ketika komunitas muslim melekatkan percakapakan tentang Islam pada
nilai-nilai kebangsaan di dalam gereja, diskusi-diskusi itu ketinggalan jaman,
tetapi ketertinggalan itu tidak lalu menyeberang pada upaya menjelekkan pihak
lain. Ini adalah sebuah kesempatan untuk kembali mengafirmasi betapa
pentingnya nilai-nilai pluralitas itu dikembangkan dalam komunitas agama.
Buku ini, meyakinkan pembaca bahwa
menjadi muslimah itu juga berarti menjadi Indonesia yang otentik, ini adalah
sumbangan Muslimah Reformis, ketika identitas Indonesia kolektif diafirmasi,
dan yang kolektitaf itu diperlihatkan sebagai multidimensi, ketika setiap orang
diberi hak untuk menafsirkan dan sejujurnya keberadaan buku Ensiklopedia ini
membantu kita bahwa reinterpretasi itu penting, dan reinterpretasi itu mesti
berakar pada aksi untuk perubahan.
Demokrasi dan Islam
Bicara Pancasila, demokrasi dan
Islam, Ibu Musdah Mulia melalui buku ini dengan sabar menjelaskan tentang
betapa beragamnya dalam Islam, dan memperlihatkan tentang apakah demokrasi dan
Islam itu competible, sejalan atau tidak.
Dalam buku ini Ibu Musdah Mulia
mengusulkan: “… umat Islam tidak perlu meniru sepenuhnya sistem demokrasi Barat
atau Eropa, melainkan perlu mengembangkan alternatif lain dengan lebih
mengedepankan prinsip-prinsip demokratisnya. Hal penting dari sistem demokrasi
adalah penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kemausiaan dan pengakuan
akan akan kesetaraan dan kesederajatan semua manusia tanpa kecuali” (Buku
Ensiklopedia Muslimah Reformis, hal. 212).
Ini adalah tulisan seorang yang beriman sekaligus perempuan nasionalis, dan tidak ada ambigu. Ini adalah testimoni publik, sekaligus sebagai sebuah dirkursus resistensi yang mencoba menunjukkan penolakan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah antithesis dari Islam. Ini adalah sebuah misi besar dari Ibu Musdah Mulia yang harus terus dilanjutkan.
Siapakah Muslimah dan Perempuan
Reformis?
Kalau kita berbicara tentang
perempuan reformis sebagai perempuan perajut perdamaian di Indonesia,
pertanyaannya adalah mereka itu siapa? Bila dibaca seluruh buku Ensiklopedia
Muslimah Reformis menawarkan siapapun bisa menjadi Muslimah Reformis, namun
karena seringkali model beragama di Indonesia mengidolakan tokoh. Maka sangat
mungkin, diskusi berikutnya adalah cerita tentang tokoh-tokoh lokal Indonesia,
bahwa seperti ini muslimah reformis, perempuan Indonesia reformis, sehingga
mewujudlah diskursus yang tekstual ini pada laku hidup para perempuan tersebut.
Bila kita membaca buku Muslimah
Reformis, sebagai rujukan, sebuah panduan untuk kembali kepada narasi-narasi
lokal, bahwa muslimah reformis itu dan perempuan reformis itu sungguh ada. Kita
bisa menemukan di berbagai tempat dan Ibu Musdah Mulia adalah salah satu
contohnya.
Sebuah cerita dari Surabaya, yakni
Pdt. Claudia melayani gereja yang menjadi sasaran pemboman, dan gereja membuat
kegiatan dalam rangka upaya pemulihan korban. Komunitas ini awalnya terlihat
hidup berjemaat yang tertutup, justru ketika menjadi korban kekerasan,
melakukan upaya untuk mencari saudara-saudara muslim itu di Surabaya dan
sekitarnya.
Ini adalah sebuah model
berkomunitas, ketika tidak mendiamkan diri untuk percaya bahwa sebuah agama
adalah personifikasi dari kekerasan yang luar biasa keji. Apa yang dilakukan
adalah cara sebuah gereja untuk mengatakan bahwa kita harus mencari
mencari saudara-saudara muslim yang dipersonifikasikan sebagai teroris.
Dalam sejarah konflik di
Ambon, yang menjadi pelaku perdamaian, adalah perempuan muslim kristen. Salah
satu pelopornya adalah Ibu Pdt. Ririmase, yang menjadikan pasar, tempat publik
para ibu berjumpa, mesti menjadi tempat yang secara sengaja menjadi ruang
perjumpaan dan ruang damai. Juga ada Pdt. Jacky Manuputti yang menggerakkan
kaum muda muslim dan Kristen di Ambon dengan prinsip profokator damai.
Ada sebuah gagasan menarik, tentang
“Desa Damai” yang digagas oleh Yenny Wahid dari Wahid Institut. Kemudian kami
mengajukan usulan mahasiswa dari STFT Jakarta agar bisa berpraktek di kampung
yang dibentuk menjadi model bibit berkembangnya sebuah kehidupan akar rumput
yang berbasis pada nilai-nilai kultur dan agama yang berorientasi pada
perdamaian, usul ini disambut positif.
Lembaga pendidikan harus berkembang
ditempat-tempat terjadinya perubahan, Ini adalah keyakinan bahwa lembaga
pendidikan itu adalah sebuah platform yang mesti diefektifkan, mesti disengajakan
untuk membangun kultur damai, dan lembaga pendidikan akan menjadi bagian
habitus damai tersebut. Hal ini berarti sebuah proses yang tidak singkat,
sebuah proses keterlibatan yang berjalan tidak secara instan.
Reintepretasi Pembaruan Berhermenetika
Lintas Agama
Ibu Musdah berbicara tentang
reinterpretasi, ini adalah tugas teologi sebagai ilmu. Ada istilah yang sejajar
dengan kata reformis di dalam kekristenan, khususnya gereja protestan, yakni “Ecclesia reformata semper
reformanda est secundum Verbum Dei,” bahwa gereja yang diperbarui
mesti selalu memperbarui dirinya, seturut dengan Firman Allah. Ibu Musdah
berargumen, bahwa menjadi Muslimah Reformis tidak mungkin tidak berakar pada
Tauhid, Tauhid dalam Islam berakar pada Firman Tuhan.
Prinsip protestanisme, perubahan
yang harus selaras dengan Firman Allah, salah satunya pada prinsip Sola
Scriptura, yang menyatakan bahwa teks itu penting. Maka pendidikan tidak bisa
diabaikan, tidak mungkin perubahan diabaikan, pendidikan yang mengubah worldview,
mindset. Mainset itu ternyata berakar dari salah sumber utama
beragama yakni teks, di dalam kekristenan adalah Alkitab.
Karena itu saya menawarkan sebuah
hermenetika pascakolonial tentang sang liyan. Pendekatan ini bersifat
feminis inter-religius yang dilakukan lintas agama. Ibu Musdah bicara dari
Islam, saya bicara dari sisi Kristen, level berikutnya mestinya tafsir ini
mestinya lintas agama. Sebuah upaya yang mulai dari tekstual, tetapi tidak lari
dari pemberlakuannya praxis hidup. Upaya ini belum banyak dilakukan di
Indonesia.
Reformis bisa juga diarahkan pada
sebuah kata yunani metanomia, berarti kita berputar 180 derajat.
Prisnsip pendidikan, kita perlu berubah total ke arah yang lebih baik. Metanoia
adalah sebuah permohonan kepada Tuhan untuk mengampuni kita. Pertobatan
itu gerakan berputar total kembali menghadap kepada Tuhan. Cara kita
menghadap Tuhan itu dengan cara tertunduk. Ada ekspresi tentang tafsir Kristen,
bukan kita akan segera menyibak misteri, tidak.
Di dalam pendekatan ini, ada
pendekatan seperti kita melihat cahaya, semakin dekat kita silau dan kita
menutup mata, tetapi kita tahu cahaya ada di sana. Ini adalah prinsip
metanonia, perubahan itu, bahwa kita tidak menjadi yang “paling baik”, tetapi
kita mengakarkan perubahan itu pada sesuatu yang jauh lebih besar dari
kita.
Proses kita belajar untuk peubahan, adalah proses kita menundukkan diri di hadapan sang Hadirat. Di dalam kekristenan, sang Hadirat itu Maha Suci yang mengijinkan diri untuk hadir di antara manusia sebagai Imanuel yang berarti Tuhan beserta kita.
Proses kita belajar untuk peubahan, adalah proses kita menundukkan diri di hadapan sang Hadirat. Di dalam kekristenan, sang Hadirat itu Maha Suci yang mengijinkan diri untuk hadir di antara manusia sebagai Imanuel yang berarti Tuhan beserta kita.
Pada akhirnya, buku Ensiklopedia
Muslimah Reformis ini mengingatkan kita semua, bahwa kita tidak mungkin bicara
agama tanpa bicara Indonesia, oleh karena itu buku ini menjadi penting sebagai
petunjuk bagi kita. Untuk kalangan muslim bagaimana menjadi Muslim yang
reformis, dan menginspirasi para perempuan di Indonesia.
Dari refleksi persahabatan lintas
agama, kita tiba pada pentingnya sebuah hermenetika feminis lintas agama itu
mesti ada dan mesti mengakar. Karena salah satu kekuatan dari perempuan adalah
kekuatan resistensinya, untuk melawan setiap upaya yang mengeliminasi
kehidupan.
Buku Ensiklopedia ini semacam
personifikasi dan diskursus resistensi, yang membuat kita tidak boleh berhenti
melawan setiap upaya yang antithesis dari sebuah perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar