Selasa, 28 November 2017
Kamis, 23 November 2017
Apakah Demokrasi Sejalan dengan Islam ?
Akhir-akhir ini -sebagai imbas dari
merebaknya radikalisme dalam masyarakat Islam, termasuk di Indonesia- banyak
kalangan Islam mengharamkan demokrasi. Mereka umumnya tidak mampu menjelaskan
dengan argumentasi teologis yang memadai mengapa Islam mengharamkan demokrasi.
Bagi mereka, demokrasi adalah
produk Barat yang artinya juga produk kafir. Seiring dengan itu, mereka
mengkampanyekan sistem khilafah sebagai pengganti sistem demokrasi yang
dianggap menjadi penyebab mundur dan melemahnya umat Islam. Ketika dikejar apa
yang dimaksudkan dengan sistem khilafah, kelompok itu pun tak mampu memberikan
jawaban yang memuaskan. Umumnya, mereka hanya mengatakan, sistem khilafah
adalah sistem Islam yang diwariskan Rasul dan sahabatnya.
Memahami demokrasi
Sebelum mengemukakan pendapat, baik
menerima atau menolak demokrasi, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa
arti demokrasi. Sebab, boleh jadi karena keterbatasan pemahaman kita tentang
sesuatu hal lalu kita memandang sesuatu itu sebagai negatif atau semacamnya.
Demokrasi memiliki banyak definisi, namun umumnya
secara esensial istilah tersebut menunjukkan arti kekuasaan dari rakyat, dengan
rakyat, dan untuk rakyat. Secara riil konsep yang sangat ideal tersebut memang
tidak pernah dapat ditegakkan secara sempurna. Namun, intinya dalam demokrasi rakyat
bebas memilih para penguasa mereka.
Dalam demokrasi, rakyat bebas
mengawasi pemerintah untuk dapat mengetahui dengan jelas apakah mereka
menjalankan tugas negara atau pemerintahan sungguh-sungguh untuk kemaslahatan
rakyat ataukah untuk kepentingan mereka sendiri. Apabila rakyat tidak puas
dengan pemerintahan mereka dan tidak lagi percaya, maka rakyat dapat mencabut
kekuasaan mereka. Sangat diakui konsep ini tidak mudah diimplementasikan dalam
kehidupan nyata, ada banyak faktor penyebabnya.
Pengertian demokrasi seperti inilah
yang dipakai masyarakat Yunani Kuno dan demikian pula yang dianut masyarakat
modern. Hanya saja ruang lingkup pengertian rakyat berbeda. Pada zaman Yunani
Kuno “rakyat“ diartikan sangat sempit, terbatas pada pengertian sekelompok
kecil penduduk, hanya merekalah yang mempunyai persamaan hak di depan
undang-undang.
Setelah Revolusi Perancis, kata
“rakyat” mempunyai arti yang lebih luas, yakni mencakup sebagian besar
penduduk. Mereka itulah yang menikmati hak-hak politik, tetapi belum mencakup
keseluruhan rakyat, sebab masih dibatasi dengan jumlah kekayaan yang dimiliki
seseorang, jumlah pajak yang dibayar, atau tingkat pendidikan yang diperoleh.
Kemudian pada abad XIX kata
“rakyat” mempunyai arti yang lebih luas lagi, mencakup semua penduduk laki-laki
dan perempuan yang telah mencapai usia dewasa. Dengan demikian maka demokrasi
yang sempit atau yang luas telah menjadi suatu sistem yang tetap menjamin
terpeliharanya hak-hak rakyat dan kebebasannya, termasuk memilih sendiri dan
mengawasi penguasanya.
Ajaran tentang keadilan dalam Islam
mendukung prinsip demokrasi
Thaha Husein, pakar pembaru
pemikiran Islam asal Mesir menjelaskan bahwa siapa saja yang berusaha mengajak umat
Islam, khususnya orang-orang Mesir untuk kembali kepada sikap hidup yang
berlaku di zaman Fir’aun, di zaman
Yunani-Romawi, atau di masa-masa permulaan Islam, akan dicemooh rakyat.
Masyarakat termasuk kalangan konservatif dan mereka yang tidak senang dengan
setiap usaha pembaruan ajaran Islam juga menilai bahwa kembali ke warisan kuno
Islam adalah sikap yang keliru.
Lebih jauh Thaha mengatakan: “Kita
harus menyadari pula bahwa tanda tangan yang kita bubuhkan dalam naskah-naskah
perjanjian internasional, yang dengannya kita memperoleh kemerdekaan, dan
dengannya pula kita terhindar dari kekalahan, jelas mewajibkan kita untuk
mengikuti jejak bangsa-bangsa Eropa dalam pemerintahan, ketatanegaraan, dan
dalam hukumnya.
Obsesi Thaha Husein untuk mengambil
sistem pemerintahan demokrasi Barat didasarkan pada dua argument pokok.
Pertama, beliau membuktikan bahwa tidak ditemukan ajaran mengenai sistem
politik dalam Al-Qur’an. Kedua, beliau juga membuktikan bahwa sistem demokrasi
itu mampu mewujudkan penegakan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi umat
manusia menurut pesan Al-Qur’an, yaitu keadilan, kebajikan, kejujuran, membantu
kaum yang lemah, dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, dan
durhaka. Meminjam istilah Bertrand
Russell bahwa demokrasi telah dapat mencegah penyalahgunaan terburuk dari
kekuasaan.
Dalam
prakteknya terlihat bahwa penyalahgunaan terburuk kekuasaan berupa
ketidakadilan, tindakan sewenang-wenang, perampasan hak dan kebebasan,
ketidakjujuran yang menyebabkan mundurnya suatu masyarakat, sering kali muncul
sebagai akibat dari kekuasaan mutlak seorang raja atau presiden. Oleh
karenanya, pemerintahan suatu negara tidak boleh diserahkan kepada satu orang saja,
sungguh pun siapa dia. Kita tidak boleh mengandalkan kekuasaan dimonopoli oleh
satu orang.
Di sini harus
diletakkan gagasan Thaha Husein untuk mengambil sistem demokrasi Barat sebagai
suatu yang absah menurut “pandangan” Al-Qur’an, dan untuk melihat keabsahannya
kiranya perlu diketengahkan lebih dahulu pertanyaan-pertanyaan berikut.
Pertama, mengapa harus demokrasi Barat? Kedua, bagaimana Al-Qur’an menganjurkan
ditegakkannya keadilan, kebajikan, keterbukaan, kebebasan, membantu kaum lemah,
melarang perbuatan yang tidak senonoh dan tercela, serta bagaimana kemungkinan
nilai-nilai itu dapat ditegakkan dalam suasana kehidupan demokrasi.
Sebenarnya tidak ada kesulitan bagi
umat Islam untuk mengambil sistem pemerintahan demokrasi itu karena beberapa
alasan. Pertama, umat Islam sejak masa-masa awal perkembangannya telah
berpaling dari sistem feodal yang mengandalkan keunggulan suku atau clan, serta
tidak menjadikan kesamaan agama dan bahasa sebagai dasar pemerintahan.
Nabi saw membangun negara Madinah
dan demikian juga sistem politiknya atas dasar kepentingan-kepentingan praktis.
Kondisi ini terjadi sebelum abad II hijriyah berakhir, yakni ketika Daulah
Ummayah di Spanyol menantang Daulah ‘Abbasiyyah di Baghdad. Keadaan
ini berlanjut terus hingga berdirinya berbagai pemerintahan di negeri-negeri
Islam yang di dasarkan atas kepentingan ekonomi dan geografis.
Kedua, sedemikian jauh pemikiran
dan tingkah laku politik Barat telah menjadi pemikiran dan menjadi tingkah laku
pemikiran umat Islam khususnya di Mesir. Umat Islam di berbagai wilayah dapat dengan mudah menerapkan
sistem politik Eropa yang demokratis. Hal itu karena sistem demokrasi yang
diterapkan di berbegai negara Eropa tadi mengedepankan prinsip kesetaraan bagi
semua warga negara, memandang perlunya penegakan hukum yang adil dan netral
serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Meskipun
demikian tetap saja di berbagai wilayah Islam muncul godaan untuk menerapkan
pemerintahan absolut. Yang saya maksudkan adalah bahwa pemerintahan absolut
yang seringkali terjadi di negara-negara Muslim timbul disebabkan pengaruh
pemerintahan absolut yang berkembang di Eropa sebelum munculnya paham
demokrasi.
Demikian juga
bentuk pemerintahan di negara-negara Islam yang terbatas itu dibentuk oleh
sistem pemerintahan terbatas yang juga ada di Eropa sebelumnya.
Artinya, umat Islam sudah sejak lama berkiblat ke Barat atau Eropa, jadi tidak
perlu malu untuk mengadopsi system demokrasi yang ternyata mampu membawa Eropa
ke arah kemajuan dan kesejahteraan seperti sekarang.
Menurut Thaha
Husain, pemikir pembaruan Mesir, mereka yang berusaha melaksanakan pemerintahan
absolut (tak terbatas) di Mesir modern lebih cenderung mengikuti pola Louis
XIV di Perancis daripada mengikuti pola ‘Abd al-Hamid di Turki. Sisi
lain yang lebih penting dari analisis ini adalah bahwa kecenderungan
pemerintahan absolut yang seringkali muncul di berbagai dunia Islam di abad
modern adalah disebabkan adaptasi dan peniruan yang sangat terlambat dan
ketinggalan terhadap Eropa. Dengan demikian, ia melihat bahwa peniruan atau
adopsi yang keliru terhadap Barat akan mendatangkan malapetaka bagi umat Islam.
Demokrasi
adalah penghargaan terhadap hak asasi manusia
Menurut saya,
umat Islam tidak perlu meniru sepenuhnya sistem demokrasi Barat atau Eropa,
melainkan perlu mengembangkan alternatif lain dengan lebih mengedepankan
prinsip-prinsip demokratisnya. Hal paling penting dari sistem demokrasi adalah
penghargaannya yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan pengakuan akan
kesetaraan dan kesederajatan semua manusia tanpa kecuali.
Dalam sistem
demokrasi tidak dikenal hak-hak istimewa bagi kelompok tertentu seperti
diterapkan dalam sistem masyarakat feodal. Dalam demokrasi seharusnya semua
bentuk bias gender dan bias nilai-nilai patriarkal serta bentuk-bentuk
intoleransi ditinggalkan. Semua warga negara diperlakukan sederajat karena
hukum tak mengenal kompromi. Mayoritas dan minoritas mendapatkan hak yang
setara sehingga tidak muncul arogansi dan tirani mayoritas. Sebaliknya,
minoritas pun harus taat pada aturan bersama yang dibuat untuk kemaslahatan
bersama. Disinilah letak persamaan yang hakiki antara Islam dan demokrasi.
Demokrasi
Islam dapat memberikan teladan yang lebih menekankan pada nilai-nilai keadilan.
Sebuah sistem pemerintahan yang mendasarkan seluruh bangunan di atasnya pada
nilai keadilan maka akan tumbuh beragam lembaga yang komitmen pada penegakan
nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dengan
demikian tujuan negara berupa keadilan, kemashlahatan dan kesejahteraan bagi
seluruh warga dapat diwujudkan secara nyata, sebagaimana dinyatakan dalam
Al-Qur’an dengan terminologi indah: baldatun thayyibah wa Rabbun Ghafur, yaitu
negara yang makmur dan berkeadaban.
Beberapa
lembaga Islam di masa lampau sebenarnya telah mempraktekkan nilai-nilai
demokrasi seperti mahkamah-mahkamah syari’ah. Lembaga peradilan ini menegakkan
hukum dengan mengedepankan nilai keadilan bagi siapa pun. Di berbagai negara Islam seperti di Mesir
meski menerapkan sistem demokrasi namun tetap mempertahankan lembaga waqaf dan
membentuk kementerian khusus untuk mengurusnya.
Saya yakin
cara demokrasi Mesir tidak dikenal oleh para pendahulu kita andaikata mereka
hidup kembali saat ini. Itulah sebabnya, banyak pakar politik Mesir yang
menganggap kementerian itu kuno dan tidak sesuai dengan zaman moderen. Beberapa
orang bahkan menganjurkan untuk membubarkannya atau mengganti lembaga waqaf itu
sendiri agar sesuai dengan tuntutan-tuntutan ekonomi moderen.
Sejumlah pemikir Muslim seperti Husein
Haekal, dan pemikir Islam kontemporer semisal Muhammad Arkoun menyebutkan bahwa
Barat pun menerapkan demokrasi secara bertahap. Kalau sebelum abad XVIII, kata Arkoun,
raja di Eropa belum dianggap sah jika tidak diakui oleh gereja, maka dengan
Revolusi Perancis hal itu telah berubah, legitimasi gereja tidak lagi
diperlukan. Sebagai gantinya legitimasi bagi rezim politik akan diberikan oleh
kedaulatan rakyat, oleh suara demokratis oleh seluruh rakyat yang hidup dalam
masyarakat, dan oleh suara bebas yang diberikan oleh semua warga negara yang
ada di masyarakat tersebut.
Untuk menjawab
pertanyaan pertama, dapat dijelaskan bahwa memang dunia belum pernah
menyaksikan usaha yang lebih sungguh-sungguh dan lebuh sistematis untuk
mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dalam bentuk pelaksanaan yang terlembagakan
daripada yang dilakukan orang Barat sejak terjadinya Revolusi Industri dan
Revolusi Perancis. Pengejewantahan terpenting cita-cita itu adalah sistem
politik demokratis yang sampai saat ini menurut kenyataan baru mantap dilaksanakan
di kalangan bangsa-bangsa Eropa Barat Laut dan keturunan mereka di Amerika.
Keadilan merupakan esensi Islam
Sebagai penutup, perlu ditegaskan
bahwa keadilan merupakan esensi dari ajaran semua agama, termasuk Islam. Ajaran
keadilan dalam Islam bersumber dari ajaran tauhid. Tauhid mengajarkan hanya ada
satu Tuhan yang patut disembah, selain
Tuhan semuanya adalah makhluk.
Tauhid membebaskan manusia dari
pemahaman paganisme, membebaskan manusia dari ketidakadilan, dari penindasan
kelas, dari ordonansi-ordonansi dan hukum-hukum yang dibebankan demi keuntungan
satu kelompok, satu kelas tertentu. Ini merupakan misi Rasulullah saw., dan
kita seharusnya meneruskan misi Rasul itu. Para
syuhada juga meneruskan misi yang sama,
melawan budaya-budaya yang dipaksakan, melawan sistem ekonomi yang dipaksakan,
melawan hukum yang dipaksakan, melawan pelarangan-pelarangan yang kadang-kadang
dipaksakan kepada masyarakat atas nama agama.
Seruan Islam
adalah untuk rahmat dan pembebasan. Awal setiap surat dimulai dengan penyebutan
dua jenis rahmat, yang umum dan yang khusus: "Dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" dan "Kami mengutusmu
(Muhammad saw.) untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. 21:107).
Rahmat ini adalah kasih bagi seluruh manusia. Bahkan, bagi pelaku dosa yang
dihukum mati dalam hukum Islam masih juga berhak akan kasih sayang, bahkan
dosa-dosanya mungkin dibersihkan dari kejahatannya, dan bahwa manusia
berpotensi menjadi bebas dengan mengasihi orang lain.
Jihad Nabi
(perjuangan keagamaan) adalah rahmat, hijrahnya [perpindahan dari Mekkah ke
Madinah] juga adalah rahmat, hukumnya adalah rahmat, bimbingan
prinsip-prinsipnya adalah rahmat: karenanya ajaran Islam seharusnya didasarkan pada [prinsip] rahmat
ini. Jika demikian, agama harus tampil sebagai pemberi solusi atas pelbagai
problem sosial kontemporer yang dihadapi manusia. Kalau keadilan diyakini
sebagai esensi dari ajaran semua agama, seyogyanya semua penganut agama
bergandeng tangan untuk mengeliminasi semua bentuk ketidakadilan di masyarakat,
termasuk dalam wujud kemiskinan. Hanya dengan demikian kita bisa membangun masa
depan peradaban manusia yang lebih humanis dan lebih akomodatif terhadap
nilai-nilai kemanusiaan.
Intinya, jika
keadilan dipandang sebagai esensi demokrasi, maka Islam adalah agama yang
paling depan mendukung sistem demokrasi. Demokrasi haruslah bertujuan untuk
kesejahteraan dan kemashlahatan semua manusia.
Mewujudkan Masyarakat Beragama Dalam Perspektif Demokrasi
Pendahuluan
Sebagai negara bangsa, Indonesia menghadapi
masalah yang begitu kompleks dan rumit. Dengan jumlah penduduk sebanyak lebih
260 juta jiwa, Indonesia menduduki urutan ke-4 negara berpenduduk padat di
dunia setelah RRC, India, dan USA. Di tambah lagi dengan kondisi penduduk yang
sangat majemuk, terdiri dari sekitar 300 kelompok etnis yang memiliki lebih
dari ribuan bahasa lokal dengan identitas kultural masing-masing serta tersebar
di 17.000 pulau, besar dan kecil, dan merupakan negara kepulauan yang terbesar
di dunia.
Aneka ragam bentuk kesenjangan juga membalut
kehidupan masyarakat Indonesia. Mereka tediri dari orang-orang yang sangat
terpelajar sampai dengan yang masih buta huruf. Dari yang sangat rasional
sampai yang sangat emosional. Dari yang sangat primordialistis sampai yang
sangat nasionalistis. Dari yang sangat kaya, bahkan yang terkaya di dunia
sampai yang sangat miskin, mungkin yang paling miskin di dunia.
Demikian pula dari aspek keagamaan, didapati
orang-orang dari yang sangat beragama dan sangat saleh sampai yang tidak
mengenal ajaran agama. Dari yang berpandangan keagamaan sangat toleran dan inklusif sampai kepada
yang sangat fanatik dan eksklusif, bahkan saking radikalnya di antara mereka
ikut bergabung dalam organisasi terorisme. Realitas yang ada menunjukkan betapa
beragam dan majemuknya keadaan bangsa Indonesia.
Pendek kata, sulit mencari negara di dunia ini
yang mempunyai heterogenitas dan kemajemukan yang demikian kompleks seperti
Indonesia. Realitas ini sepatutnyalah menyadarkan kita semua, terutama para
pengambil keputusan, agar tidak gegabah apalagi berlaku arogan di dalam
merumuskan suatu keputusan untuk kepentingan seluruh bangsa yang demikian beragamnya
itu.
Pentingnya Agama
Masih
perlukah kita beragama? Itulah pertanyaan yang seringkali mengusik akhir-akhir
ini berkenaan dengan maraknya berbagai bentuk tindak kekerasan yang menyertai
aneka ragam konflik di masyarakat yang jika tidak diselesaikan akan membawa kepada kehancuran nilai-nilai
kemanusiaan. Akan tetapi, saya begitu yakin bahwa dari perspektif manapun kita
melihat, agama masih sangat diperlukan.
Karena itu, menurut saya, pertanyaan
yang relevan adalah bagaimana mensosialisasikan ajaran agama yang apresiatif
terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-20
dan awal abad ke-21 ideologi sekuler mengalami keruntuhan. Kejatuhan komunisme
di Uni Soviet dan Eropa Timur serta munculnya berbagai kritik keras terhadap
modernisme dan kapitalisme menandai suatu era yang sering disebut the End of
History of Idiology yang berlangsung
selama lebih satu abad. Ideologi-ideologi besar tersebut telah memainkan peran
sebagai agama semu (pseudo religion) yang
menawarkan dan menjanjikan keselamatan dan kesejahteraan umat manusia di muka
bumi.
Pada mulanya, ideologi-ideologi sekuler tadi
dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan manusia, namun
kenyataan empirik membuktikan ideologi-ideologi itu telah gagal dalam
mengangkat harkat dan martabat manusia. Komunisme dengan watak
totalitarianismenya telah gagal mewujudkan keadilan sosial, demikian pula
dengan kapitalisme yang menempatkan manusia hanya sekedar alat produksi.
Modernisme dengan paradigma developmentalisme “pembangunan” juga tidak mampu mewujudkan pemerataan
kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Ideologi ini ternyata malah membuat negara-negara
berkembang sangat tergantung pada negara maju sehingga tercipta kesenjangan
social dan ekonomi yang demikian menganga dan melahirkan begitu banyak problem
social yang krusial. Singkatnya, berbagai ideologi yang menjelma sebagai agama
semu tersebut telah mengakibatkan eksploitasi nilai-nilai kemanusiaan dan
ketidakadilan yang membawa kepada krisis kemanusiaan.
Kondisi yang memprihatinkan ini seharusnya
memberikan harapan kepada agama untuk menyelamatkan kembali umat manusia dari
dehumanisasi. Harapan tersebut sangat wajar mengingat agama pada dasarnya
merupakan respon ilahi terhadap berbagai problem yang dihadapi umat manusia.
Setiap agama diklaim oleh penganutnya sebagai pedoman bagi umat manusia untuk
hidup damai dan sejahtera, serta menghindari eksploitasi sesama manusia.
Tujuan hakiki dari semua agama adalah membina
manusia agar menjadi baik dan sejahtera, baik fisik maupun mental, jasmani dan
ruhani menuju kepada kebahagiaan yang abadi. Intisari dari semua ajaran agama
berkisar pada penjelasan tentang masalah baik dan buruk, yaitu menjelaskan mana
perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kebahagiaan,
dan mana perbuatan buruk dan jahat yang membawa kepada bencana dan
kesengsaraan. Agama memberikan tuntunan
kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan
buruk demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Tuhan, sang pencipta, sama sekali
tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan-Nya,
sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya.
Sangat disayangkan misi agama yang amat suci
dan luhur itu seringkali tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan
beragama penganutnya. Akibatnya, sejumlah konflik, tindakan eksploitasi,
kekerasan dan diskriminasi, termasuk diskriminasi gender dilakukan atas nama
agama. Sejumlah perilaku yang mencabik-cabik rasa kemanusiaan kita di antaranya
dapat disebutkan: kasus pembunuhan massal yang dimotori Gerakan Restorasi
Keagamaan Ten Commandments di Rwanda; bunuh diri massal yang dilakukan oleh
sekte David di Weco, Texas, Amerika;
tindak kekerasan yang dilakukan kelompok Aum Sinri Kyo di Jepang; konflik antara Yahudi, Muslim Arab, dan
Kristen di Palestina; konflik laten antara Muslim dan Kristen di Indonesia; dan
ketimpangan gender dalam berbagai aspek
kehidupan, baik dalam ranah publik maupun domestik.
Agama mengajarkan kepada pemeluknya keharusan
menghormati sesama manusia, serta pentingnya hidup damai dan harmonis di antara
sesama. Jika demikian halnya, segala bentuk ketidakadilan, konflik, kekerasan,
dan teror yang mengatasnamakan agama hendaknya diyakini sebagai bentuk
ketidakmampuan manusia memahami ajaran agamanya secara utuh. Semangat
keberagamaan yang tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman yang dalam
dari dimensi esoterik agama, inilah yang seringkali menimbulkan sikap fanatik
sempit dan fundamentalisme.
Islam, misalnya memiliki ajaran yang menekankan
pada dua aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal
merupakan ajaran Islam yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan,
sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan
antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Sayangnya, aspek horisontal ini tidak terealisasikan dengan baik dalam kehidupan
manusia, khususnya dalam interaksi dengan sesamanya. Akibatnya, dimensi
kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek horisontal Islam kurang mendapat
perhatian di kalangan umat Islam. Kondisi inilah yang kemudian membawa kepada
penampilan wajah Islam yang sangar dan
tidak humanis dalam kehidupan publik.
Komitmen agama seseorang seharusnya terbangun
sejak dari lingkungan rumah tangga. Lingkungan sekolah dan masyarakat pada
prinsipnya hanyalah menunjang komitmen keagamaan yang sudah terbentuk itu. Namun
realitas sosial menunjukkan, banyak keluarga yang menyerahkan pembinaan
keagamaan anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah dan institusi semacamnya di
masyarakat. Di antara penyebabnya, orang tua terlalu sibuk sehingga tidak
tersisa waktu untuk memberikan pendidikan agama kepada anak-anak mereka. Factor
lain, tidak sedikit orang tua yang belum siap punya anak sehingga jangankan
mampu mendidik anak-anak mereka dengan nilai-nilai agama, mereka sendiri belum
mengerti arti agama secara esensial. Agama yang dapat memanusiakan manusia.
Sejumlah penelitian menyimpulkan, kehidupan
beragama (religious) di rumah tangga perlu diciptakan dengan suasana penuh
kasih sayang dengan mewujudkan hubungan silaturahim yang intens, akrab dan
hangat antara ayah, ibu, anak, dan seluruh anggota keluarga lainnya. Pengalaman
hidup religius dalam keluarga akan membantu anak-anak tumbuh menjadi manusia
yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Penelitian Stinnet, J DeFrain pada
1987, membuktikan bahwa seseorang yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak
religius akan mendapatkan resiko yang lebih besar untuk terlibat dalam berbagai
bentuk tindak kekerasan daripada mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang
religius.
Membangun Kerukunan Yang
Hakiki
Sejarah telah mengajarkan kita betapa suatu
kepalsuan tidak dapat bertahan langgeng. Harmoni dan pluralisme agama yang
selama ini dibangga-banggakan oleh Pemerintah Indonesia zaman Orde Baru,
ternyata tidak lebih dari sekedar alat penguasa untuk mempertahankan kontrol
atas suatu masyarakat yang sangat beragam dan berbeda. Akibatnya, jalinan
keharmonisan yang dielu-elukan itu menjadi porak-poranda di tahun-tahun
terakhir kekuasaan Orde Baru.
Indonesia lalu diguncang beragam konflik dan
kekerasan agama yang secara signifikan menjadikan negeri ini terpuruk di dunia
Internasional. Tempat-tempat di mana umat Islam dan Kristen pernah hidup
berdampingan selama puluhan tahun kini menjadi area konflik yang brutal dan
kejam dan tentu saja agama kemudian menjadi faktor yang paling memicu karena agama
merupakan hal yang sangat sensitif dalam kehidupan manusia.
Pluralisme agama, sebagai satu dari bangunan
penting demokrasi, hedaknya menjadi perhatian utama kita semua, termasuk para
penyelenggara negara. Apalagi, pada masa-masa sebelumnya pluralisme agama telah dipromosikan
sedemikian cerdas menjadi instrumen kontrol, yakni sebagai instrumen hegemoni
kekuasaan yang sangat ampuh. Untuk itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh
untuk mengubah pluralisme agama dari sekedar sebagai alat kontrol menjadi suatu
kekuatan politik yang efektif dan mampu mengalahkan unsur-unsur sektarian dan
anti pluralistis.
Dari berbagai diskusi yang berlangsung selama
ini setidaknya ditawarkan dua strategi
mendasar bagi upaya membangun Pluralisme Agama di Indonesia. Pertama,
dialog yang tulus dan intensif. Dialog antarumat beragama, bukan tidak pernah
dilakukan, melainkan sudah terlalu sering. Akan tetapi, kebanyakan dialog
terhenti di tingkat elite, yaitu hanya di kalangan tokoh-tokoh dan pemuka agama
tingkat nasional, dan itupun hanya
berlangsung di ibu kota. Dialog diharapkan berlangsung bukan hanya di
kalangan elite, melainkan lebih penting di tingkat "akar rumput".
Kelompok pemuda, kelompok perempuan, dan berbagai kelompok yang terpinggirkan
di masyarakat hendaknya diajak dalam proses dialog. Selain itu, materi dialog
pun harus difokuskan pada proses rekonsiliasi.
Di samping itu, dialog hendaknya dimaksudkan
untuk saling mengenal antara mitra dialog dan memperkaya wawasan kedua belah
pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan
hidup bermasyarakat. Perlu dicatat bahwa dialog tidak akan pernah efektif tanpa
kesediaan semua pihak untuk mengkaji secara jernih dan mengkritisi ajaran
masing-masing dan hal ini hanya bisa dilakukan manakala para penganut agama
sungguh-sungguh memahami ajaran agamanya dengan baik dan sempurna, tidak
setengah-setengah. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa bukan hanya penganut
agama, melainkan para pemuka agama sekalipun kebanyakannya tidak memahami agama
secara benar dan komprehensif.
Tujuan utama dialog antaragama adalah untuk
menumbuhkembangkan kesadaran dan tanggungjawab bersama, sikap toleransi, saling
menghormati, dan memberikan kebebasan bagi masing-masing pemeluk agama. Dialog
yang dilakukan itu harus mampu memaparkan berbagai karakteristik agama
masig-masing sehingga setiap pemeluk agama yang berbeda-beda itu dapat saling
memahami dan menghargai eksistensi kebenaran agama lain. Oleh karena itu,
dialog harus dilakukan atas dasar dan komitmen pada keterbukaan, toleransi, dan
pluralisme. Dialog bukan untuk tujuan mengajak kepada konversi agama atau
tujuan-tujuan yang serupa lainnya.
Kedua, aktivitas
partisipatoris. Strategi ini perlu diwujudkan menyusul kegiatan dialog. Melalui
kegiatan ini, para penganut agama yang berbeda-beda itu dimungkinkan untuk
memperoleh pengalaman hidup bersama atau pengalaman bekerja bersama, misalnya
dalam bentuk kegiatan jambore atau kegiatan pemberian bantuan kemanusiaan atau
bantuan medis pada kelompok masyarakat yang sedang mengalami musibah. Dapat
juga dilakukan dalam bentuk kerja bersama menanggulangi berbagai problem sosial yang krusial, seperti
memerangi pornografi dan pornoaksi, memerangi narkoba dan obat-obat terlarang
lainnya, memerangi berbagai bentuk Trafficking in women and children, serta
membantu Depnaker untuk melakukan pemetaan masalah perempuan di Indonnesia.
Pengalaman hidup bersama atau bekerja bersama
di dunia nyata pada akhirnya akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka
anggap berbeda selama ini ternyata tidak sepenuhnya berbeda. Sejumlah
pengalaman partisipatif seperti ini pada akhirnya membuat penganut suatu agama
-yang mulanya membayangkan bahwa penganut agama lain itu sangat berbeda dengan
diri mereka- mampu menyimpulkan bahwa
“mereka itu juga seperti saya”. Apa yang selama ini mereka persepsikan berbeda
itu ternyata hanyalah persepsi belaka, jauh dari realitas yang dialami dan
dirasakan ketika mereka hidup dan bekerja bersama.
Menuju Masa Depan Indonesia yang Demokratis
Untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih
cerah dan lebih demokratis ada dua hal yang patut dilakukan. Pertama dan utama
adalah bahwa setiap agama hendaknya membenahi dan menyelesaikan terlebih dahulu
berbagai kendala internal dalam agama masing-masing. Setidaknya ada tiga
kendala utama yang dihadapi oleh umat beragama: Pertama, soal
disintegrasi dan degradasi moral. Setiap agama hendaknya menyadari bahwa tujuan
beragama yang hakiki adalah menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih
manusiawi. Artinya, agama mengajarkan nilai-nilai moral agar manusia menjadi
makhluk bermoral. Kedua, soal ketidakadilan. Seringkali para
pemuka agama hanya gencar menyuarakan ketidakadilan manakala ketidakadilan itu
menimpa diri atau kelompok mereka. Akan tetapi, mereka akan diam membisu,
manakala yang mengalami ketidakadilan itu adalah penganut agama lain. Ketiga,
soal pluralisme dan ekslusifisme. Umat beragama hendaknya menyadari betul bahwa
kita hidup dalam sebuah bangsa yang sangat plural. Bahwa pluralitas atau
kemajemukan merupakan cirri khas bangsa ini. Karena itu, selayaknya semua agama
mengedepankan ajaran yang mendorong terwujudnya toleransi, perdamaian dan
keharmonisan. Sebaliknya, meredam semua ajaran yang cenderung mengarah kepada
eksklusifisme, intoleran dan radikalisme.
Berikutnya, adalah mengatur kembali pola
hubungan antara agama dan negara. Sulit dielakkan kenyataan bahwa upaya-upaya
membangun demokrasi di masa lalu pada umumnya dijalankan dengan mengadopsi
cara-cara yang represif, otoriter, dan hasilnya pun lebih banyak diukur dari
aspek kuantitasnya daripada kualitasnya. Ditambah lagi dengan metode yang
sangat sentralistis, dan didominasi oleh birokrasi dan militer.
Ke depan diperlukan langkah-langkah yang
terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat
Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat kontrol atau alat
mendominasi, terlebih sebagai alat pemenangan partai atau kekuasaan tertentu.
Dengan ungkapan lain, jangan membiarkan terjadinya politisasi agama. Sebab,
semua bentuk politisasi agama bertentangan dengan tujuan demokrasi. Demokrasi
menghendaki agar agama dikembalikan kepada fungsinya yang hakiki, yaitu kepada
misi spiritualnya sebagai sumber etika dan inspirasi moral dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.[]
ISLAM DAN DEMOKRASI
Demokrasi
Prinsip utama demokrasi adalah persamaan (equality), sebuah penegasan bahwa semua
orang adalah sama. Bentuk diskriminasi apapun yang didasarkan pada ras, jenis
kelamin, gender, agama, dan keturunan pada dasarnya tidak sah.
Semua orang dianugerahi hak-hak asasi (human rights) yang tidak bisa dicabut
oleh siapapun. Untuk menjamin hak-hak tersebut, pemerintah mendapatkan
legitimasinya berdasarkan persetujuan rakyat yang diperintah.
Karakteristik utama sistem demokratis:
Pertama, kebebasan berbicara (freedom of speech): semua warga negara:
laki-laki dan perempuan, dapat menyatakan opini dan pendapat mereka secara
terbuka mengenai persoalan-persoalan publik tanpa dihantui rasa takut, baik
pendapat yang berupa kritik maupun dukungan terhadap pemerintah. Dalam sistem
yang demokratis, adalah penting bagi para pejabat pemerintah untuk mengetahui
bagaimana pendapat rakyat tentang kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dan
keputusan-keputusan yang buat.
Kedua, sistem pemilihan yang bebas (free elections), di mana rakyat secara
teratur, menurut prosedur-prosedur konstitusional yang benar, memilih
orang-orang yang mereka percayai untuk menangani urusan-urusan pemerintah.
Sistem pemilihan itu ada pada semua tingkat perwakilan, dari tingkat pusat
sampai ke tingkat desa.
Ketiga,
pengakuan terhadap pemerintahan mayoritas (majoriti rule) dan hak-hak minoritas (minority rights): Dalam sistem yang demokratis, keputusan-keputusan
yang dibuat oleh mayoritas didasarkan pada keyakinan umum bahwa keputusan
mayoritas lebih memungkinkan untuk benar daripada keputusan minoritas. Akan
tetapi, keputusan mayoritas tidak juga berarti memberikan kebebasan pada mereka
untuk bertindak sesuka hati. Yang melekat dalam prinsip yang demokratis adalah
komitmen bahwa hak-hak warga negara yang fundamental tidak boleh dilanggar, misalnya, kebebasan
berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan kebebasan
untuk beribadah.
Keempat, partai-partai politik dalam sistem
yang demokratis memainkan peranan penting. Dengan partai politik, sebagai alat,
rakyat dengan bebas berserikat menurut dasar keyakinan mereka tentang bagaimana
caranya meraih penghidupan yang layak bagi diri, keluarga, dan keturunan mereka
sendiri.
Kelima, terdapat pemisah yang jelas antara
fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan pemisahan ini, proses chek dan balance di antara ketiga lembaga pemerintah tersebut akan mampu
mencegah terjadinya praktik-praktik eksploitatif yang potensial.
Keenam, dipastikan bahwa otoritas
konstitusional (contitutional authority)
adalah otoritas tertinggi bagi validitas setiap undang-undang dan aturan
pelaksanaan apa pun. Otoritas konstitusional berarti supremasi aturan hukum (rule of law), bukan aturan-aturan
individual, dalam setiap upaya pemecahan berbagai masalah publik.
Ketujuh, kebebasan berbuat (freedom of action) bagi setiap individu
ataupun kelompok, asal saja tidak melanggar kepentingan umum. Dari sini,
lahirlah kebebasan bagi pemilikan pribadi, kebebasan untuk bekerja, kebebasan
untuk meraih tujuan-tujuan personal, dan kebebasan untuk membentuk berbagai
perserikatan dan badan hukum.
Kedelapan, fakta sejarah mengungkapkan bahwa
tidak ada sistem demokrasi yang sekali jadi, melainkan tumbuh bertahap dan
berproses menuju kesempurnaan. Pengalaman demokrasi Amerika, misalnya mengalami
perkembangan yang signifikan dari waktu ke waktu.
Pengalaman berdemokrasi negara Amerika Serikat
melahirkan beragam bentuk yang diperbaharui dari masa ke masa sampai kepada
bentuknya yang sekarang. Artinya, demokrasi tidak mengenal kata final, melainka
sebuah proses yang terus mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan zaman
dan tuntutan masyarakatnya.
Sebagai contoh demokrasi Amerika mengalami
paling tidak empat fase sebagai berikut. Pertama, tahun 1776 melahirkan Deklarasi
Kemerdekaan (Declaration of Independence)
yang sudah secara tegas menekankan prinsip persamaan (principle of equality). Kedua, tahun 1850 muncul aturan menjamin
hak pilih bagi orang-orang yang merdeka (bukan budak) atas dasar persamaan (equal basis). Ketiga, tahun 1870 lahir
amandemen konstitusi ke-15 yang menjelaskan bahwa kaum laki-laki kulit hitam
dibolehkan ikut dalam pemilihan umum. Keempat, tahun 1920: dibuat amandemen
konstitusi ke-19 yang memberikan hak pilih kepada kaum perempuan, baik yang
merdeka maupun budak. Kesimpulannya, negara Amerika yang dianggap sebagai
sebuah contoh ideal bagi sistem demokratis, ternyata tidak muncul sekaligus,
melainkan tumbuh secara bertahap.
Prinsip demokrasi, meskipun secara teoretik
dikenal sebagai sebuah prinsip kemanusiaan yang universal sejak zaman kuno,
namun dalam perakteknya selalu menuntut pemenuhan dan pelaksanaan yang lebih baik. Oleh karena itu, penting
bagi kita untuk bisa membedakan antara prinsip demokrasi dan upaya-upaya untuk
merealisasikan demokrasi dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Dalam konteks ini, tidak ada satu pun contoh
masyarakat yang bisa kita sebut sebagai sebuah masyarakat demokratis yang
ideal. Boleh jadi, sebuah negara atau sebuah masyarakat kini berada dalam
kondisi yang sangat maju dalam pelaksanaan demokrasinya, namun hal tersebut
bukanlah sebuah jaminan bahwa negara atau masyarakat tersebut akan langgeng
dalam kondisi demikian.
Di pihak lain, kita harus melakukan pembedaan
antara masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan upaya
pemenuhannya dan masyarakat yang aturan pemerintahannya menolak prinsip
demokrasi, melaksanakan pemerintahan otokratis, dan menolak prinsip persamaan
sebagai sebuah perintah moral.
Membandingkan
Demokrasi dan Syura
Islam tidak berbicara tentang segala sesuatu
secara detail. Ayat-ayat yang dikandung Al-Qur’an hanya memberikan panduan
moral, etika dan nilai-nilai kehidupan secara global. Itulah sebabnya, Islam sangat
menekankan penggunaan akal melalui proses ijtihad. Demikian pula halnya dengan
demokrasi, Al-Qur’an hanya memberikan nilai-nilai moral yang dapat digunakan
sebagai panduan umum untuk menjalankan sistem demokrasi, bukan konsep yang
detail.
Meskipun berupa nilai-nilai atau wawasan yang
bersifat umum namun prinsip-prinsip tersebut dinyatakan secara tegas dan bahkan
ada yang berulang-ulang. Dalam hal ini ada beberapa prinsip yang digariskan
secara tegas seperti prinsip keadilan (al-‘adl), prinsip persamaan (al-Musawah),
prinsip kebebasan (al-hurriyyah), prinsip musyawarah atau negosiasi (al-syura).
Al-Qur’an menyebut syura sebagai sebuah prinsip
yang mengatur kehidupan masyarakat atau orang-orang mukmin. Sebagai sebuah
konsep dan sekaligus juga prinsip, syura dalam Islam tidak berbeda dengan
demokrasi.
Prinsip Dasar Demokrasi dan Syura
Paling tidak, terdapat lima prinsip yang
menyamakan demokrasi dan Syura. Pertama, bahwa pertimbangan kolektif (collective deliberation) lebih mungkin
melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada
pilihan individual. Kedua, bahwa pertimbangan mayoritas cenderung lebih
komprehensif dan akurat ketimbang penilaian minoritas. Meski tidak berarti
pertimbangan minoritas harus diabaikan. Dalam demokrasi, kelompok minoritas
justru harus dilindungi keberadaannya, demikian pula dalam syura. Suara minoritas
perlu dpertimbangkan. Ketiga, bahwa semua orang memiliki hak dan tanggungjawab
yang sama. Keempat, bahwa aturan
masyarakat dilakukan melalui penerapan hukum,
bukan melalui aturan individual atau keluarga dengan keputusan yang
otokratis. Kelima, bahwa pemenuhan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang lebih
komprehensif yang mewujudkan kemanusiaan dengan baik, tidak dapat dicapai dalam
sebuah lingkungan yang tidak demokratis.
Semakin konstitusional dan institusional sebuah
sistem memenuhi kelima prinsip syura atau prinsip demokrasi tersebut, maka akan
terlihat semakin Islamilah sistem tersebut. Setiap negara atau bangsa yang
lahir dari peradaban Islam diperintahkan supaya melaksanakan syura. Artinya, diperintahkan
untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan martabat kemanusiaan,
nilai-nilai yang menopang dan memperkuat pengalaman kemanusiaan. Bangsa-bangsa
tersebut sebenarnya juga memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan demokrasi
jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya.
Demokrasi dan syura dalam konsep dan prinsipnya
sama, bedanya hanya terlihat dalam rincian penerapan keduanya yang disesuaikan
dengan adat kebiasaan lokal.
Kesamaan itu terlihat pada beberapa kondisi
berikut. Pertama, menolak pemerintahan apa pun yang mengurangi legitimasi
pemilihan yang bebas, pertanggungjawaban, dan kekuasaan atau kekuatan rakyat.
Kedua, menolak pemerintahan yang tidak melalui proses yang konstitusional.
Ketiga, menolak aturan pemerintahan turun-temurun (hereditary rule). Karena kebijaksanaan dan kompetensi tidak pernah
menjadi monopoli satu individu atau keluarga tertentu. Keempat, menolak
pemerintahan dengan kekuatan paksaan, sebab pemerintahan apa pun yang ditopang
oleh pemaksaan adalah tidak sah. Kelima, menolak keistimewaan-keistimewaan
politik, sosial, ekonomi, yang ditetapkan menurut dasar kesukuan dan gengsi
sosial. Keenam, menolak pemerintahan militer. Pembuatan undang-undang
berdasarkan inkonstitusional dan pemaksaan (illegitimate)
dan kekerasan. Ketujuh, menolak hak-hak istimewa bidang politik, sosial,
ekonomi yang mengklaim dasar-dasar keturunan suku dan wibawa masyarakat.
Kesimpulannya, syura dan demokrasi adalah
serupa dan secara esensial merupakan konsep yang sama. Keduanya mendorong kita
untuk mendapatkan lebih dari upaya merealisasikan prinsip-prinsip kemerdekaan,
kesamaan, dan martabat manusia dalam perjalanan sosial-politik kolektif.
DEMOKRASI DAN PROSES POLITIK
Pendahuluan
Demokrasi
bukanlah sebuah sistem sempurna tanpa cacat. Demokrasi lebih tepat disebut
sebagai sebuah proses atau dinamika menuju kesempurnaan. Hal itu seperti
dinyatakan Macpherson, pakar pemikiran demokrasi, bahwa demokrasi seringkali
menimbulkan kekecewaan.3 Bahkan,
Dorothy Pickles, berani menegaskan bahwa tidak ada demokrasi yang sempurna.4 Begitu pula Tannsjo berpendapat bahwa
bisa terjadi konflik di antara demokrasi di satu tempat dengan tempat yang lain
di dalam masyarakat yang sama.5
Dalam konteks
ini, Tannsjo, dengan mengikuti alur pemikiran Lenin, selalu melihat demokrasi
secara kontekstual, yaitu demokrasi untuk siapa, demokrasi dimana, dan kapan,
serta dalam keadaan apa.6 Konsepsi
demokrasi rakyat klasik memandang demokrasi sebagai hubungan yang khas antara
kemauan rakyat dan pemecahan isu-isu politik.7
Untuk itu
perlu penjelasan terlebih dahulu mengenai pengertian pokok demokrasi.
Macpherson menyatakan bahwa “lahan” yang subur untuk perkembangan demokrasi
yang perlu disiapkan adalah hal-hal berikuit: penyelenggaraan masyarakat yang
bersaing, individualis dan berorientasi pasar, dan terselenggaranya negara
liberal.8
Ciri-ciri
Demokrasi
W. Ross Yates
mengajukan enam ciri khas demokrasi : toleransi terhadap orang lain, perasaan fairplay,
optimisme terhadap hakekat manusia, persamaan kesempatan, orang yang terdidik,
jaminan hidup, kebebasan dan milik.9 Pengamat
lainnya, Alan Ware, mencoba menyederhanakan unsur pembentukan demokrasi menjadi
tiga, yaitu mengoptimalkan kepentingan, pelaksanaan pengawasan, dan
berorientasi pada warga negara.10
Hampir sama
dengan pandangan di atas, tetapi lebih melengkapi, patut pula dikemukakan
pemikiran dari Dahl, seperti yang dikutip oleh David Held tentang kriteria
sistem yang betul-betul demokratis : hak suara yang sama, partisipasi yang
efektif, pemahaman yang mengandung unsur pendidikan pengwasan tertinggi oleh
rakyat dan merangkul (inclusiveness).11
Bandingkan pula dengan cara pandang yang dikemukakan oleh
kelompok New Right dan New Left yang diilhami oleh pemikiran
Marxis yang mendambakan hubungan bebas dan berdasarkan persamaan berikut.
Pertama, penciptaan suasana terbaik bagi semua manusia untuk mengembangkan
sifat alamiah mereka dan mengemukakan kemampuan kualitatif mereka yang
berbeda-beda. Kedua, perlindungan dan penggunaan sewenang-wenang otoritas
politik dan kekuasaan coercive. Ketiga, keterlibatan warga negara dalam
penentuan kondisi-kondisi perkumpulan mereka. Keempat, perluasan
kesempatan ekonomi untuk memaksimumkan persediaan sumber daya.12
Ted Robert Gurr lebih menekankan
demokrasi yang melembaga pada aspek keberadaan lembaga eksekutif. Bagi pakar
ini ada empat unsur demokrasi : (1) Persaingan partisipasi Politik; (2)
Persaingan rekrutmen politik; (3) keterbukaan rekrutmen eksekutif; (4)
Keberadaan hambatan-hambatan terhadap ketua eksekutif. 13
Pakar lainnya,
Mitchell dan Simmons mengarahkan analisis mereka dari segi pilihan publik.
Dilihat dari sudut ini mereka berpendapat bahwa politik merupakan satu sistem
yang terdiri empat kelompok pembuat keputusan, yaitu pemilih, pejabat yang
dipilih atau politisi, birokrat dan kelompok-kelompok kepentingan.14
Disamping
beberapa karakteristik atau unsur-unsur diatas, ada pula yang mengutamakan
aspek hukum, seperti John Rawls. Disini ditekankan : (a) hak-hak sipil dan
politik yang sama; (b) hak-hak sosio-ekonomi yang minimum; dan (c)
keterpercayaan.15 Sedangkan untuk
masyarakat multi-etnis dikenal pula adanya demokrasi consociational yang mempunyai ciri tersendiri : (1)
pemerintahan koalisi besar untuk menampung kelompok-kelompok agama dan
linguistik utama; (2) otonomi budaya masing-masing kelompok; (3)
proporsionalitas dalam perwakilan politik
dan pengangkatan pegawai negeri; (4) veto golongan minoritas terhadap
hak-hak dan otonomi yang penting bagi minoritas.16
Dari berbagai
pandangan tentang demokrasi, sebenarnya teory demokrasi dapat disederhanakan
menjadi empat corak : individulaisme, utilitarianisme (atau teory kepentingan),
teory hak dan kewajiban, dan kolektivisme demokratis.17 Sekarang kita beralih pada
bentuk-bentuk demokrasi menurut John Dunn. Bagi negara modern, demokrasi
perwakilan adalah yang paling sesuai.18 Masih ada beberapa macam demokrasi yang lain.
Macpherson, membagi demokrasi menjadi empat jenis : Demokrasi protektif,
Demokrasi pembangunan, Demokrasi keseimbangan dan Demokrasi partisipatoris.19
Dalam kaitan
ini, Sklar mengajukan lima corak yang lain sebagai berikut. Pertama, demokrasi
liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum
bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg. Benyak negara Afrika mencoba
menerapkan model ini tetapi hanya sedikit yang bisa bertahan. Kedua, demokrasi
terpimpin, para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya rakyat
tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai kendaraan untuk menduduki
kekuasaan. Ketiga, demokrasi sosial, yang menaruh kepedulian, pada keadilan
sosial dan egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh keterpercayaan
politik. Keempat, demokrasi partisipasi, yang menekankan hubungan tibal balik
antara penguasa dan yang dikuasai. Terakhir, demokrasi consociational, yang
menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya dan menekankan
kerjasama yang erat diantara elite yang mewakili bagian budaya masyarakat
utama.20
Faktor-faktor
Pendukung Demokrasi
Seperti telah
disinggung di atas, demokrasi bisa berkembang baik jika tersedia faktor-faktor
yang dapat mendukungnya. Dalam arti umum para pakar sependapat bahwa
kapitalismelah yang paling mendukung perkembangan demokrasi, sehingga demokrasi
sendiri dipersepsikan sebagai bentuk khas kapitalisme.21 Kapitalisme dan demokrasi sering
betul-betul disamakan. Demokrasi politik tidak bisa dipisahkan dari
liberalisme.22
Dengan
demikian hampir dapat disimpulkan bahwa demokrasi hanya bisa ditemukan di
negara-negara maju. Kapitalisme sendiri bersumber dari liberalisme. Sedangkan
liberalisme menurut Rawls dttopang oleh prinsip egalitarianisme : (a) jaminan
nilai kebebasan politik yang adil; (b) persamaan kesempatan; (c) prinsip
perbedaan.23 Didalam tradisi
klasiknya , liberalisme menganut keyakinan pencerahan tentang individualisme,
kepentingan diri rasional, sekularisasi, dan pemerintahan berdasarkan
perjanjian sosial.24
Di sejumlah negara
terbelakang dan sedang berkembang kebanyakan perkembangan demokrasi
tersendat-sendat, bahkan ada yang tidak bisa muncul sama sekali. Jika kita
gunakan kategorisasi Huntington, kawasan ini boleh disebut sebagai penganut
sistem politik tradisional. Ada dua corak sistem politik yang dominan di sini,
yaitu : negara feodal dan negara birokratis. Didalam kedua corak sistem politik
ini ditandai oleh pemusatan kekuasaan.25 Karena itu, peluang untuk berkembang suburnya
demokrasi adalah kecil sekali.
Sesungguhnya,
masih banyak faktor lainnya yang menyekat perkembangan demokrasi. Budaya yang
terbelakang dan peniggalan kolonial. Karena itu, Pennock mempersyaratkan tiga
hal untuk tegaknya kepolitikan demokratis, yaitu faktor historis, tatanan
sosial-ekonomi dan budaya politik. Mengenai harga diri, otonomi dan menghargai
orang lain; percaya terhadap hak-hak
individu; percaya toleransi dan keinginan kompromi; melek huruf dan pendidikan;
komitmen terhadap prosedur dan nilai-nilai demokrasi, semangat “publik”;
nasionalisme; konsesus dan perpecahan; dan terakhir penguatan institusi.26
6 Ibid.
7 Tannsjo, Ibid., hal.13.
8 Macpherson, Ibid., hal.5.
10 Alan Ware, Citizens, parties and
the State A Reappraisal, cambridge
Polity Press, 1987, hal. 7-16.
11 David Held, Models of Democracy,
Cambridge Polity Press, 1993, hal.278.
12 Ibid.,
hal.270.
13 Dalam
Davi A. Leblang, 1996. “Property Rights, Democracy and
Economic Growth”, dalam Political Research
Quarterly, vol.49 (1) : 5-26.
14 William C. Mitchell and Randy T.
Simmons, Beyond Poltics Markets, Welfare, and the Failure of Bureaucracy,
boulder : West View Press, 1994, hal.41.
15 Dalam Christian Anglade, 1994. “Democracy and the Rule of Law in
Latin America “ dalam Ian Budge and David McKay
(eds.), Developing Democracy, London .
SAGE Publications, 1994, hal. 233-52. Lihat juga John Rawls, Political
Liberalism, New York .
Columbia University Press, 1993. Hal.36-38.
16 Arend Lijphart, “The Puzzle of Indian Democracy : A
Consociational Interpretation”, dalam American Political
Science Review, vol.90, 1996 (2):258-268.
17 J. Roland Pennock, Democratic
Political Theory, Princeton : Princeton
University Press, 1979, hql.170.
18 John Dunn (ed.), Democracy the
Unfinished Journey 508 BC to AD 1993, Oxford :
Oxford University Press, 1993, hal.250.
19 C.B. Macpherson, The Lifes and
Times of Liberal-Democracy, Oxford : Oxford University
Press, 1979.
20 Dalam Glenn Hasted (ed.), One
World , Many Voices Global Perspective on Political Issues,
Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall, 1994, hal.342.
21 Dietrich Rueschemeyer, E.H.
Stephens and J.D. Stephens, Capitalist Development and Democracy, Cambridge : Polity Press,
1992, hal.1.
22 Giovanni Sartori, The Theory of
Democracy Revisited, Chatham: Chatham House Publisher, 1987, hal.389.
24 Charles F. Andrain and David E.
Apter, Political Protest and Social Change, New York : New York University Press, 1995,
hal.30.
25 S.P. Huntington, Political Order
in Changing Societies, New Haven :
Yale University Press, 1968, hal. 148-150.
26 Pennock, Ibid., hal.239-254.
Selasa, 21 November 2017
Demokrasi Tanpa Toleransi
Kita bangga Indonesia dianggap berhasil menjadi sebuah
negara demokrasi karena sejak tahun 1999 mampu melalui tiga pemilu demokratis
yang relatif damai. Sayangnya, dalam perkembangan kemudian terlihat noda-noda
intoleransi dalam bangunan demokrasi kita. Tidak salah jika disimpulkan, negara
gagal menegakkan prinsip toleransi, salah satu komponen mendasar dalam penegakan
HAM yang menjadi pilar utama demokrasi.
Berbagai survei mengafirmasi
keresahan umum di kalangan masyarakat tentang meningkatnya trend intoleransi sosial. Sejumlah
kasus intoleransi dibiarkan berlalu tanpa penyelesaian hukum yang tegas.
Beberapa diantaranya, peristiwa kekerasan antara kelompok masyarakat terkait
isu agama dan suku dalam pilkada, isu LGBT, dan sejumlah persoalan terkait
hambatan melaksanakan keyakinan agama yang ramai dibicarakan. Belum lagi
kehadiran perda-perda bernuansa agama di berbagai wilayah yang penyebarannya
begitu cepat bak cendawan di musim hujan. Kita nyaris kehilangan kepercayaan
pada pemerintahan Jokowi karena setelah dua tahun memerintah belum tampak
upaya-upaya konkret mengikis semua bentuk intoleransi yang sangat menodai wajah
demokrasi kita.
Bukan hanya negara, masyarakat pun gagal dalam
melindungi dan menegakkan semangat toleransi dan pluralisme sebagai basis
demokrasi yang sehat. Modal sosial dan tingkat dukungan terhadap toleransi,
khususnya terkait kebebasan beragama kita relatif rendah. Beberapa survei
mengungkapkan, masyarakat diliputi pandangan yang abu-abu terhadap perlindungan
kebebasan beragama dan permisif terhadap penggunaan kekerasan. Pada level
personal, masyarakat enggan untuk hidup bertetangga dengan orang yang berbeda
agama. Enggan memberikan kepada tetangga atau orang yang berbeda agama tersebut
tempat untuk menjalankan ibadahnya secara terbuka (dalam bentuk rumah ibadah).
Kondisi ini sangat mengherankan
sebab kita semua tahu, dalam konteks Indonesia yang multi agama, prinsip
toleransi dan kebebasan beragama tidak hanya mempunyai landasan pijak dalam
konstitusi dan undang-undang nasional, melainkan juga berakar kuat dalam
tradisi berbagai agama dan kepercayaan yang sudah hidup ribuan tahun di
Nusantara. Nilai-nilai toleransi sudah demikian lama berakar dalam kehidupan
suku-suku asli di Nusantara.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama
kita masih sangat rendah. Fatalnya, kecenderungan ini terlihat di kelompok
masyarakat dalam semua kategori pendidikan. Bahkan, dalam hubungannya dengan
afiliasi terhadap partai politik, pendukung partai nasionalis dan partai Islam
juga tidak menunjukkan perbedaan berarti. Artinya, ideologi partai khususnya
nasional, gagal beresonansi dengan pemilihnya. Walau negara tetap merupakan
pihak yang paling bertanggung jawab untuk melindungi prinsip-prinsip negara
demokrasi ideal, termasuk dalam monopoli kekerasan, tetapi persepsi masyarakat
tentang pluralisme juga penting.
Penegakan
Konstitusi
Catatan paling
kentara mengenai intoleransi dan kekerasan keagamaan di Indonesia di era Pemerintahan
Jokowi adalah keengganan pemerintah untuk melakukan sesuatu demi menegakkan
Konstitusi (government inaction). Pemerintah gagal mengambil
langkah-langkah memadai untuk menangkal diskriminasi, restriksi, dan
penyerangan atas Ahmadiyah, Syiah dan kelompok minoritas lainnya. Selain itu,
pemerintah pun tak mampu menahan inisiatif pemerintahan daerah untuk melarang, bahkan
mencegah vandalisme atas fasilitas-fasilitas kelompok minoritas tersebut
(contoh kasus Pesantren Waria di Yogya dan lainnya). Pemerintah juga tidak mengambil
langkah konkret mengukuhkan keputusan Mahkamah Agung yang melegalkan pembukaan
ulang GKI Yasmin.
Ada tiga faktor yang mengharuskan
isu intoleransi menjadi perhatian bersama. Pertama, jumlah kekerasaan
dan tindakan diskriminatif, terutama atas nama agama kepada mereka yang berbeda
agama semakin meningkat. Simak laporan berbagai institusi pemerhati toleransi
dan perdamaian, seperti ICRP (Indonesian Conference on Religions for Peace),
Setara Institute, Wahid Institute, Ma’arif
Institute. Kedua, mayoritas publik Indonesia menilai bahwa presiden, politisi, dan polisi
kurang maksimal dalam melindungi konstitusi. Mayoritas publik tidak puas dengan
kinerja presiden, politisi, dan polisi dalam menjaga kebebasan warga negara
dalam menjalankan keyakinannya. Ketiga, sikap
intoleransi publik cenderung semakin menguat. Sikap intoleransi sangat rawan memicu
kekerasan primordial yang membuat kekerasan massal mudah meledak.
Hukum tampak
tumpul dan ditaklukkan intoleransi, terutama ketika berhadapan dengan aksi-aksi
kekerasan kolektif (berjamaah). Negara seperti dikalahkan kekerasan. Pelaku
kekerasan lebih sering tidak diproses secara hukum, sementara korban justru
dikriminalisasi. Ini terjadi, baik dalam kasus Ahmadiyah, GKI Yasmin, maupun
Syiah.
Indonesia terlalu
penting untuk diserahkan dan dipertaruhkan sepenuhnya kepada pemerintah dan
politisi. Masyarakat perlu segera
mengambil sikap. Ketika isu intoleransi diskriminasi masih diabaikan, mereka dituntut
untuk lebih banyak berkontribusi.
Masyarakat pun harus lebih aktif mencegah timbulnya sikap intoleransi. Jangan sampai kelompok-kelompok intoleran yang justru lebih terorganisasi berhasil menggiring pemikiran masyarakat menjadi intoleran. Selama ini, masyarakat yang mendukung toleransi lebih mengambil sikap diam, terciptalah kelompok mayoritas yang diam (silent majority) dan sikap ini merupakan bencana dalam kehidupan demokrasi.
Silent majority tidak akan akan terwujud jika masyarakat benar-benar
sudah matang dalam berdemokrasi. Kematangan itu, antara lain terlihat pada
sikap percaya diri yang kuat (self confidence) setiap penganut atau
kelompok agama berdasarkan komitmen dan keyakinan kuat pada agama
masing-masing. Sebaliknya, ketiadaan rasa percaya diri melahirkan sikap kerdil,
ketakutan dan penuh prejudice.
Namun, harapan yang lebih besar
tertuju pada negara. Negara harus tegas menegakkan
hukum ketika kekerasan terjadi. Pancasila dan Konstitusi adalah acuan utama. Para
penegak hukum harus berani bersikap netral dan adil, meski bertentangan dengan
kepentingan mayoritas. Kedua sikap ini terbangun hanya jika mereka memahami
secara utuh ajaran agamanya, dan juga memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai
kebangsaan dan keindonesiaan.
Langganan:
Postingan (Atom)