Jumat, 21 Juli 2017
Jumat, 14 Juli 2017
Konferensi Internasional tentang Perdamaian, Jerman 14-17 Juli 2017
Menghadiri Konferensi Internasional tentang Perdamaian, tempatnya di atas bukit yg dikenal dg The Holy Mount di Wuppertal, Jerman. Acara utama berlangsung 14-17 Juli 2017, dan sblm itu acara kunjungan ke komunitas interfaith dialog dan rumah2 ibadah.
Tahun ini mengambil tema: Peace among the People: Interreligious Action for Peace and Inclusive Communities.
Peserta lebih dari 100 orang mewakili berbagai agama dan datang dari mancanegara. Dari Indonesia hadir Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia, wakil Muhammadiyah, wakil Hindu dan Budha dan saya.
Sebelum Konferensi ada acara kunjungan ke berbagai komunitas agama. Dimulai dg mengunjungi komunitas Yahudi dan Sinagognya di kota Unna. Lalu, ke Gereja Katholik di Duisburg Marxloh dan kunjungan terakhir ke Merkez-Mosque (Mesjid Jami') yg berdekatan dg Gereja tadi.
Di komunitas Yahudi kami mengunjungi Stumbling Stones, sebuah tempat utk menyelamatkan para korban kekejaman Nazi. Sekarang berubah menjadi the Saint Bonifatius retirement and nursing home in the city of Unna, Jerman.
Tempat ini mengingatkan kekejaman Nazi terhadap Orang Yahudi selama Perang Dunia seperti yg terjadi di Auschwitz, Polandia.
Namun, kini tempat tsb diubah menjadi Panti Jompo yg sangat menyenangkan dan memanusiakan kelompok manula. Rumah masa depan buat para manula, demikian komentar banyak peserta.
Menarik dicatat, bhw di Jerman semua perilaku kekejaman Nazi didokumentasikan dg baik agar generasi berikut dapat belajar utk menghindarinya. Never again!!!
Semua bentuk kekejaman yg pernah terjadi dlm sejarah harus diakhiri. Hanya dg cara itu kita dapat membangun hidup harmoni dan bahagia.
Kami sempat mampir ke Sinagog Yahudi, HaKochaw Unna yg dikenal sebagai Sinagog liberal. Sinagog ini dipimpin oleh Rabbi perempuan bernama Alexandra Khariakova, asal Ukraina, dulu bagian dari Uni Soviet.
Tentu saja keberadaan Rabbi perempuan dalam Sinagog ini bukanlah sesuatu yg datang begitu saja, melainkan hasil perjuangan yg sangat panjang, khususnya para perempuan Yahudi. Mrk selama ini mengalami banyak perlakuan diskriminatif dari Sinagog. Karenanya mrk bertekad mendirikan Sinagog sendiri yg berbeda dg Sinagog orthodoks.
Dimulai tahun 2007 beberapa perempuan Yahudi menggagas pembangunan Sinagog baru di wilayah Unna. Mereka ingin mengorganisasikan orang-orang Yahudi di wilayah Unna agar dapat menyelenggarakan ibadah sendiri dan membuka diri bagi kelompok lain.
Di Jerman sekarang ada 7 Rabbi perempuan. Sebuah progres yg masih harus diperjuangkan oleh komunitas Yahudi di tempat lain, termasuk di tempat lahirnya sendiri, yakni di Palestina.
Masy Yahudi di Unna adl kelompok liberal Yahudi. Bedanya Yahudi Liberal dan Yahudi Orthodoks adl bhw dlm Yahudi Liberal perempuan bisa menjadi Rabbi, bahkan diangkat sbg pemimpin Sinagog. Perempuan juga boleh membaca Torah dan memimpin semua ritual suci.
Hal lain yg membedakan Sinagog liberal ini dari sinagog lain yg msh ortodoks adalah keterbukaannya menerima kelompok agama lain di luar Yahudi utk berdiskusi dan belajar bersama.
Intinya, kelompok ini terbuka utk interfaith dialogue dan aktivitas kerjasama keagamaan lainnya. Bagi mrk Sinagog hrs menjadi tempat yg terbuka bagi semua manusia.
Gereja Katholik yg kami kunjungi bernama Petershof. Gereja ini membuka diri utk melayani kelompok rentan, termasuk para pengungsi dan pencari kerja dari luar6 Jerman. Aktivitasnya dlm bentuk konseling, pembagian makanan, kursus ketrampilan dan layanan kesehatan.
Terakhir, kami mengunjungi Mesjid Jami yg terbesar di wilayah ini. Bangunannya megah dan luas, dikelola oleh orang2 Turki. Wilayah Marxloh dihuni oleh penduduk yg 70% non-Jerman. Umumnya dari Turki dan negara2 Balkan.
Mesjid ini pun sangat terbuka dg aktivitas interfaith dialogue. Kalau di mesjid lain sulit menerima kunjungan orang2 non-Muslim, di sini kapan pun dapat masuk. Bahkan, para perempuan tdk perlu berkerudung utk masuk dan beraktivitas di dalamnya.
Mesjid ini bukan hanya utk Shalat, tapi juga utk berbagai aktivitas sosial lain, sep Pendidikan, layanan kesehatan dsb.
Bersama bu Ery, Ketum PG |
Mesjid Jami di Morxloh |
Mimbar masjid yg megah dan bersih. |
Sister Ursula menjelaskan seputar kegiata Gereja St. Petershof. |
Suasana tenang dlm Gereja St. Petershof. |
Imam perempuan memberikan penjelasan seputar masjid. |
Simbol Gereja Katholik St. Petershof |
Bersama para perempuan pengelola mesjid Jami, salah satunya adl imam. |
Dua orang Rabbi perempuan dan yg berbaju hijau adl pimpinan Sinagog. Memegang mike adl moderator. |
Bersama Sekjen Muhammadiyah dan Sekjen PGI. |
Di altar Sinagog |
Sabtu, 08 Juli 2017
Halal bi halal dan Saling Memaafkan
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkan
dengan kegiatan halal bi halal adalah berkumpulnya sejumlah orang
pada suatu tempat tertentu yang diadakan setelah hari lebaran untuk saling
bersalaman sebagai ungkapan maaf-memaafkan. Menarik dicatat, tradisi halal
bi halal hanya dijumpai di
Indonesia. Karena itu, kegiatan ini tidak dikenal di negara-negara Islam
lainnya, bahkan di Arab Saudi tempat asal agama Islam.
Walaupun tidak dilakukan di lingkungan masyarakat Muslim
lain, namun tradisi ini memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam, khususnya
ajaran mengenai perlunya mempererat hubungan silaturahim dan saling memaafkan
di antara sesama manusia (Q.S an-Nur, 24:22, al-Baqarah, 2:237,
dan al-Maidah, 5:13).
Sulit memastikan kapan tradisi ini muncul, tetapi yang
jelas tradisi ini mulai dilembagakan di tanah air dalam bentuk upacara sekitar
tahun 1940-an dan mulai berkembang luas setelah 1950-an. Kini penyelenggaraan halal
bi halal dijumpai pada seluruh lapisan masyarakat Muslim, baik di
lingkungan instansi negara maupun swasta, serta di lingkungan
organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya.
Secara linguistik halal bi halal adalah kata
majemuk yang terdiri atas pengulangan kata halal dan diantarai oleh
sebuah kata penghubung. Kata halal berasal dari akar kata halla
atau halala yang mengandung beberapa pengertian. Di antaranya dapat
berarti 'melepaskan ikatan', 'mengurai benang kusut', 'mencairkan kebekuan',
dan 'menyelesaikan masalah'.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik suatu
benang merah yang merupakan esensi halal bi halal, yaitu aktivitas
silaturahim yang dilakukan setelah puasa Ramadhan dan setelah shalat Idul Fitri
untuk lebih mempererat hubungan persaudaraan dan kekeluargaan serta hubungan
kemanusiaan di antara anggota keluarga, tetangga, kerabat dan kolega.Tujuannya,
agar tidak ada lagi belenggu yang mengganggu, tidak ada lagi kebekuan dan
masalah yang merintangi hubungan dan komunikasi di antara sesama.
Perlunya mensucikan jiwa
Islam secara tegas mengajarkan bahwa manusia itu pada
dasarnya suci. Hanya saja dalam perjalanan hidupnya manusia tercemar oleh
berbagai dosa. Pencemaran terjadi karena dalam diri manusia ada tendensi untuk
mengikuti hawa nafsu yang bersifat irasional dan senantiasa membujuk manusia
berpaling dari fitrah kesucian. Hawa nafsu merupakan pangkal dari semua
penyakit hati dalam kehidupan manusia, yaitu sombong, arogan, dengki, dendam,
benci, iri, rakus, serakah harta dan kekuasaan serta semua bentuk sifat keji
lainnya.
Hawa nafsu pada dasarnya adalah kecenderungan jiwa yang
salah. Allah swt. berfirman: "Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa
nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini (QS. al-Mukminun, 23:71).
Di kalangan sufi dikenal ungkapan: "musuh manusia yang paling berbahaya
adalah nafsunya sendiri". Ketika usai perang Badr yang terkenal sangat
dahsyat, Nabi saw. berkata kepada para sahabatnya: "kita baru saja
selesai dengan perang yang kecil menuju perang yang lebih besar", para
sahabat terperanjat dan bertanya perang apakah gerangan yang lebih dahsyat dari
perang Badr, Nabi pun menjawab: perang melawan hawa nafsu".
Anehnya, sekalipun telah dianugerahi fitrah yang hanif,
manusia tetap merupakan makhluk lemah. Kelemahan utama manusia justru terletak
pada dua sifat yang menonjol, yakni kepicikan atau sempit pikiran (al-dha`f)
dan kekikiran (al-qatr). Hampir semua bentuk kesalahan, kekhilafan, dan
dosa yang diperbuat manusia timbul akibat dua sifat tersebut (Perhatikan
kandungan QS. al-Ma`rij, 70:19-21,
an-Nisa`, 4:128, al-Hasyr,
59:9, at-Taghabun, 64:16, al-Isra`,
17:100).
Karena dua sifat buruk: kepicikan dan kekikiran itu lah
manusia mudah tergoda oleh daya tarik jangka pendek suatu perbuatan sambil
melupakan akibat jangka panjangnya yang seringkali merugikan dan membahayakan,
bukan hanya dirinya melainkan juga keluarga dan orang banyak. Tidak heran jika
manusia mudah tergoda untuk berdusta dan menipu secara licik dan keji demi mendapatkan
harta, meraih jabatan dan kekuasaan, korupsi, menebar berita hoax dan fitnah,
mudah terpicu provokasi yang berakhir konflik.
Kedua sifat buruk itulah yang menjadikan manusia
mempunyai sifat tergesa-gesa (panik dan tidak sabaran), dan tidak suka
merenungkan akibat jangka panjang dari semua tindakannya (QS. al-Anbiya`,
21:37, al-Isra`, 17:11, al-Qiyamah, 75:20-21, al-Baqarah, 2:10, dan al-Muzammil, 73:20). Manusia cenderung sulit menahan diri dari
godaan dosa dan zulm (kegelapan) sehingga menjadi pelaku dosa dan
dirinya diliputi kegelapan. Makin parah manusia bergelimang dosa makin gelaplah
hatinya dan pada akhirnya hati itu akan berubah dari nurani (terang
benderang) menjadi zulmani (gelap
gulita).
Sifat tergesa-gesa membuat seseorang mudah menebar berita
hoax dan fitnah tanpa merasa perlu tabayun atau klarifikasi terlebih
dahulu. Akibatnya, bagai sumbu pendek yang mudah meledak, manusia mudah sekali
terjerumus dalam konflik, permusuhan dan perseteruan lantaran berita hoax dan
fitnah tadi.
Sifat tergesa-gesa
juga membawa kepada sifat sombong dan arogan, serta mudah putus asa atau
frustrasi. Tidak ada makhluk lain di jagad raya yang demikian mudahnya menjadi
arogan dan frustrasi seperti halnya manusia. Al-Qur`an berulang kali
menandaskan kedua sifat tercela ini, yakni jika memperoleh rahmat dari Tuhan
manusia lalu bersikap sombong dan arogan karena merasa rahmat itu datang karena
ikhtiarnya semata, bukan karena anugerah Tuhan Sang Pencipta. Sebaliknya, jika rahmat Tuhan ditarik kembali dari dirinya atau mereka
ditimpa bencana dan musibah mereka pun menjadi putus asa dan kecewa,
seolah-olah Tuhan tidak pernah menganugerahinya rahmat (QS. al-Fussilat,
41:49-51, dan al-Isra` 17:83,
10:12).
Semua ibadah yang diperintahkan Allah pada hakikatnya
bertujuan melatih jiwa manusia untuk mengekang dan mengendalikan hawa nafsu.
Puasa, misalnya merupakan media pensucian ruhani sebagai latihan pengendalian
diri dari berbagai godaan hawa nafsu sehingga menjadi manusia yang bertaqwa,
yaitu manusia yang menang dalam perjuangan menghadapi segala macam godaan.
Penyucian jiwa melalui puasa tidak terbatas pada aspek
pengekangan diri terhadap kebutuhan fisik material belaka (makan, minum, dan
hubungan seksual), melainkan mencakup juga sikap positif yang ditandai dengan
sikap syukur kepada-Nya. Itulah sebabnya mengapa Al-Qur`an menegaskan bahwa
puasa yang produktif adalah puasa yang mampu mengantarkan pelakunya menjadi
orang yang bertakwa dan bersyukur.
Puasa membimbing manusia untuk kembali kepada fitrah,
yakni asal kejadiannya. Itulah sebabnya setelah usai berpuasa selama bulan
Ramadhan umat Islam ber`idul fitri atau kembali ke fitrahnya. Diharapkan pada
`Idul fitri ini setiap individu berhasil tampil kembali sebagai manusia suci
seperti ketika ia dilahirkan.
Selanjutnya diharapkan melalui tradisi halal bi halal
tersebut, manusia dapat terus-menerus menyadari bahwa kesucian adalah pembawaan
alami dirinya yang harus dipertahankan dengan ucapan, sikap, dan perilaku yang baik,
positif dan konstruktif.
Mengapa harus saling memaafkan?
“Mohon maaf lahir batin”. Apa makna ucapan seperti itu
bagi seseorang? Para ahli psikologi agama menyebutkan bahwa ucapan maaf itu
besar maknanya, yakni sebagai langkah awal untuk menyatakan penyesalan. Itulah
tindakan paling sederhana untuk menunjukkan sikap penyesalan seseorang terhadap
berbagai kesalahan yang pernah diperbuatnya. Namun, yang lebih berarti bagi
seseorang yang melakukan kesalahan adalah bahwa penyesalan yang diucapkan itu
sungguh-sungguh merupakan refleksi batin dan sebagai komitmen untuk tidak
mengulangi kesalahan lagi.
Al-Qur`an mengajarkan tiga hal yang harus dilakukan oleh
seorang Muslim yang bertakwa berkenaan dengan orang yang berbuat kesalahan
terhadapnya, yaitu menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik kepadanya (QS. al-Maidah,
5:134). Bahkan, sekalipun orang lain bersumpah untuk tidak berbuat baik
kepadanya, ia pun tetap dianjurkan untuk memaafkan dan menghapuskan
kesalahannya (QS. an-Nur, :22).
Ber`idul fitri pada hakikatnya bermakna merayakan
kembalinya sifat kemanusiaan sejati. Manusia hendaknya diliputi rasa cinta
kasih dan kemurahan hati yang disertai dengan kemampuan menahan marah serta
keinginan tulus untuk meminta maaf dan memaafkan sesama. Sikap-sikap terpuji
inilah yang sesungguhnya merupakan wujud nyata dari fitrah manusia yang
dituliskan Allah dalam diri manusia pada awal penciptaannya (QS. ar-Rum,
30:30).
Kesadaran akan fitrah manusia dan kenyataan bahwa dalam
realitas tidak ada manusia yang luput dari dosa dan kesalahan membawa kepada
kesadaran baru akan perlunya meminta maaf kepada sesama manusia, terutama
kepada orang tua: ibu dan bapak serta kerabat dekat. Bukan hanya meminta maaf,
tetapi juga memberi maaf kepada sesama tidak kalah pentingnya. Sebesar apa pun
kesalahan orang lain tidak perlu dihitung. Berpasrahlah hanya kepada Allah
karena Dia lebih tahu hitungannya. Yang penting bagi kita adalah memberi maaf
dan tunjukkan sikap yang lebih baik. Memang sangat tidak mudah melakukan ini,
tapi itulah perintah agama demi membangun kehidupan damai dan harmoni dengan
sesama.
Dalam interaksi antar-sesama manusia sulit dihindarkan
adanya saling benturan kepentingan, salah faham, dan salah persepsi. Namun
kenyataan ini tidaklah membuat manusia mudah melupakan kesalahan orang lain
atau meminta maaf. Orang umumnya lebih suka membayar ganti rugi atau membayar
sanksi daripada harus meminta maaf sebab meminta maaf diidentikkan dengan
kehilangan harga diri atau kehilangan muka.
Untuk menghapus keengganan meminta maaf dan memaafkan
sesama, agaknya perlu direnungkan sifat-sifat Tuhan yang baik (al-asma`ul
husna). Di antara 99 al-asma`ul husna empat yang berkaitan dengan
sifat pemaaf, yakni sifat-sifat al-Ghaffar, al-Ghafur, al-Thawwab,
dan al-Afwu. Sebagai al-Ghaffar, Allah senantiasa berjanji
menutupi kesalahan dan dosa orang-orang yang bertaubat, bahkan kesalahannya
akan ditukar dengan kebajikan (QS. al-Furqan, 25:70).
Allah swt. menyambut permohonan tulus hamba-hamba-Nya
yang berdosa, betapa pun besar dan banyak dosanya selama yang bersangkutan
tidak mempersekutukan Allah (QS. al-Furqan, 25:70). Allah swt.
memerintahkan manusia agar meneladani-Nya dalam memberi maaf dan ampunan (Q.S. al-Jatsiyah,
45:15), bahkan ditegaskan bahwa: "siapa yang bersabar dan memaafkan
kesalahan orang lain maka hal demikian termasuk sifat utama" (asy-Syura`,
42:43).
Ampunan Tuhan tak terbatas dan tak ternilai oleh apa pun.
Hanya satu syarat yang digariskan, yaitu tidak mempersekutukan Allah dengan
suatu apapun. Mari kita renungkan bunyi suatu hadis qudsi sebagai berikut: "Hamba-Ku,
seandainya kalian datang kepada-Ku dengan membawa sepenuh isi bumi dosa, Aku
pasti menyambut kalian dengan sepenuh bumi ampunan, asalkan kalian tidak
mempersekutukan Aku" (HR Tarmizi dari Anas ibn Malik).
Sebagai konklusi dapat disimpulkan bahwa halal bi
halal bukan saja menuntut seseorang agar memaafkan orang lain, melainkan
lebih dari pada itu, yakni agar setiap orang berbuat lebih baik, bahkan yang
terbaik kepada siapa pun. Itulah landasan filosofis dari halal bi halal.
Dengan demikian, esensi halal bi halal tidak terhenti hanya sesudah
lebaran, tetapi hendaknya berlangsung sepanjang masa.
Untuk itu, marilah kita pada halal bi halal kali
ini membuat komitmen baru pada diri kita masing-masing bahwa sepanjang tahun
jiwa kita tetap bersih dan berada dalam koridor fitrahnya sehingga kita semua
tergolong dalam kelompok al-a`idin wal faizin (orang-orang yang kembali
ke fitrah dan menggapai kemenangan abadi). Amin, ya rabbal alamin.
foto by https://resvani.com/halal-bihalal-sbm-itb/
Langganan:
Postingan (Atom)