Salah satu persoalan yang tak kunjung henti
menghampiri perempuan, terutama kaum ibu di Indonesia adalah tingginya Angka
Kematian Ibu melahirkan (AKI). Belum lama ini Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia merilis hasilnya.
Salah satu temuan yang mengejutkan adalah tentang
meningkatnya Angka Kematian Ibu melahirkan di Indonesia. Berdasarkan hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2014, angka kematian ibu
mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Artinya, setiap tahun terdapat 14.000 perempuan harus mati
karena melahirkan! Sungguh ironis!!
Data itu bermakna, setiap hari sekitar 400 ibu mati sia-sia, karena seharusnya hal itu tak
perlu terjadi. Jumlah mereka setara dengan jumlah penumpang satu pesawat
Boeing. Bayangkan jika setiap hari ada satu pesawat Boeing jatuh dan seluruh
penumpangnya mati. Demikian kondisi riil kaum ibu di Indonesia, amat memprihatinkan dan bahkan
sangat tragis. Parahnya lagi, kondisi yang tragis tersebut belum menjadi
perhatian penting pemerintah selama ini.
Dalam survei yang sama, lima tahun lalu, angka
kematian ibu hanya 228 per 100 ribu kelahiran hidup. Angka ini menjadi bukti
kuat bahwa negara belum memberikan perhatian yang baik terhadap persoalan
krusial yang tengah dihadapi kaum ibu. Strategi pembangunan yang selama ini
dijalankan terbukti masih meminggirkan perempuan. Kepentingan strategis
perempuan tidak diidentifikasi dengan baik, apalagi dicarikan solusinya.
Perlu
diketahui, ada sejumlah faktor penyebab kematian ibu melahirkan, antara lain:
1. Tradisi
pernikahan di usia muda, baik karena mahalnya biaya pendidikan maupun karena
faktor ekonomi (untuk mengurangi beban keluarga). Sebanyak 46 % dari seluruh
pernikahan terjadi di bawah 19 tahun (BPS, 2016). Dalam usia yang belum dewasa,
anak-anak yang “terpaksa” menikah ini tidak cukup matang untuk dapat membuat
keputusan tentang kehidupan dan kesehatan reproduksi mereka.
Bahkan, tidak sedikit anak
perempuan menjadi ibu ketika masih anak-anak. Bagaimana mungkin diharapkan
dapat melahirkan dengan selamat.
2. Faktor
psikologis terkait perilaku mencari bantuan (health seeking behavior) pada perempuan hamil yang masih
memprihatinkan. Hal itu umumnya dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Misalnya, suami tidak mengizinkan istrinya pergi ke
layanan kesehatan. Selain itu, persepsi tentang ‘sakit’ dan ‘sehat’, yakni selama masih bisa mengerjakan tugas
sehari-hari, meski ada keluhan, ibu hamil cenderung menganggap dirinya sehat. Bahkan,
tidak sedikit ibu yang tidak peduli pada kesehatannya, meski sedang hamil tua.
Hal ini sangat mengkhawatirkan!
3. Faktor budaya, sudah tertanam
kuat di masyarakat bahwa perempuan adalah ‘nurturer’ (perawat atau pemelihara)
dan dituntut atau diharapkan agar selalu dapat memenuhi kebutuhan orang lain. Tidak
heran masyarakat umumnya menganggap hal
biasa jika istri atau ibu makan paling terakhir, tidur paling terakhir tetapi
bangun paling pagi, tidak peduli apakah ia hamil atau tidak.
4. Pendekatan program yang kurang
efektif karena menggunakan asumsi yang keliru yaitu cara berpikir linier bahwa masalah
kelahiran adalah semata urusan perempuan. Akibatnya, berbagai program perlindungan
hanya difokuskan kepada perempuan, padahal proses pengambilan keputusan di
dalam keluarga masih cenderung didominasi oleh laki-laki, meski keputusan yang
menyangkut nyawa seorang perempuan.
5. Cara pandang masyarakat umumnya,
termasuk para pengambil kebijakan, belum
melihat masalah kematian ibu melahirkan sebagai persoalan kesehatan yang serius.
Isu AKI belum menjadi keprihatinan bersama. Anggaran negara untuk kesehatan
masih sangat kecil dan terlebih lagi untuk kesehatan reproduksi.
6. Masih kurangnya penghargaan dan
penghormatan terhadap Hak-hak Asasi Manusi (HAM), khususnya hak perempuan untuk
hidup sehat. Apalagi hak bebas dari diskriminasi dan kekerasan, mampu memilih
dan menentukan yang terbaik bagi dirinya (kedaulatan atas tubuhnya sendiri).
Demikian pula hak perempuan mendapatkan informasi dan pendidikan yang bermutu,
dan juga hak untuk terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan terutama
yang berdampak kepada dirinya dan kehidupannya.
Beberapa upaya strategis menurunkan jumlah
kematian ibu melahirkan telah dilakukan, misalnya Bupati Bantul yang dikenal
sebagai kabupaten yang berhasil menurunkan AKI melakukan aksi-aksi konkret
sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi
ibu hamil yang berisiko tinggi. Karena ibu-ibu hamil enggan memeriksakan
dirinya (dengan berbagai alasan), maka bupati Bantul menggratiskan semua biaya pemeriksaan
kehamilan.
2. Setelah
diidentifikasi, kelompok ibu hamil dengan risiko kehamilan tinggi diberi
perhatian dan perlakukan khusus untuk mencegah risiko selama kehamilan dan saat
persalinan.
3. Kepada
semua ibu hamil diberi asupan zat besi secara gratis, terutama bagi yang
berisiko kehamilannya.
4. Pemerintah
daerah membuat dan menempelkan stiker di setiap rumah yang ada ibu hamil,
kemudian menggerakkan masyarakat untuk mengawasi dan siaga membantu mereka.
Strategi tersebut ternyata efektif menurunkan AKI
tanpa terlalu membebani APBD. Patut dijadikan contoh bagi para kepala daerah
yang sedang berupaya menurunkan AKI di daerah masing-masing. Yang penting,
pertama dan utama adalah kemauan politik untuk peduli dan bertindak.
Tampak benar apa yang disampaikan oleh Prof.
Mahmoud Fathalla, Profesor Obstetri dan Ginekologi dari Yunani. Beliau menyatakan:
“Perempuan melahirkan meninggal bukan karena penyakit yang tidak dapat diobati.
Mereka meninggal karena masyarakat belum memutuskan bahwa kehidupan perempuan
itu layak diselamatkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar